Dodik tersenyum. Kemudian mulai memotong daging itu hanya dengan garpu dan sendok.
Kecil apanya? Potongan ini bahkan masih bisa dipotong jadi empat bagian lagi, protes Dodik dalam hati pada daging yang Citra potong seukuran tempe.
Dodik memakan makanannya dengan tubuhnya yang tetap tegak dan tetap elegan. Berbeda dengan ketiga orang di sekitarnya yang makan dengan punggung membungkuk dan tidak elegan sama sekali. Dodik tidak terbiasa dengan itu. Dia belum pernah makan bersama orang-orang yang makan dengan cara seperti itu, sehingga Dodik memandang mereka dengan merendahkan.
“Kenapa kamu terus melihat kami?” tanya Bu RT ketus.
“Oh, enggak papa. Di keluarga kami, kami terbiasa makan dengan saling berhadapan dan saling bertukar kata,” jawab Dodik.
“Apa kamu tidak pernah dengar kata orang dulu: jangan makan sambil bicara atau kamu akan tersedak?” sahut Bu RT ketus.
“Tapi orang kini udah punya solusinya: makan pelan-pelan dan habiskan makanan yang kita kunyah sebelum berbicara,” sahut Dodik. Kemudian menusuk sepotong daging dan mengunyahnya perlahan mencontohkan perkataannya.
“Apa kamu bisa kenyang dengan makan seperti itu?”tanya Bu RT.
“Sopan santun adalah yang utama dari segalanya,” jawab Dodik.
“Jadi maksudmu kami enggak sopan?” sewot Bu RT.
“Enggaklah. Setiap orang punya gaya hidup masing-masing,” sahut Dodik.
Dodik menoleh ke Citra. Tanpa sengaja dia menemukan sedikit nasi di sekitar bibir Citra. Dia pun mengambil tisu dari sakunya, lalu mengusapkannya pada sekitar bibir Citra untuk membersihkan nasi itu.
“Makanlah pelan-pelan, agar nasimu tidak berserakan,” kata Dodik lembut, seakan-akan dirinya adalah malaikat yang berhati suci.
Setelah Dodik membersihkan wajah Citra, Citra membuang muka, lalu menyentuh wajahnya untuk memeriksanya sendiri. Dodik tidak membantu, tetapi mempermalukannya.
“Orang makan karena mereka lapar. Enggak perlu sopan santun, yang penting perut kenyang. Kalau kamu lapar, apa kamu masih bisa mementingkan sopan santunmu itu?” tanya Bu RT.
“Kenapa aku harus menunggu lapar untuk makan? Aku juga enggak makan untuk mengenyangkan perutku. Aku makan karena aku emang harus makan. Tentulah aku akan selalu menggunakan sopan satunku,” jawab Dodik.
“Benarkah?” sahut Bu RT dengan ekspresi seakan-akan akan memakan Dodik sekarang juga.
“Iyalah,” Dodik menjawab tanpa rasa bersalah.
Tiba-tiba Bu RT menarik piring Dodik dan menumpahkan isinya di atas piringnya sendiri.
“I-i-ibu Mertua, apa yang kamu lakukan?” tanya Dodik terkejut. Dia langsung berdiri. Citra dan Pak RT juga terkejut. Sedangkan wajah Bu RT merah padam.
“Aku ingin melihat apa kamu masih bisa mempertahankan sopan santunmu setelah lapar benar-benar mengisi perutmu,” jawab Bu RT.
“Tapi itu makananku!” seru Dodik.
“Makanan ini enggak pernah jadi milikmu, tapi ini hasil jerih payah suamiku. Dan kamu enggak punya sedikit pun bagian, bahkan hanya sebutir nasi,” jelas Bu RT.
“Berani sekali Ibu berkata begitu?!” sewot Dodik. “Ibu mungkin enggak kenal aku, tapi aku bahkan bisa membeli seluruh padi di desa ini!”
“Terserah siapapun kamu—bahkan jika kamu mampu membeli seluruh padi di dunia ini—kenyataannya, sekarang kamu bahkan enggak bisa beli sebungkus micin pun,” sindir Bu RT ketus.
“Jadi makanan ini mengandung micin?! Apa Ibu enggak tahu kalau micin itu enggak sehat?! Micin itu—“
“Seharusnya kamu malu bilang gitu. Kamu bahkan enggak mampu beli sebungkus micin yang harganya cuma seratus rupiah dan yang katamu enggak sehat, apalagi beli makanan sehat yang harganya sangat mahal. Kamu baru bangun jam delapan pagi, apa kamu pikir uangmu bisa jatuh dari langit?” sindiran Bu RT semakin kejam saja.
.
.
Selalu like dan koment🤗karena crazy up kugantungkan pada mereka berdua😅
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Lia
🤣🤣🤣🤣🤣ngakak pisan, aduhhhh kenapa yah novel yang bagus ga rengking
2021-10-22
0
lilik
sadis ibu mertua
2020-07-16
0
Ongkodut JL
🤣🤣🤣🤣
2020-07-02
0