Bab 6: Kesepakatan

Langit malam masih dipenuhi bintang ketika pesta akhirnya berakhir. Aula megah tempat perayaan berlangsung kini mulai sepi, hanya tersisa para pelayan yang sibuk membersihkan sisa-sisa jamuan. Namun, di sebuah ruangan megah yang tersembunyi di balik koridor panjang, ketegangan justru semakin memuncak.

Alena berdiri dengan kepala tertunduk di hadapan ayahnya, Duke Astria, yang duduk di balik meja kerja besarnya. Wajahnya merah padam, bukan hanya karena rasa malu tetapi juga karena kemarahan yang ditahannya. Di sisi lain, ibunya Lady Miranda. Berdiri di sampingnya dengan wajah tegang, matanya yang biasanya penuh dengan kelembutan kini menyiratkan kepanikan.

"Apa yang kau pikirkan, Alena?" suara Duke Astria bergema di dalam ruangan, dingin dan penuh ketegasan. "Kau tahu bahwa pesta malam ini bukan untukmu, tetapi kau tetap berani berdansa di hadapan semua bangsawan?"

Alena mengepalkan tangannya. "Ayah, aku hanya-"

"Kau hanya apa?" potong Duke Astria, tatapannya tajam. "Mencari perhatian? Menghina kakakmu? Atau mencoba mencoreng nama keluarga ini?"

Lady Miranda segera melangkah maju, berusaha menenangkan suaminya. "Suamiku, ini hanyalah kesalahpahaman. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan."

Duke Astria memandang istrinya dengan ekspresi sinis. "Kesalahpahaman? Kau pikir seluruh aula yang menyaksikan kejadian ini akan menganggapnya kesalahpahaman?"

Lady Miranda menggigit bibirnya. Ia tahu bahwa suaminya tidak akan bisa dibujuk dengan mudah. Malam ini adalah malam yang penting, dan putrinya telah melakukan kesalahan yang bisa merusak reputasi keluarga.

"Ayah, aku hanya ingin berdansa. Itu bukan kejahatan," Alena akhirnya bersuara, mencoba mempertahankan sisa-sisa harga dirinya.

"Tentu saja, itu bukan kejahatan," jawab Duke Astria, suaranya masih dingin. "Tetapi dalam dunia bangsawan, aturan sosial sama pentingnya dengan hukum. Kau telah mempermalukan keluarga kita, Alena."

Lady Miranda semakin gelisah, lalu mencoba cara lain untuk membela putrinya. "Lalu, bagaimana dengan Evelyne? Bukankah dia yang mempermalukan Alena di hadapan semua tamu? Seharusnya dia juga disalahkan."

Duke Astria menatap istrinya dengan tatapan tajam. "Evelyne hanya mengungkap kebenaran. Dan jika Alena tidak berbuat sesuatu yang memalukan, maka tidak akan ada yang bisa diungkap."

Lady Miranda terdiam. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa ia katakan untuk memenangkan perdebatan ini.

"Mulai hari ini," lanjut Duke Astria, "Alena akan dibatasi dalam menghadiri pertemuan-pertemuan bangsawan hingga aku memutuskan sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan reputasi keluarga Astria hancur hanya karena kecerobohan anak-anak."

Wajah Alena memucat. "Ayah, anda tidak bisa,"

"Aku bisa," potong Duke Astria tegas. "Dan aku sudah memutuskan."

Tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Alena dan ibunya hanya bisa menerima kenyataan pahit bahwa malam ini, mereka telah kalah.

Di sisi lain, Evelyne memilih untuk menghindari ketegangan di dalam rumah. Ia berjalan pelan di taman, menikmati udara malam yang sejuk. Di sampingnya, Piter Von Zisilus berjalan dengan langkah santai, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jubahnya. Mereka berdua tertawa kecil saat mengingat kejadian di aula pesta tadi.

"Kau benar-benar tidak berubah, Evelyne," kata Piter, menggelengkan kepala dengan senyum geli. "Selalu menemukan cara untuk membuat keadaan menjadi lebih menarik."

Evelyne menyeringai. "Aku hanya menggunakan kesempatan yang ada. Lagipula, Alena dan Laksa sendiri yang membuatnya mudah untukku."

Piter mengangguk. "Tetapi, kau juga harus berhati-hati. Dalam dunia politik, menjadi terlalu mencolok bisa berbahaya."

Evelyne menoleh ke arahnya, menaikkan alis. "Kau mengkhawatirkanku?"

Piter terkekeh pelan. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak mengkhawatirkan seorang wanita yang dengan mudahnya menjatuhkan lawannya tanpa perlu mengangkat pedang?"

Evelyne ikut tertawa, tetapi jauh di dalam hatinya, ia mengerti apa yang dimaksud Piter. Ia tahu bahwa semakin ia menonjol, semakin banyak musuh yang akan mengawasinya. Namun, ia juga tidak bisa hanya diam dan membiarkan dirinya diinjak-injak seperti di kehidupan sebelumnya.

Mereka terus berjalan hingga mencapai sebuah air mancur di tengah taman. Evelyne menghentikan langkahnya, lalu menatap Piter dengan penasaran. "Ngomong-ngomong, aku belum sempat melihat wajahmu sepenuhnya sejak pesta dimulai. Bagaimana jika kau membuka topengmu sekarang?"

Piter mengangkat alis, lalu tersenyum misterius. "Kau ingin melihat wajahku?"

Evelyne mengangguk, pura-pura penasaran.

Dengan gerakan yang lambat, Piter akhirnya melepas topeng hitamnya, memperlihatkan wajahnya yang selama ini tersembunyi di baliknya.

Mata merah darahnya yang tajam langsung menarik perhatian Evelyne, memancarkan aura misterius sekaligus menawan. Kulitnya seputih pualam, sempurna tanpa cela, dan rahangnya yang tegas semakin mempertegas ketampanannya. Jika ia dibandingkan dengan Pangeran Mahkota yang dikenal sebagai pria tertampan di kerajaan, maka Evelyne yakin bahwa Piter jauh lebih unggul.

Evelyne terdiam beberapa detik, menatapnya tanpa sadar. Matanya berbinar seolah tengah melihat harta karun dena harga tak ternilai.

Melihat reaksinya, Piter menyeringai. "Apa aku terlalu tampan sampai membuatmu terpaku begitu?"

Evelyne berkedip beberapa kali, lalu dengan cepat mengalihkan pandangannya, pura-pura tidak peduli. "Hmph! Jangan terlalu percaya diri, Duke Zisilus. Aku hanya terkejut melihat betapa berbeda penampilanmu tanpa berewok dan rambut panjang."

Piter terkekeh. "Aku mengerti, aku mengerti. Tapi tetap saja, aku bisa melihat bahwa kau cukup terkesan."

Evelyne mendengus pelan, lalu menatap Piter lagi dengan lebih serius. "Terima kasih karena telah mengingatkanku untuk berhati-hati. Tapi aku tidak akan mundur. Aku tidak bisa lagi hidup hanya dengan bersembunyi."

Piter menatapnya dalam diam selama beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. "Kalau begitu, aku hanya bisa berdiri di sisimu dan melihat bagaimana kau mengubah takdirmu sendiri."

Evelyne tersenyum tipis. "Aku akan memastikan bahwa dunia ini tidak akan pernah bisa meremehkanku lagi."

"Sangat menjanjikan ucapan anda, jadi sekarang kita rekan?" Duke Zisilus mengulurkan tangannya sebagai bentuk bila mereka kini tengah berada dalam kapal yang sama.

"Bagaimana ya, apa keuntungannya bila aku meriah tangan anda ini?" Goda Evelyne tanpa tahu malu, Duke Zisilus terkekeh dan meriah tangan Evelyne.

"Apa yang Lady harapkan atas kesepakatan ini?" Tanya Duke Zisilus dengan tatapan yang tajam, namun juga harap.

"Anda cukup tampan dan kompeten, bagaimana bila anda menyerahkan tubuh dan hati anda saja Tuan Duke?" Goda Evelyne menekan dada Duke Zisilus dengan jari telunjuknya.

"Bila itu yang anda inginkan," Piter Von Zisilus meraih tangan Evelyne dan dan mengecup punggung tangan itu sembari menunduk, layaknya seorang kekasih yang tengah menemui pujaan hatinya.

Evelyne tak sanggup berkata-kata, lidahnya kelu dan tanpa sadar setetes air mata hampir merembas keluar dari sudut matanya, namun dengan cepat Evelyne mengusapnya dan memperhatikan pria yang ada dihadapannya saat ini, Piter Von Zisilus.

Malam itu, di bawah langit berbintang, Evelyne dan Piter berbagi pemahaman yang sama, membagi perasaan yang sama, dan membuat kesepakatan antar mereka. Dan mereka tahu bahwa takdir bukanlah sesuatu yang bisa diterima begitu saja, tetapi sesuatu yang harus diperjuangkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!