BAB 18 - JEJAK DI DUNIA BAYANGAN

Langkah kaki Elysia dan Satrio menggema di jalanan kosong yang terasa lebih sunyi daripada kematian. Mereka berdiri di antara bangunan yang tampak seperti bayangan dari dunia mereka—kusam, lapuk, dan seolah tak pernah dihuni manusia.

Namun, mereka tahu. Mereka tidak sendirian.

Dari sudut-sudut gelap, bayangan-bayangan tanpa tubuh bergerak. Tidak berwujud manusia sepenuhnya, tapi memiliki bentuk samar yang terus berubah.

Satrio berbisik, “Mereka memperhatikan kita.”

Elysia merasakan bulu kuduknya berdiri. “Apa mereka akan menyerang?”

Bagus pernah memperingatkan mereka sebelum masuk: Jangan berinteraksi dengan bayangan jika tidak perlu. Mereka bisa menjadi sekutu… atau musuh.

Mereka terus berjalan menyusuri jalanan yang tampak tak berujung, mencari sesuatu yang bisa menjadi petunjuk keberadaan Edric.

Lalu, di kejauhan, Elysia melihat sesuatu.

Sebuah rumah.

Bukan sembarang rumah. Rumah itu tampak lebih nyata dibandingkan bangunan lain di dunia ini. Lebih terang, lebih jelas.

Satrio juga melihatnya. “Aku rasa… itu bukan bayangan.”

Elysia tidak ragu. Ia melangkah lebih cepat, mendekati rumah itu.

Ketika mereka tiba di depan pintunya, Elysia merasa napasnya tercekat.

Nama yang tertera di pintu itu adalah nama Edric.

Jantung Elysia berdegup kencang. Ia mengulurkan tangan, memegang gagang pintu, dan perlahan membukanya.

Pintu itu terbuka dengan mudah.

Di dalam, ruangan itu terasa lebih hangat dibandingkan suasana di luar. Ada cahaya redup dari lampu tua, dan di tengah ruangan…

Seorang pria duduk di kursi.

Elysia membeku. “Edric?”

Pria itu mengangkat wajahnya.

Dan benar—itu adalah Edric.

Namun, ada sesuatu yang berbeda. Wajahnya lebih pucat, matanya lebih gelap, seolah sudah terlalu lama hidup di dalam kegelapan.

Satrio meletakkan tangannya di bahu Elysia, memberi isyarat agar berhati-hati.

Elysia menelan ludah, melangkah mendekat. “Edric… kau hidup?”

Edric mengedipkan mata beberapa kali, seolah kesulitan mengenali mereka. “Elysia…?”

Suara itu membuat air mata hampir jatuh dari mata Elysia. Itu benar-benar suara suaminya.

“Tuhan… kau masih hidup,” bisiknya.

Namun, sebelum ia bisa melangkah lebih dekat, Edric mengangkat tangannya. “Jangan mendekat.”

Elysia berhenti. “Kenapa?”

Edric menatapnya dengan mata tajam. “Bagaimana kau bisa masuk ke sini?”

Satrio menjawab, “Kami mencari kebenaran. Kami mencari kamu.”

Wajah Edric tampak muram. Ia menghela napas panjang. “Kalian seharusnya tidak datang.”

Elysia mengerutkan kening. “Kenapa?”

Edric memejamkan mata, lalu berkata dengan suara rendah, “Karena dunia ini bukan tempat bagi manusia.”

Elysia masih tidak mengerti. “Edric, aku tidak peduli. Aku hanya ingin membawa kita pulang. Kita bisa keluar dari sini bersama.”

Edric menatapnya dengan sedih. “Aku… tidak bisa keluar.”

Elysia tersentak. “Apa maksudmu?”

Satrio menambahkan, “Kami punya liontin untuk kembali. Kita bisa pergi dari sini.”

Edric tersenyum tipis, tapi senyum itu pahit. “Itu tidak semudah itu.”

Ia berdiri perlahan, lalu menunjuk ke arah cermin di pojok ruangan. “Dunia ini memiliki aturan sendiri. Jika aku keluar begitu saja… sesuatu harus menggantikanku.”

Elysia membelalak. “Apa?”

Edric menatapnya dalam-dalam. “Jika aku meninggalkan dunia ini… seseorang harus mengambil tempatku.”

Elysia merasakan tubuhnya melemah.

Tidak.

Ia tidak ingin kehilangan siapa pun.

Satrio mengepalkan tangan. “Tidak ada cara lain?”

Edric diam sejenak, lalu menggeleng. “Hanya ada satu cara lain…”

Ia melangkah ke arah meja dan mengambil sebuah buku tua. Buku itu tampak seperti catatan yang sudah berusia ratusan tahun.

“Ini adalah buku yang berisi rahasia dunia bayangan. Ada satu ritual yang bisa menghancurkan pintu di antara dua dunia ini… tapi ritual ini hanya bisa dilakukan di tempat asal cermin pertama dibuat.”

Elysia menatap buku itu dengan cemas. “Dan di mana tempat itu?”

Edric mengangkat wajahnya.

“Di pusat dunia bayangan ini. Menara Tanpa Cahaya.”

Satrio menatap Elysia. “Sepertinya kita tidak punya pilihan lain.”

Elysia menggigit bibirnya. Ia menatap Edric, masih tidak percaya bahwa ia harus meninggalkannya lagi.

Tapi Edric tersenyum tipis. “Aku akan baik-baik saja. Aku bisa bertahan di sini lebih lama. Kalian harus pergi sekarang.”

Elysia akhirnya mengangguk. Ia tahu, ini bukan perpisahan. Ini hanya awal dari perjalanan mereka yang lebih besar.

Dengan membawa buku itu, mereka keluar dari rumah dan kembali ke jalanan suram dunia bayangan.

Jauh dari kejauhan, siluet sebuah menara tinggi mulai terlihat.

Itulah tujuan mereka berikutnya.

Menara Tanpa Cahaya.

Dan di sanalah, rahasia terakhir dunia bayangan akan terungkap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!