BAB 12 - KEBENARAN DI BALIK CERMIN

Elysia masih bisa merasakan sisa dingin yang menjalar di tubuhnya. Suara itu—suara yang terdengar seperti dirinya sendiri—masih terngiang di kepala.

"Aku akan kembali, Elysia. Kau tidak akan bisa lari selamanya."

Satrio membantu Elysia berdiri. Wajahnya penuh kekhawatiran, tapi juga ketegasan. “Kita harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Elysia mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia masih gemetar. “Aku ingin tahu… kenapa ini terjadi padaku.”

Mereka kembali ke rumah Elysia. Saat memasuki ruang kerja Edric, Elysia langsung menuju meja kerjanya. Di sana, tersimpan catatan-catatan lama suaminya yang berkaitan dengan investigasi terakhirnya sebelum meninggal.

Ia mulai membolak-balik halaman jurnal Edric. Mata Elysia tertuju pada satu halaman yang berisi coretan aneh:

"Cermin tua di rumah itu bukan sekadar benda biasa. Ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang menunggu kesempatan untuk keluar."

Tangan Elysia bergetar. “Edric tahu sesuatu… dia sudah menyelidikinya.”

Satrio membaca tulisan itu dengan ekspresi tegang. “Ini berarti… kematian Edric bukan kecelakaan biasa.”

Elysia menggigit bibirnya. “Kita harus ke rumah tua itu lagi.”

Malam itu, Elysia dan Satrio kembali ke rumah tua tempat mereka pertama kali bertemu dengan bayangan itu.

Rumah itu masih tampak seperti sebelumnya—sunyi, gelap, dan penuh aura yang menekan.

Namun, kali ini, Elysia merasa berbeda. Ia tidak hanya merasa ketakutan, tapi juga penasaran.

Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh cermin itu?

Mereka masuk perlahan. Lantai kayu berderit di bawah langkah mereka. Cahaya senter bergetar di tangan Elysia saat mereka menuju ruangan di mana semua kejadian aneh terjadi sebelumnya.

Namun, kali ini, ruangan itu kosong.

Tidak ada cermin yang pecah. Tidak ada bayangan. Hanya ruangan kosong dengan debu yang berterbangan.

Satrio mengernyit. “Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.”

Elysia melangkah masuk, lalu matanya tertuju pada satu sudut ruangan. Ada sesuatu yang tertutup kain putih.

Dengan ragu, ia meraih kain itu dan menariknya.

Di balik kain itu, ada sebuah cermin tua yang masih utuh.

Dan yang membuat jantung Elysia hampir berhenti berdetak… adalah pantulannya di cermin itu.

Karena pantulan itu tersenyum padanya, meskipun ia tidak tersenyum.

Elysia mundur dengan napas memburu. “Dia masih di sini.”

Satrio langsung berdiri di sampingnya. “Apa yang kau lihat?”

Elysia menelan ludah. “Aku. Tapi bukan aku.”

Pantulan di cermin itu masih menatapnya, matanya yang hitam pekat menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan.

Dan kali ini, ia berbicara.

"Sudah waktunya kau mengetahui kebenaran."

Cermin itu mulai bergetar. Permukaannya seperti air yang beriak, lalu tiba-tiba…

Elysia tersedot ke dalamnya.

Elysia merasakan tubuhnya melayang, tenggelam ke dalam kegelapan yang tak berujung. Suhu di sekelilingnya turun drastis, membuat napasnya berubah menjadi uap tipis.

Ketika ia membuka mata, ia tidak lagi berada di dalam rumah tua itu.

Sebaliknya, ia berdiri di ruangan yang sama, tetapi dengan nuansa berbeda. Ruangan itu lebih gelap, lebih sunyi. Debu tidak lagi berterbangan, dan udara terasa begitu dingin.

Ia berbalik, mencari Satrio. Tapi yang ia temukan hanyalah bayangan dirinya sendiri yang berdiri di dalam cermin.

Namun, bayangan itu bukan dirinya.

Pantulan itu menyeringai. “Akhirnya kau datang juga.”

Elysia mundur selangkah. “Siapa kau?”

Bayangan itu mengangkat kepalanya, menatapnya dengan mata kosong. “Aku adalah kau. Aku adalah sisi yang telah lama kau abaikan.”

Tiba-tiba, cermin di belakangnya bergetar hebat. Riak gelap muncul di permukaannya, membentuk gambaran wajah seseorang yang sangat ia kenal.

Edric.

Elysia terhuyung. “Edric?!”

Sosok dalam cermin tidak berbicara, tapi matanya berbicara lebih banyak dari kata-kata. Ia terlihat seperti sedang mencoba memberi peringatan.

Elysia mendekat, menempelkan tangannya ke permukaan kaca. “Edric… kau di sini?”

Tapi saat itu juga, tangan dari dalam cermin meraih pergelangan tangannya dengan kasar!

Elysia menjerit. Ia mencoba menarik tangannya, tapi genggaman itu begitu kuat. Dari balik cermin, suara berbisik terdengar.

“Jika kau ingin mengetahui kebenaran, kau harus mencari jawabannya sendiri.”

Seketika, rasa sakit menusuk kepalanya. Gambaran-gambaran berkelebat dalam pikirannya—Edric di ruang kerjanya, mencatat sesuatu dengan tergesa-gesa; Edric berbicara dengan seseorang melalui telepon dengan ekspresi tegang; dan terakhir, Edric berdiri di depan cermin yang sama, dengan ekspresi ngeri di wajahnya.

Lalu semuanya gelap.

Elysia terbangun dengan napas tersengal. Cahaya dari senter Satrio menyorot wajahnya.

"Elysia! Kau baik-baik saja?"

Ia tersentak. Matanya berkedip beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa ia kembali ke dalam rumah tua itu. Cermin yang tadi menariknya kini pecah berkeping-keping.

Elysia duduk dengan tubuh gemetar. “Aku melihat Edric. Dia ada di balik cermin.”

Satrio terdiam. “Apa maksudmu?”

Elysia memegang kepalanya. “Aku tidak tahu. Tapi aku yakin, dia mencoba memberitahuku sesuatu.”

Ia menoleh ke pecahan kaca di lantai. Salah satu pecahan besar masih memantulkan wajahnya. Namun, ada sesuatu di pantulan itu yang membuat bulu kuduknya meremang.

Di balik bayangannya sendiri, sekilas ia melihat sosok lain… yang mengawasinya dengan mata kosong.

Dan ia tahu, ini belum berakhir.

BERSAMBUNG…

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!