BAB 9 – JEJAK YANG HILANG

Ruangan itu gelap, sunyi, dan menyesakkan nafas. Elysia bisa merasakan napasnya sendiri terengah-engah. Suara bisikan dari bayangan yang menyerupai dirinya masih terngiang di telinganya.

"Waktumu hampir habis."

Elysia berusaha bergerak, tapi tubuhnya terasa kaku. Satrio di sampingnya juga terlihat tegang, matanya menatap lurus ke depan, ke arah sosok bayangan yang masih berdiri di dekat mereka.

"Elysia… kita harus keluar dari sini secepatnya," bisik Satrio.

Elysia menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia menyorotkan senter ponselnya ke sekeliling ruangan, mencari jalan keluar. Tapi yang ia temukan malah semakin membuat dadanya sesak.

Di dinding, di antara foto-foto dan catatan investigasi Edric, ada sesuatu yang baru saja muncul.

Sebuah kalimat tertulis di dinding dengan tinta merah tua.

"Dia akan menjemputmu malam ini."

Elysia mengerjap, merasakan bulu kuduknya meremang. Ia berbalik ke arah Satrio, mencoba berbicara, tapi sebelum kata-kata keluar dari bibirnya, lampu senternya berkedip dan mati total.

Gelap.

Dalam hitungan detik, udara di ruangan itu berubah dingin.

Lalu, terdengar suara lain.

Suara langkah kaki mendekat.

Tapi kali ini… langkah kaki itu terdengar lebih berat, lebih lambat, seolah sesuatu sedang menyeret dirinya sendiri ke arah mereka.

Elysia bisa merasakan Satrio meraih tangannya dengan erat. "Lari," bisik Satrio.

Tanpa pikir panjang, mereka berdua bergegas ke arah pintu, mencoba membukanya. Tapi pintu itu tidak bergerak, seolah ada sesuatu yang menahannya dari luar.

BRAK!

Sesuatu menghantam dinding di belakang mereka.

Elysia berbalik, meskipun ketakutan sudah mencekik tenggorokannya. Ia bisa melihat bayangan di sudut ruangan bergerak… bayangan itu semakin besar, semakin pekat.

Lalu, sosok itu melangkah keluar dari bayangan.

Seorang pria.

Tapi wajahnya… kosong. Tidak ada mata, tidak ada mulut, hanya bayangan hitam yang bergerak seolah-olah ia bernapas.

Satrio menggedor pintu dengan keras. "Cepat! Pintu ini tidak bisa dibuka!"

Elysia mundur, punggungnya hampir menempel ke dinding. Bayangan itu semakin mendekat, tubuhnya bergerak tanpa suara.

Lalu, tiba-tiba…

Pintu terbuka sendiri.

Satrio menarik Elysia keluar, dan mereka berdua berlari menuruni tangga secepat yang mereka bisa. Nafas mereka terengah-engah saat mencapai lantai bawah.

Tapi rumah itu tidak lagi terasa sama.

Perabotan yang sebelumnya berdebu kini tampak lebih bersih, seolah-olah ada seseorang yang baru saja tinggal di sini.

Dan yang lebih aneh lagi…

Di meja ruang tamu, ada sebuah cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.

Seseorang… atau sesuatu… ada di sini.

Elysia menelan ludah, menatap Satrio yang juga tampak sama terkejutnya.

"Aku rasa kita harus pergi sekarang," kata Satrio dengan suara rendah.

Elysia mengangguk. Mereka berjalan cepat ke arah pintu depan, dan kali ini, pintu itu terbuka dengan mudah.

Begitu mereka keluar, udara malam terasa begitu segar dibandingkan suasana mencekam di dalam rumah itu.

Tapi Elysia tahu… misteri ini belum berakhir.

PIECES OF THE PUZZLE

Mereka kembali ke apartemen Elysia. Saat mereka masuk, Elysia langsung mengunci pintu dan menarik napas dalam-dalam. Tangannya masih gemetar.

"Apa yang baru saja terjadi di sana?" tanya Elysia.

Satrio menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Tapi ada sesuatu yang harus kita cari tahu—hubungan Edric dengan kasus ini, dan yang lebih penting lagi, kenapa nama Nadine ada dalam daftar investigasi Raka?"

Elysia menggigit bibirnya. Nadine adalah psikolognya. Seharusnya, dia adalah seseorang yang bisa dipercaya. Tapi jika nama Nadine ada dalam daftar investigasi Edric, itu berarti…

Ada sesuatu yang ia sembunyikan.

"Aku harus menemui Nadine," kata Elysia.

Satrio mengernyit. "Apa kau yakin? Kalau dia memang terlibat, bisa jadi itu berbahaya."

"Aku tidak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Satrio menghela napas dan akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tapi aku ikut denganmu."

Keesokan harinya, Elysia dan Satrio pergi ke klinik tempat Nadine bekerja. Saat mereka tiba, resepsionis mengatakan bahwa Nadine sedang tidak ada jadwal pasien pagi itu, jadi mereka bisa langsung menemui dirinya.

Ketika mereka masuk ke ruangannya, Nadine tersenyum ramah seperti biasanya. Tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat Elysia merasa ragu.

"Elysia, Satrio. Ada yang bisa kubantu?" Nadine bertanya dengan suara lembut.

Elysia menatap lurus ke arahnya. "Aku ingin bertanya soal Edric."

Ekspresi Nadine sedikit berubah, tapi hanya sesaat. "Edric? Apa maksudmu?"

"Namamu ada dalam daftar investigasi Edric," kata Satrio tanpa basa-basi. "Apa kau tahu sesuatu tentang kasus yang sedang ia selidiki sebelum meninggal?"

Nadine terdiam. Sejenak, ia hanya menatap mereka berdua dengan ekspresi tak terbaca.

Lalu, ia menghela napas pelan dan menunduk.

"Aku tahu hari ini akan tiba," gumamnya.

Elysia dan Satrio saling berpandangan.

Nadine berdiri, berjalan ke arah rak bukunya, lalu mengambil sebuah amplop cokelat yang tampak sudah tua.

Ia menyerahkannya kepada Elysia.

"Ini… sesuatu yang Edric tinggalkan untukmu," kata Nadine.

Elysia menatap amplop itu dengan perasaan campur aduk. Dengan tangan gemetar, ia membuka segelnya dan mengeluarkan isinya.

Sebuah foto jatuh ke meja.

Elysia mengambilnya dan matanya melebar.

Itu adalah foto dirinya.

Tapi yang aneh… foto itu tampak diambil di tempat yang tidak ia kenali.

Dan di belakang foto itu, ada sebuah pesan yang tertulis dengan tangan Edric.

"Bayangan itu bukan kamu."

--- BERSAMBUNG ---

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!