Elysia masih berdiri menatap cermin tersebut. Bayangan yang ada di dalamnya tidak mengikuti gerakannya. Itu bukan hanya sebuah pantulan biasa—itu adalah sesuatu yang lain.
Satrio merasakan ketegangan yang sama. “Jangan dekati cermin itu,” ucapnya pelan.
Namun, sebelum mereka bisa melangkah mundur, suara samar terdengar dari dalam cermin.
"Kalian pikir ini sudah berakhir?"
Cermin kembali bergetar, retakan kecil mulai menjalar di seluruh permukaannya.
Lalu, sesuatu keluar.
Dari dalam cermin, kabut hitam mengalir seperti asap. Bentuknya perlahan berubah menjadi sosok manusia—dan Elysia sangat mengenalinya.
Edric.
Namun, tidak seperti yang terlihat. Wajahnya pucat, matanya kelam tanpa kehidupan. Suaminya yang dulu penuh kehangatan kini tampak seperti seseorang yang terperangkap dalam kegelapan.
Elysia membeku. “Edric…?”
Satrio langsung menariknya mundur. “Elysia, itu bukan dia.”
Edric atau orang yang menyerupainya tersenyum tipis. “Aku selalu ada di sini. Aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Elysia menatapnya dengan mata yang telah dipenuhi air mata. “Jika kau benar-benar Edric, buktikan!”
Sosok itu terdiam. Lalu, perlahan, ia mengangkat tangannya dan menunjukkan sesuatu, cincin pernikahan mereka.
Jantung Elysia berdegup kencang. Itu adalah cincin yang Edric kenakan pada hari terakhirnya di dunia nyata.
“Tidak mungkin…” bisiknya.
Satrio, yang sejak tadi bersiaga, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia mencengkeram lengan Elysia lebih erat.
“Jangan percaya begitu saja.”
Sosok itu mendekat. Ia tidak menunjukkan niat menyerang, tetapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuat udara di sekitar terasa lebih berat.
“Aku bisa membawa kita kembali,” katanya. “Tapi kau harus percaya padaku.”
Elysia terpecah antara logika dan perasaannya.
Satrio menyela. “Kalau kau benar-benar Edric, kenapa baru muncul sekarang?”
Sosok itu menghela napas. “Karena aku baru menemukan jalan keluar.”
Ia menoleh ke cermin, di mana bayangan-bayangan lain masih bergerak di dalamnya.
“Ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi, Elysia. Aku tahu apa yang terjadi padaku… aku tahu siapa yang menyebabkan semua ini.”
Elysia menahan napas.
“Siapa?”
Edric menatapnya dengan dalam, lalu berbisik.
“Seseorang yang sangat kau percaya.”
Darah Elysia seakan membeku di nadinya.
Satrio menegang. “Apa maksudmu?”
Namun, sebelum Edric bisa menjawab, cermin kembali bergetar hebat. Dari dalamnya, tangan-tangan hitam muncul, mencoba menariknya kembali.
Edric meronta. “Elysia! Jangan pernah percaya pada—”
Sebelum ia bisa menyelesaikan kata-katanya, cermin itu pecah dengan suara menggelegar, dan sosok Edric lenyap dalam kabut hitam yang lenyap bersamaan dengan pecahan kaca.
Elysia terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Satrio menggenggam lengannya, memastikan ia baik-baik saja.
“Apa yang dia maksud?” gumamnya. “Seseorang yang aku percaya?”
Satrio menatap pecahan cermin yang berserakan di lantai. “Kita harus mencari tahu.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang mengganggunya.
Siapa yang selama ini berkhianat?
Dan… apakah mereka benar-benar sudah keluar dari bayangan itu?
Elysia masih terduduk di lantai, pandangannya kosong menatap pecahan cermin di depannya. Kata-kata Edric terus terngiang di kepalanya.
"Seseorang yang kau percaya."
Satrio berdiri di sampingnya, wajahnya dipenuhi kecemasan. “Elysia, sebaiknya kita harus pergi dari sini.”
Elysia tidak menjawab. Ada sesuatu dalam dadanya yang terasa sesak, seperti sebuah pertanda buruk yang terus mengintainya.
Lalu, suara itu terdengar lagi.
Tok. Tok. Tok.
Seseorang mengetuk pintu depan.
Satrio menoleh tajam ke arah pintu, lalu bertukar pandang dengan Elysia. Tidak mungkin ada orang lain di rumah ini… bukan?
Dengan hati-hati, Satrio melangkah ke depan, menarik napas dalam dalam sebelum akhirnya ia membuka pintu.
Namun yang ia temukan bukanlah seseorang.
Di lantai, ada sebuah amplop cokelat tua.
Dan di bagian depannya, tertulis nama Elysia.
Elysia menatap amplop itu dengan waspada. Tangannya gemetar saat ia mengambilnya. Ada sesuatu yang aneh dari amplop ini. Kertasnya terasa tua, seperti sudah bertahun-tahun disimpan di tempat yang lembap.
Satrio mendekat, mencoba membaca ekspresi Elysia. “Kau mengenali ini?”
Elysia menggeleng pelan. “Tidak… tapi aku merasa seperti pernah melihat amplop ini sebelumnya.”
Dengan ragu, ia membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas yang masih terlipat rapi. Tulisan tangan di atasnya tampak familiar.
Ketika ia mulai membaca, napasnya tertahan.
Elysia,
Jika kau membaca ini, berarti aku gagal menghentikan semuanya. Aku sudah mencoba mencari jawaban, mencoba keluar dari bayangan ini, tapi aku terlambat.
Jangan percaya pada siapapun.
Bahkan… pada orang yang paling dekat denganmu.
Edric.
Elysia menjatuhkan kertas itu. Dadanya terasa lebih sesak dari sebelumnya, jantungnya berdegup kencang.
Satrio mengambil surat itu dan membacanya cepat. Wajahnya langsung berubah tegang. “Apa maksudnya ini?”
Elysia menatapnya, matanya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. “Edric menulis ini… tapi kapan?”
Satrio menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi jika dia menulis ini sebelum dia menghilang, berarti dia tahu lebih banyak dari yang kita kira.”
Elysia menggigit bibirnya, pikirannya berputar cepat.
Jangan percaya pada siapapun.
Bahkan… pada orang yang paling dekat.
Ia menatap Satrio, mencoba mencari sesuatu dalam sorot matanya.
“Menurutmu… siapa yang dia maksud?” tanyanya pelan.
Satrio terdiam sejenak sebelum menjawab. “Aku tidak tahu, tapi kita harus mencari tahu.”
Mereka kembali ke rumah Elysia, tempat semua ini bermula. Langit di luar mulai gelap berubah warna, menambah suasana tegang yang sudah sejak tadi mengelilingi mereka.
Saat memasuki ruang kerja Edric, Elysia merasa sesuatu berubah. Seolah-olah ada mata yang mengawasi mereka dari bayangan.
Ia berjalan menuju rak buku, mencari sesuatu, apapun yang bisa memberinya petunjuk lebih lanjut tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Edric.
Sampai akhirnya, ia menemukan sebuah buku catatan lama, tersembunyi di balik tumpukan buku lainnya.
Elysia menariknya keluar dan membuka halaman pertama.
Di sana, tertulis sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Bayangan bukan sekadar pantulan. Kadang, mereka memiliki nyawa sendiri."
Ia menatap Satrio dengan tatapan penuh makna. “Edric sudah tahu tentang ini jauh sebelum semuanya terjadi.”
Satrio mengambil buku itu, membolak-balik halamannya. Di beberapa halaman terakhir, terdapat catatan yang ditulis dengan terburu-buru, seolah-olah Edric menuliskannya dalam keadaan panik.
"Aku melihatnya. Dia bukan aku. Tapi dia mengambil tempatku."
Elysia menahan napas. “Apa maksudnya… dia mengambil tempatku?”
Satrio menutup buku itu, wajahnya semakin gelap. “Aku rasa… kita belum benar-benar menemukan Edric yang sebenarnya.”
Suasana di ruangan itu menjadi lebih berat. Elysia merasakan hawa dingin merayap di kulitnya.
Lalu, ia melihat sesuatu di cermin kecil yang tergantung di dinding.
Bayangannya berdiri diam.
Tapi ada yang salah.
Bayangan itu tidak bergerak mengikuti gerakannya.
Mata Elysia membelalak. Ia mencoba mengangkat tangannya dan bayangan itu tetap diam.
Satrio melihat ekspresi Elysia yang sudah berubah pucat. “Ada apa?”
Elysia menunjuk ke cermin. Suaranya nyaris tak terdengar.
“Itu… bukan aku.”
Dan saat itu juga, bayangan dalam cermin tersenyum kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments