Namaku Yorde. Aku adalah anak yang diadopsi.
Sebelum bertemu Abah, aku tinggal di panti asuhan dan mengalami banyak hal buruk. Itu terjadi tiga tahun lalu, saat usiaku masih tiga belas tahun.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Aku, Yorde, anak yatim piatu yang hidup di panti asuhan sejak usia delapan tahun.
Lima tahun telah berlalu di tempat ini, aku bahkan tak lagi mengingat wajah orang tuaku—ingatan tentang mereka semakin memudar seiring waktu. Aku seorang penyendiri. Tidak suka menarik perhatian. Karena itu, anak-anak lain lebih sering mengabaikanku. Namun, bukan hanya diabaikan—aku juga menjadi sasaran empuk untuk dijadikan korban.
Hari itu, seperti biasa, aku mengambil makan di kantin. Semuanya berjalan normal... sampai suara yang paling kubenci terdengar di belakangku.
"Oi."
Aku tahu suara itu. Tapi aku tetap diam, berpura-pura tidak mendengar.
Langkah kakinya mendekat. Aku bisa merasakan napasnya di telingaku.
"Beraninya kamu mengabaikanku... nanti ke belakang. Awas kalau gak datang," ucapnya lagi, kali ini dengan nada mengancam.
Aku tidak ingin pergi. Tapi aku tahu, mereka akan tetap mencariku.
...----------------...
Di belakang panti asuhan, ada sebuah bangunan kosong.
Tempat itu jarang dilewati siapa pun. Biasanya, anak-anak itu berkumpul di sana.
Orang yang tadi mengancamku di kantin bernama Beni—tubuhnya lebih besar dari anak-anak lain di panti.
Aku melangkah mendekati Beni dan kawan-kawannya. Menunduk. Tanpa ekspresi.
Tanpa peringatan—sebuah pukulan menghantam wajahku.
BUK!
Kepalaku terhempas ke samping. Rasa panas menjalar di pipi.
"Beraninya kamu menyombongkan diri di kantin," katanya sinis.
Aku tak tahu maksudnya.
Sebelum sempat berkata apa pun, sebuah tendangan keras menghantam perutku.
BAGH!
Aku tersungkur ke tanah. Tubuhku menggeliat kesakitan. Aku mencoba menarik napas, tapi rasanya seperti ada batu besar menindih dadaku.
Aku menatapnya dengan mata berair—bukan karena ingin menangis, tapi karena tubuhku berjuang menahan rasa sakit yang menyiksa.
"Bajingan ini," desisnya, lalu kembali menendangku—sekali, dua kali, tiga kali—tepat di perutku.
Udara keluar dari paru-paruku, aku terbatuk dan merasakan sesuatu yang hangat di mulutku.
Darah.
Gigi baruku, yang baru saja tumbuh, copot begitu saja. Terjatuh ke tanah, berlumuran darah.
Aku menatapnya.
Lalu, aku tertawa
"Hahaha... hahaha... HAHAHAHA!"
Suaraku menggema di antara gedung-gedung panti asuhan yang sepi.
Beni dan anak-anak lain menatapku dengan ngeri.
"Ada apa dengan bocah ini?" bisik salah satu dari mereka.
Aku tersenyum. Membuka mulut lebar-lebar. Menunjukkan gigi yang bolong dan darah yang masih menetes di sudut bibirku.
"Hehehe..."
Beni menegang. Tangannya sedikit gemetar.
Untuk pertama kalinya, aku melihat ekspresi seperti itu di wajahnya.
Dan entah kenapa, itu membuatku semakin ingin tertawa.
Mungkin karena itulah, Beni tiba-tiba menendangku sekuat tenaga.
DUGHH!
Tubuhku terlempar ke belakang. Kepalaku membentur tanah dengan keras.
Kesadaranku perlahan memudar—hingga semuanya tenggelam dalam gelap.
...----------------...
Aku berada di suatu tempat yang gelap.
Dingin.
Senyap.
Aku merasa sesuatu menyentuh tubuhku.
Tangan.
Banyak sekali tangan muncul dari dalam kegelapan, merayap di kulitku, menarikku semakin dalam ke dalam kegelapan di belakangku.
Tapi... aku tidak merasa takut.
Aku merasa... tenang—ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku ingin tenggelam. Aku ingin tetap berada di tempat ini... selamanya.
......................
Aku terbangun dengan napas tersengal.
"Ugh... mimpi apa itu tadi?" gumamku pelan.
Seluruh tubuhku terasa nyeri, seperti remuk.
"Kau sudah bangun?" Suara seseorang terdengar di sampingku. Aku menoleh pelan.
Seorang petugas panti duduk di kursi, menatapku dengan wajah datar.
"Jangan terlalu banyak bergerak. Luka-lukamu masih belum sembuh," katanya.
Aku hanya mengangguk pelan.
...----------------...
Beberapa hari terakhir, anak-anak seusiaku menghilang satu per satu dari panti asuhan.
Setiap kali aku bertanya pada pengurus, jawabannya selalu sama:
"Mereka sudah menemukan tempatnya."
Tapi... kata-kata itu terdengar aneh.
Entah kenapa, firasatku mengatakan ada sesuatu yang sangat salah di tempat ini.
......................
Malam Tahun Baru.
Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap keluar jendela.
Dan saat itulah aku melihatnya.
Di luar panti, di antara bayang-bayang, sosok-sosok samar berkeliaran.
Mereka mengenakan masker, menyembunyikan wajah mereka.
Di tangan mereka, ada pisau.
Lalu—
sebuah senjata api.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 51 Episodes
Comments