TAKDIR DUNIA

Azam berlari kencang, menerobos keramaian, mengejar sosok lincah yang terus menyelinap di antara celah sempit. Setiap langkahnya terasa sia-sia—buruan itu selalu menemukan cara untuk lolos, membuat pengejaran semakin sulit.

Sosok itu bergerak gesit, melompat, berputar, menaklukkan rintangan dengan parkour yang nyaris sempurna. Azam berusaha mengimbangi, tapi perlahan, pandangannya mulai kabur.

tubuhnya mulai terasa panas, napasnya berat. Usianya mungkin mulai memberi batasan, tapi amarahnya menutupi segalanya. Adrenalin mengalir deras, memaksanya tetap berlari.

Lalu—dia kehilangan jejak.

Azam terhenti, berdiri di tempatnya. Napasnya berat, dadanya naik-turun seiring usaha menenangkan diri. Keringat mengalir di wajahnya, membasahi pelipis. Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia merogoh saku dan mengambil teleponnya.

"Halo, Abah!" suara anggota TCG langsung terdengar di seberang.

"Huft... huft..." Azam masih terengah-engah.

"Abah kenapa?!?"

"Kenapa... kamu... teriak-teriak?" suara Azam lelah. "Aku sepertinya ada di dalam hutan....,akan ku kirim lokasinya."

Azam baru sadar, Di sekelilingnya hanya ada pepohonan.

Azam melihat cahaya di antara pepohonan—terlalu familiar baginya. Tanpa ragu, ia melangkah mengikuti kilau itu. Begitu keluar dari hutan, sosok elf perempuan melintas di hadapannya.

'Mimpi ini lagi? Yang benar saja...' batinnya kesal.

Ia berbalik, berniat kembali ke dalam hutan untuk menghindari elf itu. Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, sebuah tangan menepuk pundaknya.

"Hei! Apa kamu ingin masuk ke hutan itu?" suara elf itu terdengar ceria.

"Iya, kenapa?" balas Azam singkat, nadanya sedikit kesal.

"E-eh, apa aku berbuat salah?" elf itu terlihat panik.

Ia sudah tak terhitung berapa kali mengalami mimpi ini. Setiap kali terbangun, ia selalu kembali ke titik yang sama. Ini bukan sekadar mimpi, ini siklus yang mengurungnya.

Jika ia bermimpi selama satu bulan, ia akan memiliki pengalaman satu bulan di dunia ini.

Jika dua bulan, ia mendapatkan pengalaman dua bulan.

Jika tiga bulan, maka tiga bulan pula ia terjebak di sini.

Dan yang terlama, ia pernah berada di dunia ini selama sembilan bulan.

Namun kini, ia tidak punya waktu lagi untuk mengulangi semua itu. Ia harus bangun—secepatnya.

Azam tiba-tiba teringat sesuatu. Ia menatap elf di depannya dan bertanya,

"Bisakah kamu membawaku ke orang tua di gubuk itu?"

Elf itu tampak kebingungan sejenak sebelum akhirnya menyadari sesuatu. "Oh! Apakah yang kamu maksud sang peramal?"

Azam mengangguk. Dalam mimpi pertamanya, ia pernah bertemu orang tua itu di dalam gubuk. Saat itu, sebelum ia sempat memahami apa yang terjadi, sesuatu menariknya ke dalam kegelapan, dan saat kesadarannya memudar, ia terbangun di dunia nyata.

Sejak saat itu, setiap kali mimpi ini terulang, Azam selalu menjauhi sumber cahaya di hutan, menghindari elf, dan tanpa sadar juga menghindari gubuk itu.

Jika gubuk itu benar-benar bisa membuatnya terbangun, maka satu-satunya cara adalah mengulangi apa yang terjadi saat pertama kali ia datang ke sini.

Azam menatap elf itu.

"Bawa aku ke peramal itu, Sekarang."

......................

Azam tiba di depan gubuk yang terakhir kali menariknya, Pandangannya menyapu tempat itu sejenak sebelum ia melangkah menaiki tangga kayu yang sedikit berderit di bawah kakinya.

Sampai di depan pintu, ia merasakan sesuatu yang familiar—seolah dejavu menyelimutinya. Tanpa ragu, ia membuka pintu.

Dan saat itu juga—hal yang ia kenali kembali terjadi.

Sebuah kekuatan tak terlihat menarik tubuhnya, menyerupai sihir. Namun, berbeda dari sebelumnya, ia tidak terlempar dari dunia ini. Kesadarannya tetap Utuh.

Rasa tercekik itu datang—seperti tangan tak kasat mata yang melilit erat di lehernya, merampas udara yang seharusnya menjadi haknya.

Matanya segera mencari sumbernya—dan di sanalah sosok elf tua itu berdiri.

Tatapan Azam berubah dingin.

Seketika, elf tua itu merinding. Jantungnya berdetak tak beraturan, tubuhnya terasa membeku di tempat. Ada sesuatu dari pandangan itu—sesuatu yang membuatnya merasa bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.

Azam perlahan mengangkat tangannya. Sejak kecil, ia telah memahami dan merangkai konsep kekuatan ini dengan sendirinya—kesempurnaan sebagai kekuatan, kehampaan sebagai wadahnya.

Saat pemahaman itu muncul, kekuatan yang mencekik lehernya menghilang begitu saja—seolah tidak pernah ada. Namun, itu bukan sekadar hilang. Kekuatan itu telah terseret bersama mereka ke dalam kehampaan.

Keduanya kini berdiri di dalam ruang kehampaan, di mana segala sesuatu kehilangan arti keberadaannya. Azam tetap menjaga eksistensinya sendiri—dan juga elf tua itu.

Elf tua itu terhuyung, tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin membasahi wajahnya, kulitnya memucat seperti orang yang baru saja melihat akhir dunia.

Karena bagi elf tua itu, mungkin memang itulah yang baru saja terjadi.

Azam menunjuk elf tua itu dan bertanya dengan suara datar, "Apa kamu berniat membunuhku?"

Elf tua itu gemetar, wajahnya pucat pasi. Dengan suara terbata-bata, ia memohon, "A-ampuni aku… mohon, jangan hancurkan dunia ini…"

Azam mempersempit matanya, merasa ada sesuatu yang janggal. Ia mengabaikan ketakutan elf tua itu dan bertanya lagi, "Kenapa kamu tidak mengembalikan aku ke duniaku seperti sebelumnya?"

Elf tua itu tampak semakin kebingungan. "Mengembalikan? Sebelumnya?" Nada suaranya dipenuhi ketidaktahuan. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud Azam.

Azam menatap tajam ke matanya. Tidak ada tanda-tanda kebohongan di sana. Elf tua ini benar-benar tidak tahu.

Aneh… Kenapa dia tidak menyadari apa yang terjadi?

Kepalanya mulai dipenuhi pertanyaan baru. Tidak! Bagaimana cara aku bisa kembali ke duniaku?

Perasaan tidak nyaman mulai merayapi Azam. Tidak mungkin ia harus menunggu satu tahun hanya untuk terbangun. Pasti ada cara lain.

pikirannya terus mencari celah dalam situasi ini. Semakin lama ia berpikir, semakin jelas satu hal—ia tidak bisa membiarkan dirinya terjebak di dunia ini terlalu lama.

Azam berhenti, lalu menatap elf tua itu sekali lagi.

Mungkin… sudah waktunya menggunakan ini untuk mencari jawaban.

Azam menunjuk elf tua itu dan berkata, "SEGALA SESUATU AKAN ADA SELAMA EKSISTENSINYA TETAP ADA. DAN SESUATU TIDAK AKAN PERNAH TERJADI JIKA EKSISTENSINYA TIADA. SESUATU HANYA DAPAT TERCIPTA JIKA EKSISTENSINYA MEMANG ADA SEJAK AWAL."

Tiba-tiba, elf tua itu tampak seperti dirasuki sesuatu. Matanya membelalak, tubuhnya gemetar, dan dari mulutnya meluncur kata-kata yang seolah bukan miliknya. Ia mengungkapkan segala hal yang diketahuinya tentang Azam. Namun, tidak ada yang benar-benar menarik—selain ramalan bodoh.

Azam mendengus pelan. "KALAU BEGITU, AKU AKAN MENGHAPUS EKSISTENSI TAKDIR KEHANCURAN DUNIA DARI TANGANKU."

Elf tua itu tertegun. Pandangannya kosong untuk sesaat, lalu tiba-tiba, napasnya tersengal. Matanya membesar seakan tidak percaya. Ramalan yang selama ini selalu ia lihat—takdir kehancuran dunia—tiba-tiba menghilang. Tidak ada lagi gambaran kehancuran dalam pikirannya.

Air mata mengalir di pipinya. Dengan suara penuh syukur, ia berulang kali berkata, "Terima kasih… terima kasih…."

Azam mengangkat alis. "Kenapa kau berterima kasih?" Tatapannya tajam. "Sekarang katakan apa yang kau ketahui, Ingatan itu pasti sudah ada dalam kepalamu."

Elf tua itu mengusap air matanya dan mengangguk pelan. "Iya… aku melihat sekilas. Ingatan itu tiba-tiba muncul… tapi sepertinya itu bukan kejadian masa lalu, melainkan kejadian saat ini."

Azam menyipitkan matanya. "Apa maksudmu?"

Elf tua itu menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Itu berarti… kamu kembali ke duniamu bukan karena aku… tapi karena dirimu sendiri."

Azam terdiam. Kata-kata itu berputar di kepalanya, mencoba mencari celah dalam logikanya. Lalu, sebuah pemikiran melintas di benaknya—sesuatu yang terasa sangat familiar dengan situasinya.

Paradox.

Jika sesuatu telah terjadi di masa lalu, maka itu pasti akan terjadi di masa sekarang. Jika ia berusaha menghapus paradox ini, bukankah ia justru menciptakan paradox yang baru?

Ia tidak boleh gegabah. Mungkin saat ini ia sudah masuk ke dalam garis paradox. Tapi ada satu hal yang paradox tidak bisa raih—penghapusan eksistensi itu sendiri.

Jika ia ingin mengakhiri ini, ia hanya perlu menghapus eksistensi yang menjadi penyebab paradox tersebut.

Azam menyingkirkan semua pikirannya untuk sementara.

Dengan satu tarikan napas, ia kembali dari kehampaan. Tubuhnya dan elf tua itu tetap utuh, eksistensinya tidak terpengaruh.

Kehampaan—sebuah tempat di mana keberadaan kehilangan maknanya. Yang pernah ada, tak lagi bisa disebut ada. Segala yang terjadi di masa kini terpantul ke masa lalu.

Ini adalah ruang yang mengerikan bagi eksistensi itu sendiri.

Elf tua itu menatap Azam dengan mata penuh keraguan dan ketakutan. Dalam benaknya, muncul sebuah pemikiran yang mengganggu—mungkin saja keberadaan Azam sendiri telah mengacaukan keseimbangan dunia ini.

Azam melangkah keluar dari gubuk itu. Angin dingin menerpa wajahnya, tapi pikirannya sibuk dengan sesuatu yang jauh lebih besar.

Bagaimana jika… ia menghapus eksistensi desa elf ini?

Mungkin paradox ini terjadi sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di desa para elf. Mungkin ini semua bermula dari sana.

Azam belum pernah menggunakan kekuatannya lebih dari sekadar perlindungan diri.

Lagipula, Azam sudah lama menyadari satu hal—setiap kali ia terbangun, dunia ini selalu di-reset.

atau... cara untuk menghapus paradox ini adalah dengan menghapus eksistensi dunia ini, tapi itu terlalu ekstrim.

Setelah berpikir lama, Azam menyadari sesuatu.

Bagaimana jika bukan menghilangkan eksistensi, tetapi menciptakan kembali apa yang telah ia hapus sebelumnya?

Selama ini, Azam sudah menghapus konsep kekuatan sihir dari dirinya sendiri. Segala bentuk sihir yang mengenainya akan lenyap begitu saja. Tapi ada satu hal yang janggal—kenapa sihir elf tua tadi masih bisa mempengaruhinya? Apa karena dunia ter reset?

Seketika itu juga, pemahaman baru muncul di benaknya.

Dunia ini tidak benar-benar di-reset. Yang terjadi adalah setiap kali eksistensi Azam menghilang, dunia ini secara otomatis menciptakan takdir baru untuk menggantikannya. Seolah-olah realitas berusaha memperbaiki celah yang ia tinggalkan.

Dunia tidak bisa menerima kekosongan begitu saja. Ia akan terus menyesuaikan dirinya, membentuk kembali takdir tanpa kehadiran Azam.

Tali takdir!

Azam memikirkannya lebih dalam. Jika ia ingin menghapus sesuatu sepenuhnya, ia tidak boleh hanya menghapus eksistensinya saja—ia harus menghapus tali takdir yang mengikat eksistensi nya ke dunia ini.

Ini seperti air di sungai

Jika seseorang melempar batu besar ke sungai, aliran air akan menyesuaikan diri, mengalir ke jalur lain.

Azam teringat dengan Kehampaan.

Kehampaan tidak sekadar menghapus seseorang dari realitas—ia juga menghapus tali takdir itu sendiri. Tak ada celah bagi dunia untuk memperbaiki kehilangannya.

Itulah kunci untuk keluar dari paradox ini.

Dunia ini masih menganggapnya sebagai bagian dari keseimbangan, sehingga terus menariknya kembali setiap kali ia mencoba pergi.

Azam memejamkan mata, merasakan eksistensinya sendiri. Tali takdir itu—yang mengikatnya ke dunia ini—bukan sesuatu yang bisa dilihat atau disentuh, tapi sesuatu yang ada di luar pemahaman biasa.

"jadi masalahnya ada pada tali takdir!" ucap Azam, lalu Azam melanjutkan

"EKSISTENSI AWAL DAN AKHIR! KEMBALIKAN YANG SEHARUSNYA ADA, LENYAPKAN YANG TAK PERNAH AD—"Aah Aku hanya butuh pemahaman untuk menggunakan kekuatanku. HAPUS TALI TAKDIR DUNIA INI YANG MENGIKATKU"

SSSSSST!

Azam membuka mata.Tali takdirnya mulai terurai.

Langit mendadak berubah—gelap gulita.

Dunia bergetar. Udara di sekelilingnya berdenyut, seperti ombak tak kasat mata yang merambat ke segala arah. Seolah-olah sesuatu yang mendasar… sedang berubah.

Langit berubah gelap. Udara mendadak terasa hampa. Cahaya dari dunia ini mulai meredup, perlahan menghilangkan eksistensi Azam tanpa meninggalkan jejak apapun.

Aku melihat elf tua membuka pintu,Elf tua membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Matanya kehilangan fokus, seakan mencoba mengingat sesuatu yang perlahan menghilang dari pikirannya.

Seluruh dunia ini mulai berubah. Seolah Azam memang tidak pernah ada di sini.

Dan saat tali takdir yang mengikatnya ke dunia ini benar-benar hilang...

Azam terbangun.

Ia terengah-engah, menatap langit-langit kamar. Cahaya pagi menembus jendela, menyilaukan matanya. Tangannya gemetar, masih merasakan sensasi kehampaan yang baru saja dialaminya.

Dia kembali.

Tapi ada sesuatu yang terasa aneh.

Ketika ia mencoba mengingat kembali perjalanannya di dunia itu, semua terasa kabur. Pengalaman,Nama-nama, wajah-wajah, bahkan alasan kenapa dia ada di sana mulai memudar dari ingatannya.

Azam menatap tangannya sendiri. Seolah-olah semua yang terjadi hanyalah mimpi yang semakin sulit untuk diingat.

Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu... dia pernah ada di sana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!