Seruan untuk penumpang pun terdengar, mereka akhirnya melepas Zevana pergi. Entahlah, ada firasat tidak enak di hati Zevan. Tapi Zevan tetap akan berdo'a yang terbaik untuk kembarannya itu.
Disinilah kini Zevana, jauh dari tanah kelahirannya. Ia ikut menjadi Dokter relawan di Mesir, daerah yang cukup konflik. Perang antara isriwil dan Palestine menjadikan negara ini sebagai kamp pengungsian. Banyak tenda-tenda berjajar disana. Termasuk beberapa tenda untuk tenaga medis.
Setelah menempuh perjalanan berjam-jam lamanya akhirnya Zevana dan rombongan sampai disini. Sesampainya di lokasi Zevana langsung di tarik oleh seseorang. "Dokter Zevana kan?" Langsung di angguki oleh si empunya nama.
Seseorang itu lantas menarik tangan Zevana. Tahu kalau terjadi sesuatu yang darurat Zevana meraih ransel berisi perlengkapan medisnya.
"Dok, ada kasus didepan. Tempatnya agak-agak, tapi semoga masih bisa diselamatkan." Ucap gadis berkhimar hitam lengkap dengan niqob.
"Aamiin." Saut Zevana seraya berjalan tergesa karena gadis itu terus menarik tangannya.
Dari kejauhan Zevana dapat melihat beberapa orang terbaring dan tengah di tangani. Beberapa lagi tampak menahan sakit, karena menunggu giliran. Yah, keterbatasan tenaga medis disini menjadi penyebabnya. (Ehh tapi penyebab utama tetap kejamnya isriwil.)
"Dok, yang itu." Gadis itu menunjuk ke salah seorang pemuda yang terbaring lemah. Dilihatnya pemuda itu, terlihat beberapa luka dikepala. Pemuda itu mengenakan baju relawan milik Pondok Pesantren Ayahnya.
"Dari Al Azhar?" Gumam Zevana pelan namun masih bisa di dengar gadis di sampingnya, dan gadis itu mengangguk.
Segera Zevana mengeluarkan peralatan yang berada di dalam tas. Dengan gesit dan telaten Dokter Muda itu memeriksa kondisi pasien.
"Tolong! Aku butuh satu kantong darah golongan O. Apa kamu tahu dimana aku bisa mendapatkannya?" Zevana mendapat anggukan dari gadis yang terus berada disisinya. Sepersekian detik gadis itu melesat pergi.
Sembari menunggu gadis itu kembali, Zevana melakukan tindakan. Ia mengobati beberapa luka gores di wajah dan lengan. Kemudian baru Ia beralih pada luka di perut. Luka yang cukup lebar, Zevana harus menjahitnya. Sebelum melakukan tindakan Ia kebih dulu menyuntikan anestesi untuk mengurangi rasa sakit.
"Kenapa belum sadar juga ya? Ini pasti karena efek kekurangan darah." Zevana bermonolog sendiri.
"Wajahnya meneduhkan, apa lagi kalau dia buka mata ya? Allahumma barik..." Zevana bergumam dalam hatinya setelah usai memberi perban anti air di perut pasien.
"Dok, ini darahnya.. Maaf agak lama, ribet soalnya harus isi ini itu. Stoknya terbatas, ini saja sisa satu ini." Papar gadis berniqob.
Zevana tersenyum hingga memperlihatkan gigi gingsulnya. "Alhamdulillah masih ada. Pasien kehilangan banyak darah soalnya. Jazakillah Khair..." Ia pun segera memberikan tindakan selanjutnya.
"Emm.. Dok, beliau nggak apa-apa kan?" Tanya si gadis yang masih stay berdiri.
Zevana menjeda kegiatannya, "Alhamdulillah, It's okay. Kenapa memangnya? Anda walinya? Atau mungkin..." Ucapnya menggantung.
Mengerti maksud Zevana, gadis itu buru-buru membuka suara untuk menjelaskan. "Ahh, tidak Dok... Saya bukan walinya, saya juga tidak mengenal beliau. Hanya saja beliau tadi membantu saya menyelamatkan salah seorang pengungsi yang hampir di bawa oleh musuh." Terang gadis berniqob itu.
Zevana mengangguk paham, "Begitu rupanya, pasien baik-baik saja. Hanya luka di beberapa titik, paling parah bagian perut. Tapi alhamdulillah, meski lebar tapi tidak terlalu dalam. Sekarang darah sudah di transfusi, InSyaaAllah sebentar lagi sadar." Zevana menjelaskan detil keadaan pasien.
"Alhamdulillah..." Syukur gadis berniqob yang hendak melangkah pergi.
"Ehh tunggu, Siapa nama pasien? Saya mau mengisi data pasien." Zevana menghentikan langkah gadis berniqob dengan menepuk punggungnya.
"Maaf, Dok... Ana kurang paham, nanti coba anda tanya langsung pada beliau. Saya masih ada urusan, yang terpenting beliau sudah aman." Jawab gadis itu yang hanya di tanggapai dengan anggukan kepala Zevana.
Setelah kepergian gadis berniqob, Zevana kembali menyibukkan diri dengan mengobati beberapa pasien disana. Sungguh hatinya merasa teriris saat ini melihat anak kecil terluka parah di bagian kaki dan pelipis.
Dokter muda itu langsung mengambil tindakan. Seperti tadi dan biasanya, Ia selalu bekerja dengan sat set dan juga teliti tidak lupa rapih. Usai memberikan tindakan pada little superman, Zevana menengok pada pasien yang sebelumnya. Terlihat pasien itu sudah siuman, Ia kemudian menghampiri.
DEG..
DEG...
Jantung Zevana berdegup lebih kencang kala menatap kedua netra pasien. Ia buru-buru menundukkan kepalanya. "Astagfirullah" Lirinya dalam hati, menyesal atas sikapnya barusan. Menatap manik mata yang bukan mahramnya dan menikmati keindahannya. Sungguh hal yang sangat dilarang untuk Zevana.
"Permisi, bagaimana perasaan mu saat ini?" Tanya Zevana seraya mengecek jalannya infus.
"Masih sama." Jawaban singkat lelaki di sebelahnya membuat alis Zevana bertaut.
"Apa masih ada yang terasa tidak nyaman?" Kembali Zevana menanyakan kondisi lelaki di sampingnya yang terbaling lemah.
Lelaki itu meletakkan telapak tangan didadanya. "Disini, Dok." Jawab lelaki itu kembali.
"Baiklah, akan ku periksa." Zevana sudah memasang stetoskop di telinganya, namun tiba-tiba lelaki itu kembali berucap.
"Tidak perlu, Dok. Saya tahu obatnya dan bagaimana kondisinya. Alhamdulillah sejauh ini semua baik-baik saja berkat, Dokter." Papar lelaki itu memperlihatkan senyum manisnya.
Sungguh Zevana terkesima dengan senyuman meneduhkan itu. Entah kapan? Zevana seperti pernah melihat lelaki itu. Ahh, Zevana lupa begitu banyak pasien yang Ia tangani selama ini.
Eh tunggu, apa maksud semua ucapan lelaki tadi? Terkesan memberi kode atau bagaimana? Ah, entahlah Zevana tidak mau pusing. Masih banyak pasien yang harus Ia tangani.
"Kalau begitu istirahatlah, saya melihat tadi sudah ada makanan dan juga saya sudah siapkan obat untuk anda di meja sebelah." Zevana menjulurkan jari jempolnya pada arah samping brangkar.
Meskipun tidak lengkap, namun tenda medis milik RS Hermina disini cukup mumpuni. Zevana nyaman disini, walau perasaan was-was tetap ada.
"Terimakasih, Dok." Ucap lelaki itu sebelum Zevana pergi dan dokter muda itu hanya menanggapi dengan anggukan.
Ahh iya, Zevana lupa, dia harus meminta data diri. Ia pun segera balik badan dan meraih berkas yang ada di nakas serta pulpen di saku jasnya. Tentu hal itu tak luput dari penglihatan lelaki yang masih terbaring lemah dengan menatap bingung Zevana.
"Maaf, saya lupa menanyakan data anda. Namanya?" Zevana sudah bersiap dengan pulpennya.
"Hanif Nasiruddin." Ucapnya singkat.
"Umur?" Kembali Zevana bertanya dengan tidak melepas pandangan pada kolom-kolom dikertas.
"Biar saya isi saja, Dok." Tawar lelaki yang baru di ketahui namanya itu.
"Tuan Hanif, anda pasien disini." Ucap Zevana yang sukses membuat Hanif diam.
"Dua puluh sembilan tahun." Suara Hanif terdengar kembali.
"Baiklah, terimakasih." Zevana lantas berlalu begitu saja.
Sungguh tak Hanif sangka akan bertemu dengan Dokter Cantik di tempat seperti ini. Masih dia ingat sorot mata dan wajah ayu itu. Masih sama seperti dulu pikirnya.
To Be Continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Nurgusnawati Nunung
Kalau lelaki itu dari Pesantren Al Azhar pasti kenal, cuma lupa.
2025-02-06
1
🌷💚SITI.R💚🌷
la juuut
2025-02-06
0
💞pejuang🤑🤑🤑
wahhh kayaknya kenal nih
2025-02-02
1