NovelToon NovelToon

PARA PENCARI

LANGKAH AWAL

Udara di desa itu terasa berbeda sejak mereka tiba. Bukan sekadar dingin yang menggigit, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menekan, membuat setiap helaan napas terasa berat. Desa kecil di lereng gunung ini tampak seperti tempat yang ditinggalkan oleh waktu bangunan-bangunan tua dengan cat yang sudah mengelupas, jalanan berbatu yang dipenuhi lumut, dan suara-suara samar dari binatang hutan yang terasa semakin jauh.

"Nur, kau yakin tempat ini aman?" tanya **Tri**, suaranya terdengar sedikit ragu. Dia bukan tipe orang yang mudah merasa takut, namun tempat ini memberikan kesan yang berbeda. Matahari sudah tenggelam, dan hanya ada senter serta lampu kamera Nur yang menjadi penerang di tengah kegelapan.

Nur, yang berada di depan, menoleh sambil tersenyum kecut. "Aman atau tidak, yang jelas kita harus membuat konten yang menarik. Kita sudah dapat banyak laporan soal desa ini, tentang sosok-sosok yang sering muncul di malam hari."

**Pujo** menyipitkan mata, fokusnya seakan tertuju pada sesuatu yang tak kasatmata. "Bukan hanya sosok. Aku merasakan energi di sini... lebih kuat dari biasanya." Dia meraba-raba tongkat yang selalu dibawanya—tongkat kayu yang dianggapnya sebagai alat bantu untuk berinteraksi dengan dunia gaib. "Kita harus hati-hati."

**Ustad Eddy**, yang selalu menjadi pilar ketenangan di dalam tim, mengangguk setuju. "Ingat untuk selalu berdzikir, jaga hati dan niat. Tempat-tempat seperti ini bisa menjadi sarang makhluk yang tak suka kehadiran manusia." Tasbih di tangannya terus bergerak, setiap butirnya dilalui oleh jarinya yang kokoh namun lembut.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju rumah tua di ujung desa, bangunan yang katanya menjadi pusat keangkeran. Rumah itu sudah lama ditinggalkan, setelah pemiliknya dikabarkan hilang secara misterius. Penduduk desa enggan bicara banyak soal rumah itu, seolah-olah membahasnya saja bisa mengundang kesialan.

Rumah itu berdiri dengan megah, meski usang, di tengah lahan yang luas namun tidak terawat. Pagar besi yang berkarat, tanaman liar yang tumbuh setinggi pinggang, dan jendela-jendela yang sebagian besar sudah pecah. Saat mereka mendekat, angin dingin berembus semakin kuat, seakan memperingatkan mereka untuk tidak melanjutkan.

"Baik, kita mulai syuting di sini," kata Nur sambil mengarahkan kameranya ke rumah. "Pujo, kau duluan. Ceritakan apa yang kau rasakan."

Pujo melangkah maju, wajahnya serius. Dia menutup mata sejenak, menghela napas panjang, lalu membuka kembali matanya. "Rumah ini... menyimpan lebih dari sekadar kenangan buruk. Ada sesuatu yang berdiam di sini, sesuatu yang mengawasi kita."

"Jangan bilang kalau kau mulai ketakutan," canda Tri, mencoba meredakan ketegangan.

Pujo tersenyum tipis. "Bukan takut, tapi waspada. Makhluk di sini tidak biasa. Mereka cerdas."

Mereka berjalan menuju pintu depan rumah. Tiba-tiba, suara kayu berderak terdengar dari dalam rumah, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam. Nur langsung mengangkat kameranya, berharap menangkap sesuatu yang bisa menjadi bahan tayangan.

"Siap-siap, semuanya," bisik Ustad Eddy. "Kita masuk dengan doa."

Mereka berhenti sejenak di depan pintu, Ustad Eddy memimpin doa sebelum akhirnya mereka membuka pintu yang berat dan berderit keras. Udara lembap dan pengap menyeruak, membuat mereka hampir tersedak. Cahaya senter menyoroti ruang tamu yang luas, penuh dengan perabotan tua dan debu tebal.

"Ini... seperti ruang waktu yang terhenti," gumam Tri sambil melangkah masuk.

Pujo mengangguk setuju, tetapi matanya terus bergerak, menelusuri setiap sudut. "Ada sesuatu di sini, mungkin di lantai atas."

Tanpa membuang waktu, mereka menuju tangga yang mengarah ke lantai dua. Tangga kayu itu berderit di setiap langkah mereka, seolah-olah mengancam akan runtuh. Saat mereka sampai di lantai atas, suasana semakin mencekam. Ada beberapa kamar di sini, pintu-pintu tertutup rapat.

Nur memutuskan untuk membuka pintu pertama. Di dalam, hanya ada sebuah tempat tidur tua yang lapuk, dan jendela yang menghadap ke halaman belakang. "Tidak ada apa-apa di sini," katanya, meski hatinya mengatakan hal sebaliknya.

Mereka berpindah ke kamar berikutnya. Saat pintu dibuka, senter Pujo menangkap sesuatu—sebuah bayangan yang bergerak cepat melintasi ruangan. "Apa itu?" tanya Tri dengan suara gemetar.

Pujo segera masuk ke ruangan, matanya tajam, berusaha mengikuti pergerakan bayangan itu. Namun, ruangan itu kosong, hanya sebuah lemari tua yang berdiri di sudut. "Ini tidak benar," gumamnya.

Tiba-tiba, lemari itu bergoyang pelan, seperti ada yang mencoba keluar dari dalam. Nur langsung mengarahkan kameranya, sementara Ustad Eddy dan Tri bersiap dengan doa-doa di bibir mereka.

Lemari itu berhenti bergoyang, namun suasana menjadi semakin tegang. Pujo melangkah mendekat, tangannya gemetar di atas tongkatnya. "Aku akan membukanya," katanya perlahan.

Dengan hati-hati, dia meraih gagang pintu lemari dan menariknya. Pintu terbuka perlahan, dan yang ada di dalam hanyalah pakaian-pakaian tua yang sudah berdebu.

"Ada sesuatu yang tidak terlihat," bisik Pujo. "Dia tidak mau menampakkan diri sepenuhnya."

Nur terus merekam, meski rasa dingin menjalar dari punggungnya hingga tengkuk. Suara aneh mulai terdengar, samar namun jelas, seperti bisikan di antara mereka. Ustad Eddy merapatkan sorban di kepalanya, wajahnya tegang. "Kita harus keluar dari sini. Jangan biarkan diri kita terpengaruh."

Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar, sesuatu yang tak terduga terjadi. Salah satu jendela di ujung ruangan pecah dengan keras, serpihan kaca beterbangan ke mana-mana. Angin dingin tiba-tiba menerobos masuk, membuat mereka terhuyung.

"Apa ini?" Tri berteriak, matanya membelalak melihat fenomena aneh di depan mereka. Dari celah jendela yang pecah, mereka bisa melihat sosok hitam berdiri di halaman belakang, tak bergerak, hanya memandang ke arah mereka.

Pujo yang pertama kali menyadarinya. "Itu dia," katanya dengan suara rendah. "Makhluk itu... mengawasi kita sejak awal."

"Keluar sekarang!" perintah Ustad Eddy. "Jangan biarkan kita terjebak dalam pengaruhnya."

Dengan cepat mereka bergegas keluar dari kamar, berlari menuruni tangga dengan napas terengah-engah. Namun, begitu mereka mencapai lantai bawah, pintu depan yang tadinya terbuka kini tertutup rapat.

"Astaga, pintunya!" Nur berusaha menariknya, namun pintu itu tak bergeming.

"Tidak mungkin," gumam Tri. "Pintu ini tidak bisa tertutup sendiri."

Sementara mereka mencoba membuka pintu, Pujo berdiri di tengah ruang tamu, matanya tertuju pada sesuatu yang tak terlihat. "Dia tidak ingin kita pergi," katanya pelan.

Ustad Eddy merapal doa-doa, berharap bisa melemahkan pengaruh makhluk yang menguasai rumah itu. "Kita harus tetap tenang. Jangan biarkan rasa takut menguasai kita."

Namun, rasa takut semakin sulit dikendalikan saat suara-suara aneh mulai terdengar dari setiap sudut ruangan—suara langkah kaki, bisikan samar, bahkan tawa lirih yang terdengar menyayat. Nur tetap merekam, meskipun tangan dan kakinya gemetar. Ini adalah momen yang paling ditunggu dalam konten mereka, namun juga yang paling berbahaya.

"Tunggu," kata Pujo tiba-tiba. "Aku tahu bagaimana cara keluar."

Dia berjalan menuju sudut ruangan, tempat ada sebuah cermin besar yang tergantung di dinding. "Cermin ini... adalah pintu."

Ustad Eddy menghentikan doanya dan menatap cermin itu dengan ragu. "Pintu menuju apa?"

"Menuju keluar," jawab Pujo. "Tapi bukan jalan yang biasa."

Tanpa berpikir panjang, Pujo meletakkan tangannya di permukaan cermin dan menarik napas dalam. "Ikuti aku, cepat!"

Dengan langkah pasti, dia melangkah masuk ke dalam cermin, seakan-akan permukaannya adalah air yang tenang. Nur, Tri, dan Ustad Eddy saling berpandangan sebelum akhirnya mengikuti Pujo, melangkah masuk ke dalam cermin yang tampak seperti pintu menuju dunia lain.

Saat mereka melangkah keluar dari cermin, mereka menemukan diri mereka berdiri di tengah halaman rumah yang sama, namun udara terasa berbeda. Tidak ada lagi rasa dingin yang menekan, dan suara-suara aneh itu menghilang.

"Kita keluar," bisik Nur, hampir tak percaya.

Namun, Pujo tahu, ini baru permulaan. "Tempat ini tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja. Kita harus menyelesaikan apa yang dimulai."

Malam itu mereka berhasil keluar, tetapi keangkeran rumah itu masih terasa. Petualangan mereka baru saja dimulai, dan tantangan yang lebih besar menunggu di depan.

PERTANDA DIBALIK BAYANGAN

Malam itu belum berakhir. Meskipun mereka sudah keluar dari rumah tua itu, suasana mencekam masih menyelimuti. Angin gunung yang menusuk membuat tubuh mereka menggigil, dan meski mereka berusaha tenang, perasaan bahwa sesuatu sedang mengawasi mereka tidak hilang.

Nur, yang sepanjang malam sibuk merekam, akhirnya menurunkan kameranya. “Kalian merasa ada yang aneh nggak? Aku rasa kita keluar dari rumah itu, tapi… ada sesuatu yang salah.”

Pujo, yang biasanya lebih pendiam, mengerutkan kening. "Ini belum selesai. Kita memang keluar dari dalam rumah, tapi aku merasa ada yang tersisa di dalam. Mereka belum ingin kita pergi."

Tri, yang selalu mencoba berpikir rasional, menatap Pujo dengan tatapan tak percaya. "Kau serius? Bukannya kita sudah keluar dari rumah itu?"

Ustad Eddy menundukkan kepalanya, menarik tasbih yang melingkar di tangannya dengan lebih erat. “Tempat ini, bukan hanya rumah itu yang dihuni makhluk-makhluk gaib. Seluruh wilayah ini sepertinya sudah lama terikat dengan dunia mereka. Aku bisa merasakan kehadiran yang kuat, bahkan saat kita sudah keluar.”

Kata-kata Ustad Eddy tidak pernah main-main. Sebagai seorang spiritualis yang mendalami ilmu agama dan pemahaman supranatural, dia bisa merasakan sesuatu yang tidak kasatmata jauh sebelum orang lain menyadarinya. Tri yang awalnya skeptis mulai merasakan keganjilan.

“Tunggu,” Nur berhenti sejenak, pandangannya tertuju pada layar kamera yang masih ia pegang. “Aku rasa aku menangkap sesuatu. Lihat ini.”

Mereka semua mendekat, melihat ke layar kamera Nur. Pada rekaman terakhir sebelum mereka keluar dari rumah, terlihat bayangan samar di sudut ruangan. Bayangan itu bukan sekadar refleksi atau pergerakan cahaya, melainkan sosok hitam yang berdiri diam, memandang mereka keluar.

“Apa itu?” Tri bertanya dengan suara serak. Meski sering terlibat dalam situasi mencekam, kali ini dia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.

Pujo mendekatkan wajahnya ke layar kamera, mencoba menganalisis sosok itu. “Itu dia. Sosok yang aku rasakan sejak kita masuk tadi. Dia bukan makhluk biasa. Mungkin dia adalah penghuni asli rumah ini, atau mungkin… yang lebih tua.”

Ustad Eddy berdiri di belakang mereka, memejamkan mata sejenak, melafalkan dzikir pelan di bibirnya. "Kita harus hati-hati. Sosok seperti itu bukan hanya sekadar ingin menakut-nakuti kita. Biasanya, mereka punya tujuan yang lebih besar."

Nur mendongak dari kameranya, menatap Ustad Eddy. “Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita nggak bisa begitu saja meninggalkan tempat ini tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Pujo mengangguk. “Aku setuju. Kita belum selesai di sini. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rumah tua yang ditinggalkan.”

"Kalau begitu, kita kembali?" Tri menelan ludah. Ia bukan pengecut, tapi instingnya kali ini berkata untuk menjauh. Namun, rasa tanggung jawabnya pada tim dan pada tugas mereka menuntunnya untuk tetap berani.

Ustad Eddy membuka matanya dan menarik napas dalam. “Sebelum kita kembali, kita harus melakukan persiapan. Dzikir, doa, dan perlindungan. Kita tak bisa sembarangan menghadapi makhluk seperti ini.”

Mereka semua setuju. Mereka duduk di tanah berlumut di dekat rumah, membentuk lingkaran kecil. Ustad Eddy mulai memimpin doa, sementara Pujo mengeluarkan beberapa benda dari tasnya—sebuah kantung kain hitam yang dia gunakan untuk ritual perlindungan. Di dalamnya, ada beberapa benda kecil yang tampak biasa, namun baginya benda-benda itu memiliki energi untuk melindungi mereka dari makhluk gaib yang jahat.

“Ini adalah jimat-jimat pelindung,” kata Pujo sambil membagikan satu per satu kepada yang lain. “Simpan ini di saku kalian. Ini bisa membantu mencegah mereka menyentuh kalian secara langsung.”

Tri menerima jimat itu dengan tangan gemetar. “Apa makhluk seperti itu bisa menyentuh kita?”

“Bukan hanya menyentuh,” jawab Pujo dengan nada serius. “Mereka bisa lebih dari itu. Mereka bisa memasuki pikiran, membuat kita bertindak di luar kendali, bahkan mempengaruhi nasib kita.”

Suasana semakin tegang. Nur menyalakan kembali kameranya, kali ini bukan untuk menangkap gambar, tetapi untuk memastikan bahwa setiap langkah mereka terdokumentasikan. "Kita masuk lagi, dan kali ini kita harus lebih siap."

Mereka berempat bangkit, perlahan melangkah kembali ke rumah tua itu. Malam semakin larut, dan kabut yang tadi tipis kini semakin tebal, menambah kesan mistis di sekitar mereka.

Sesampainya di depan pintu rumah, Pujo berhenti sejenak. "Sebelum kita masuk, ada satu hal yang harus kalian tahu."

Ustad Eddy menatap Pujo dengan heran. "Apa itu?"

Pujo menghela napas. "Makhluk di dalam sana... dia bisa berkomunikasi. Bukan seperti hantu-hantu yang biasanya hanya menampakkan diri atau membuat suara-suara aneh. Dia bisa berbicara, bahkan mungkin mencoba mempengaruhi kita."

Tri tampak semakin gelisah. "Berkomunikasi? Bagaimana kita tahu kalau dia berbohong atau mengatakan kebenaran?"

"Insting," jawab Pujo. "Kita harus mengandalkan insting dan hati kita. Ustad Eddy, kau bisa membantu menahan pengaruhnya dengan dzikir. Tapi kita semua harus tetap fokus."

Nur mengarahkan kameranya ke pintu rumah yang sudah terbuka sejak tadi, meskipun mereka yakin telah menutupnya sebelum pergi. "Baiklah, kita mulai lagi."

Langkah demi langkah, mereka memasuki rumah itu kembali. Suasana di dalam terasa lebih berat, lebih mencekam dibanding sebelumnya. Ruangan yang tadinya hanya dipenuhi perabotan tua kini terasa hidup, seakan setiap sudut menyimpan mata yang mengawasi mereka.

“Kita harus ke lantai dua lagi,” kata Pujo. “Dia ada di sana.”

Mereka berjalan melewati ruang tamu menuju tangga kayu yang berderit di setiap injakan. Di atas, udara terasa lebih dingin, dan suasana semakin pekat. Pintu kamar yang tadi mereka buka kini tertutup kembali, seolah-olah ada yang menutupnya setelah mereka pergi.

“Kita buka lagi,” kata Tri dengan suara bergetar.

Pujo membuka pintu kamar itu dengan hati-hati. Di dalam, semuanya tampak sama, kecuali cermin di sudut ruangan yang kini terlihat lebih besar, hampir memenuhi seluruh dinding.

"Itu cerminnya!" seru Nur. "Kita keluar dari sini tadi."

Namun kali ini, cermin itu memancarkan cahaya samar, seolah-olah ada sesuatu di balik permukaannya yang berusaha keluar. Pujo melangkah maju, menatap cermin dengan tajam. “Dia ada di sini. Dia menunggu kita.”

Ustad Eddy segera memulai dzikir, memegang tasbihnya lebih erat. “Jangan biarkan dia masuk ke dalam pikiran kita. Tetap fokus.”

Tiba-tiba, dari dalam cermin, terdengar suara. Suara itu lirih, namun jelas. “Kenapa kalian kembali? Apa yang kalian cari?”

Mereka semua terdiam, saling bertukar pandang, memastikan suara itu bukan dari salah satu dari mereka. Pujo adalah yang pertama menjawab. “Kami di sini untuk memahami apa yang terjadi di tempat ini. Apa yang kau inginkan?”

Suara itu tertawa, namun terdengar seperti gemerisik daun kering yang diinjak. “Aku tidak menginginkan apa pun. Kalian yang datang, dan kalian yang harus membayar.”

Nur, yang tadinya sibuk merekam, mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Layar kamera tiba-tiba mati, dan tombol-tombolnya tidak merespons. “Kameraku rusak. Kita harus cepat!”

Pujo mendekati cermin, memegang tongkatnya erat. “Apa yang sebenarnya kau inginkan dari kami?”

Suara itu semakin jelas. “Kalian ingin tahu tentang tempat ini? Tempat ini adalah milikku. Kalian masuk ke wilayahku, dan kalian tidak bisa pergi begitu saja.”

Ustad Eddy melanjutkan dzikirnya, suaranya semakin keras. Cahaya cermin tiba-tiba berubah, menjadi gelap dan suram. Dari dalamnya, sosok hitam mulai muncul, perlahan-lahan bergerak keluar dari permukaan cermin.

Tri mundur beberapa langkah, ketakutan memenuhi wajahnya. “Apa itu?”

Pujo berdiri tegak di depan sosok itu, melindungi yang lainnya. “Ini dia. Makhluk yang menguasai tempat ini.”

Sosok hitam itu tidak memiliki wajah, hanya bentuk samar yang menyerupai manusia. Namun, kehadirannya begitu kuat, seolah-olah menarik setiap inci keberanian dari mereka. Pujo mengangkat tongkatnya, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

“Kalian harus pergi,” suara itu bergema. “Tempat ini bukan untuk manusia.”

Ustad Eddy melangkah maju, mengarahkan tangannya ke arah sosok hitam itu sambil melantunkan doa-doa perlind

ungan. “Dengan izin Allah, aku perintahkan kau untuk pergi dari tempat ini!”

Sosok itu berhenti, namun tak ada tanda-tanda bahwa ia akan menyerah. Sebaliknya, ia semakin mendekat, dan ruangan itu mulai bergetar.

“Kita harus keluar sekarang!” teriak Pujo.

Tanpa pikir panjang, mereka semua berlari keluar dari kamar itu, menuruni tangga dengan cepat, meninggalkan rumah tua yang kini benar-benar hidup. Di luar, mereka berhenti, menarik napas dalam-dalam sambil melihat ke arah rumah yang perlahan-lahan tertelan oleh kabut tebal.

“Ini belum berakhir,” kata Pujo sambil menatap rumah itu. “Kita belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi.”

Ustad Eddy mengangguk pelan. “Tapi untuk sekarang, kita harus pergi. Kita tidak bisa melawan sesuatu yang belum kita pahami sepenuhnya.”

Malam itu, mereka meninggalkan tempat itu, tapi bayangan yang tertinggal di pikiran mereka akan terus menghantui. Misi mereka belum selesai. Keangkeran tempat itu masih menunggu untuk diungkap, dan mereka tahu bahwa suatu hari, mereka harus kembali.

MISI PENCARIAN

Hari sudah berganti, namun rasa tegang dari malam sebelumnya masih menyelimuti Nur, Pujo, Ustad Eddy, dan Tri. Mereka berkumpul di sebuah kafe kecil di pusat kota, menelaah rekaman yang mereka ambil di rumah tua itu. Nur membuka laptopnya, menampilkan video yang mereka rekam, sementara aroma kopi segar memenuhi ruangan.

“Kalau kita terus-menerus seperti ini, kita nggak bakal tahu apa yang sebenarnya terjadi,” Tri berkata sambil mengaduk kopinya. “Kita harus mencari cara untuk mengungkap misteri itu.”

Nur mengangguk. “Kita sudah melihat sesuatu yang tidak biasa di sana. Tadi malam, aku tidak hanya merekam hantu. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih kuat. Sosok di cermin… aku merasa dia bukan hanya penjaga tempat itu.”

Pujo menatap layar, memfokuskan perhatian pada gambar yang muncul. “Aku setuju. Ada sesuatu yang menarik perhatian kita, dan kita harus menggali lebih dalam. Kita harus mengetahui sejarah tempat itu, siapa makhluk itu, dan apa tujuannya.”

“Sejarah?” Ustad Eddy mengalihkan pandangannya dari kopi. “Kita mungkin bisa mencari tahu lebih banyak tentang tempat itu di perpustakaan lokal atau arsip sejarah. Mungkin ada sesuatu yang bisa menjelaskan kehadiran makhluk tersebut.”

Tri menambah, “Kita juga bisa mencari orang-orang yang pernah tinggal di sana. Mungkin mereka punya pengalaman yang bisa membantu kita.”

Keputusan diambil. Mereka akan melakukan riset mendalam mengenai rumah tua itu dan sejarahnya. Kafe kecil tempat mereka berkumpul menjadi markas sementara bagi mereka. Nur membuka laptopnya, mencari informasi yang bisa berguna. Setiap klik dan ketikan seakan membawa mereka lebih dekat ke jawaban yang mereka cari.

Setelah beberapa jam menjelajahi internet dan mencari data, Nur menemukan sebuah artikel tua tentang desa dan rumah tersebut. Dia membaca dengan suara pelan, mencoba memecahkan kode misteri yang ada.

“Dulu, ada seorang dukun yang tinggal di sini,” kata Nur. “Dia dikenal sangat kuat dan sering membantu penduduk desa dengan pengobatan alternatif. Namun, ketika dukun itu meninggal, banyak penduduk mulai mengalami kejadian aneh dan mengerikan.”

Tri menatap Nur dengan rasa ingin tahu. “Kejadian aneh? Apa yang terjadi?”

“Konon, para penduduk melaporkan suara-suara aneh, bayangan hitam, dan bahkan ada yang melihat sosok dukun itu muncul di malam hari. Akhirnya, rumah itu ditinggalkan dan menjadi tempat angker yang ditakuti semua orang.”

Pujo mengernyit. “Sosok di dalam cermin bisa jadi adalah arwah dukun itu. Dia mungkin tidak ingin pergi dan masih terikat dengan tempat itu.”

Ustad Eddy mengangguk. “Kita perlu lebih banyak informasi. Kita juga harus mencari tahu ritual atau mantra yang bisa digunakan untuk membebaskan roh yang terjebak.”

Tri menambahkan, “Kita harus ke perpustakaan lokal dan mencari arsip yang lebih tua. Mungkin ada catatan tentang dukun itu dan tempat tinggalnya.”

Setelah mereka sepakat, mereka berpisah dan merencanakan untuk bertemu kembali di kafe setelah mendapatkan informasi lebih lanjut. Nur dan Pujo pergi ke perpustakaan, sementara Ustad Eddy dan Tri pergi ke desa untuk bertanya kepada penduduk.

Keesokan harinya, mereka kembali berkumpul di kafe dengan wajah ceria dan penuh semangat. Ustad Eddy dan Tri tiba lebih dulu.

“Ada yang menarik!” Ustad Eddy membuka percakapan. “Kami bertemu seorang wanita tua yang pernah tinggal di desa itu. Dia tahu banyak tentang dukun dan rumahnya.”

Nur dan Pujo mengalihkan perhatian mereka dengan cepat. “Apa yang dia katakan?” tanya Nur antusias.

“Dia bilang dukun itu memiliki kekuatan besar, dan seringkali membantu penduduk desa dengan ramuan dan mantra. Namun, setelah kematiannya, semua ritual dan pengobatan berhenti, dan desa mulai mengalami banyak kejadian aneh,” Ustad Eddy menjelaskan. “Yang lebih mengejutkan, dia bilang dukun itu meninggal dengan cara tragis. Dia dibunuh oleh sekelompok orang yang merasa terancam oleh kekuatannya.”

Tri menambahkan, “Wanita itu juga menyebutkan bahwa banyak penduduk desa merasa dukun itu masih melindungi mereka, meski secara tidak langsung. Namun, ketika rumahnya ditinggalkan, roh dukun itu mungkin merasa terperangkap.”

Pujo menatap mereka dengan serius. “Jika roh itu terjebak, mungkin dia tidak bisa bergerak maju. Kita perlu membantu agar dia bisa menemukan kedamaian.”

Mereka semua sepakat untuk kembali ke rumah tua itu, tetapi kali ini dengan persiapan yang lebih matang. Nur mempersiapkan kamera, sementara Pujo mengumpulkan beberapa jimat dari ritualnya. Ustad Eddy menyiapkan doa dan mantra yang akan dibacakan selama ritual. Tri, dengan kemampuannya sebagai mediator, akan berusaha berkomunikasi dengan roh dukun itu.

Malam kembali tiba, dan kabut tebal menyelimuti desa seperti selimut hitam. Dengan langkah mantap, mereka melangkah ke arah rumah tua yang kembali menunggu. Suasana tegang masih terasa, tetapi semangat untuk menyelesaikan misi mereka menguatkan hati.

Setibanya di depan rumah, Pujo berdiri di depan, merasakan getaran dari tanah. “Bersiaplah. Ini akan menjadi lebih sulit dari sebelumnya.”

Mereka semua mengangguk, dan Pujo membuka pintu. Seperti sebelumnya, suasana dalam rumah terasa lebih berat. Dengan hati-hati, mereka melangkah masuk, dan Nur segera menyalakan lampu senter, menerangi ruangan yang penuh dengan debu dan sarang laba-laba.

“Di mana kita harus mulai?” tanya Tri.

“Ke lantai dua lagi,” jawab Nur. “Kita harus kembali ke kamar yang ada cerminnya.”

Mereka berempat melangkah naik tangga, deritan kayu menambah suasana mencekam. Ketika sampai di lantai dua, mereka merasakan udara di dalam kamar semakin dingin. Pujo melangkah maju, menatap cermin dengan intens.

“Dukun itu ada di sini. Kita harus memanggilnya,” kata Pujo dengan tegas.

Ustad Eddy memulai dzikirnya, sementara Nur menyiapkan kamera untuk merekam setiap momen. Tri berdiri di antara mereka, menyiapkan diri untuk berkomunikasi.

“Roh yang terperangkap, kami datang untuk membantu,” Tri berbicara lantang, suaranya bergema dalam ruangan. “Kami tidak ingin mengganggu, hanya ingin berbicara.”

Suasana hening, dan beberapa detik berlalu. Tiba-tiba, cermin bergetar, dan bayangan samar mulai muncul. Suara lembut namun menakutkan keluar dari cermin, “Siapa yang mengganggu ketenanganku?”

Nur mengingatkan dirinya untuk tetap tenang, sambil terus merekam. “Kami adalah pencari kebenaran, datang untuk membebaskanmu.”

“Bebaskan?” suara itu merendah. “Siapa yang bisa membebaskan jiwa yang terperangkap? Hanya yang berani menghadapi kegelapan.”

Pujo mengangkat tongkatnya. “Kami berani. Kami ingin membantu. Apa yang kau inginkan agar kau bisa pergi?”

“Aku terperangkap oleh rasa sakit dan kemarahan. Mereka yang membunuhku tidak pernah membayar. Keadilan harus ditegakkan,” jawab suara itu, semakin jelas.

Ustad Eddy melanjutkan dzikirnya, memperkuat energi positif di sekitar mereka. “Kami akan membantumu, tetapi kau harus memberi kami petunjuk. Apa yang harus kami lakukan?”

“Cahaya yang memancarkan kebenaran harus dibawa kembali ke tempat ini. Hanya dengan itu, aku bisa menemukan kedamaian. Hanya dengan mengungkap siapa yang menghancurkanku.”

Tri merasa bergetar. “Kami tidak tahu siapa yang melakukannya. Tapi kami bisa mencari tahu. Mungkin kami bisa menemukan bukti dari sejarahmu.”

“Temukan catatan-catatan lama yang tersembunyi. Mereka adalah kunci untuk membebaskanku,” suara itu melanjutkan.

Mendengar hal itu, Nur mencatat dalam pikirannya. “Catatan-catatan lama… Mungkin ada di perpustakaan atau arsip desa. Kami akan mencarinya.”

“Cepat! Waktu semakin sedikit,” suara itu bergetar. “Hantu-hantu di tempat ini akan bangkit jika kalian tidak segera bertindak.”

Mereka merasa semangat, tetapi juga ketakutan. Ustad Eddy menarik napas dalam. “Kami akan melakukannya. Kami berjanji akan kembali dengan jawaban.”

Cermin bergetar lagi, dan sosok hitam itu mulai menghilang. “Bawalah cahaya. Hanya dengan cahaya, aku akan bebas.”

Mereka merasakan tekanan di udara, seolah-olah ruang itu menyusut. Nur mengarahkan kameranya ke cermin yang mulai kembali tenang. “Terima kasih, kami akan melakukan yang terbaik.”

Mereka segera meninggalkan kamar, turun tangga dengan cepat. Nur merasa bersemangat, tetapi Pujo sebaliknya. “Apa yang terjadi selanjutnya? Kita harus segera pergi ke perpustakaan untuk mencari catatan itu.”

Di luar, kabut tebal menyelimuti mereka, menciptakan suasana aneh. Tri berjalan di depan, melangkah cepat. “K

ita harus menemukan cahaya yang dimaksud. Apa pun itu.”

Nur mengangguk, semangat membara di dalam hatinya. “Kita akan mengungkap misteri ini, dan membantu roh yang terperangkap.”

Namun, dalam perjalanan kembali, kabut semakin tebal, mengaburkan pandangan mereka. Tiba-tiba, suara berdesir terdengar, dan Nur menghentikan langkahnya. “Dengar! Apa itu?”

Mereka semua terdiam, mendengarkan suara yang datang dari belakang. Suara itu terdengar seolah ada yang mengikuti mereka, berbisik dalam gelap. Tri memutar badannya, mencoba melihat ke dalam kegelapan. “Siapa di sana?”

Tapi tidak ada jawaban. Hanya hening dan kabut yang semakin menebal. Pujo merasa gelisah. “Kita harus cepat. Kita tidak sendirian.”

Mereka berlari lebih cepat, mencoba menjauh dari suara aneh itu. Nur terus merekam, meskipun ketakutan menyelimuti hatinya. Mereka tahu, mereka tidak hanya sedang berburu misteri, tetapi juga berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan.

Dengan tekad dan keberanian, mereka melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan, berusaha menemukan cahaya yang bisa membebaskan roh terperangkap itu. Di luar sana, dunia gaib menanti, dan mereka harus berjuang untuk menemukan kebenaran yang tersembunyi di balik kabut gelap yang menghalangi jalan mereka.

***

Malam semakin larut, dan di balik kabut tebal, mereka bersiap menghadapi tantangan yang lebih besar, yang akan menguji keberanian dan persahabatan mereka. Petualangan baru dimulai, dan mereka tahu, setiap langkah yang diambil bisa menjadi penentu nasib mereka di dunia yang penuh misteri ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!