Apa yang dirasakan Olliver, hampir sama dengan apa yang dirasakan Tara. Meskipun belum ada cinta yang benar-benar cinta, tetapi wanita cantik itu juga merasa nyaman berdekatan dengan Olliver. Sikap humoris dan romantis dari seorang Olliver, membuat Tara betah berlama-lama berbincang dengannya.
Kini, terhitung sudah satu bulan sejak pertemuan pertama mereka. Saling menyimpan nomor, ternyata dimanfaatkan oleh kedua belah pihak. Baik Tara maupun Olliver, masing-masing rajin mengirim pesan. Pagi, siang, sore, bahkan malam, mereka saling meluangkan waktu untuk mengabari satu sama lain. Tak jarang juga mereka mengobrol lama via telepon ataupun telepon video.
Sesuai dengan rencana semula, Tara tidak kembali ke Paris. Dia justru bekerja di Vavaco—perusahaan industri fashion yang ada dalam naungan Nero. Dulu, Raina yang bekerja di sana. Sekarang, Tara mengikuti jejak sang ibunda. Dia langsung menjadi senior yang banyak membagi ilmu untuk designer-designer lain yang juga tergabung dalam perusahaan itu.
Seperti peribahasa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitulah Nero dan Tara. Nero si pekerja keras yang nyaris tak kenal waktu, putri sulungnya juga mewarisi sifat tersebut. Jika tidak acara atau janji dengan orang lain, Tara sangat betah duduk di kursi kerjanya. Tak jarang ia pulang petang dan bahkan malam.
Malam ini pun demikian. Jarum jam sudah menyentuh angka tujuh, tetapi Tara masih betah berkutat dengan sketsa desain yang ada di hadapannya. Padahal, tadi Raina sudah mengirim pesan dan menyuruhnya pulang. Namun, Tara tak jua beranjak, seolah-olah tubuhnya sudah mengakar di kursi tersebut.
Barulah ketika ponselnya berdering—pertanda telepon masuk, Tara menghentikan sejenak aktivitasnya.
Namun, ternyata bukan Raina ataupun Nero, melainkan Olliver. Sejak tadi sore, lelaki itu memang tak membalas pesannya. Ahh, tahu-tahu sekarang malah menelepon—telepon video.
Sembari mengucap 'halo', Tara melepas kacamatanya. Lantas, menyelipkan anak rambut yang agak berantakan ke belakang telinga.
"Masih kerja ya?" tanya Olliver dari seberang sana. Tampaknya, lelaki itu sudah senggang. Buktinya, sekarang duduk bersandar di sofa kamar.
"Iya. Mau pulang nanggung, tinggal dikit. Sekalian aja aku selesaikan," jawab Tara.
"Jangan terlalu diforsir, masih ada hari esok." Olliver memamerkan senyum manisnya. Seperti magnet, Tara pun jadi ikut tersenyum karenanya.
"Maaf ya, baru sekarang hubungin kamu. Tadi nggak tahu kalau HP udah lowbat. Di restoran lagi ada yang reservasi untuk acara, jadi lumayan sibuk. Makanya, pas udah sampai rumah baru sempat nelfon," lanjut Olliver.
Tara mengangguk, kemudian menyandarkan punggung di kursi kerjanya.
"Tara, weekend nanti kamu ada acara nggak?" tanya Olliver.
Tara berpikir sejenak. "Kayaknya kosong. Kenapa?"
"Aku boleh ke rumahmu?"
Tara terkejut. Lantas spontan berucap, "Kamu mau ke Surabaya sini?"
Olliver mengangguk tanpa ragu.
"Kalau kamu nggak keberatan," ucapnya beberapa sata kemudian.
"Ya nggak lah, aku kan cukup diam di rumah. Kamu yang perjalanan jauh ke sini, nggak repot kah?"
"Nggak dong. Aku kan memang pengin nemuin kamu."
"Ya udah, kalau gitu datang aja. Aku nggak ada acara kok. Mama Papa kayaknya juga kosong," kata Tara. "Ngomong-ngomong kamu mau ke sini sendiri atau sama Om dan Tante?"
"Kayaknya sendiri. Nanti aja kalau udah deal, aku bawa Mama Papa ke sana."
"Hah? Deal apanya?"
"Ya ... ada deh. Nanti kamu juga tahu sendiri," sahut Olliver sembari menaikkan kedua alisnya dan juga menyunggingkan senyum aneh.
"Kamu mau kerja sama dengan papaku?" tanya Tara, sedikit bercanda.
Ya, sebenarnya dia agak paham dengan arah pembicaraan Olliver. Mungkin, yang dimaksud adalah hubungan mereka. Mengingat selama ini, Olliver kerap kali menyiratkan sebuah perasaan lain untuknya.
"Ya ... mungkin semacam itu. Kerja sama jangka panjang." Olliver menjawab sambil terkekeh-kekeh.
Tara hanya ikut tertawa, tidak menyahut lagi dengan kata-kata.
"Oh ya, kamu nanti mau dibawain apa?" tanya Olliver.
"Apa ya?" Tara melirik ke atas, seolah-olah sedang berpikir. "Terserah kamu aja lah, aku bingung kalau ditanya gini," sambungnya.
"Terserah itu sulit loh, Ra, beneran."
Tara pun tertawa lepas. Melihat ekspresi Olliver yang mendadak memelas, lucu saja menurut Tara.
Obrolan mereka pun berlanjut sampai beberapa menit kemudian. Ada dampak positif dari telepon Olliver barusan, Tara jadi menyudahi pekerjaannya dan beranjak pulang. Kalimat 'kalau kerja jangan diforsir' dari Olliver, ampuh juga untuk melunakkan keras kepalanya Tara.
_______
Berbeda dengan kebanyakan wanita karier lainnya yang lebih suka makan di luar, Tara justru lebih suka makan di rumah. Didikan Raina memang tidak diragukan, anak gadisnya tumbuh menjadi wanita berkelas yang menjunjung tinggi harga diri dan attitude.
Jam berapa pun Tara pulang, amat sangat jarang dia melewati makan malam di luar—hanya sekali waktu ketika ada janji dengan rekan bisnis. Selebihnya, Tara memilih makan di rumah dan menikmati hidangan hasil sentuhan tangan ibunda dan pelayan di rumahnya.
Tak terkecuali malam ini. Meski sudah telat dari jam normal, tetapi Tara tak keberatan. Dia asyik saja menikmati makan malamnya. Tak lupa sambil memuji betapa lezatnya hasil masakan Raina.
"Kamu ini, Ra, paling pinter membuat Mama seneng. Setiap makan pasti bilang paling lezat lah, paling nikmat lah, padahal masakan Mama ya begitu-begitu saja. Kalah jauh sama restoran-restoran di luar sana."
"Itu kan kata Mama, kataku jauh enakan masakan Mama lah," sahut Tara sambil terus menyuap makan malamnya yang masih tersisa sedikit.
Raina benar-benar bahagia menatapnya. Demi apa sekarang berkumpul lagi dengan anak gadisnya itu, setelah bertahun-tahun tinggal berjauhan.
"Oh ya, Ma, akhir pekan nanti katanya Olliver mau ke sini." Tara bicara sembari mengelap bibirnya dengan tisu.
"Olliver?"
Tara mengangguk.
"Dalam rangka apa?"
"Nggak ada, Ma. Pengin ketemu aja katanya," jawab Tara.
Raina menatap anaknya cukup lama. Lantas bertanya, "Kamu dan Olliver ...?"
"Aku nggak tahu pasti sih, Ma. Tapi ... kayaknya memang dia mau menganggapku lebih dari teman. Kalau misalkan iya, menurut Mama gimana?"
Raina menarik napas panjang, kemudian balik bertanya, "Perasaanmu sendiri gimana ke dia?"
"Aku nyaman sama dia, Ma. Dan menurutku dia cukup baik, lebih baik dari yang namanya Orion. Jujur ya, Ma, waktu itu aku agak kecewa. Bisa-bisanya dia mementingkan pekerjaan, padahal kita udah buat janji dari jauh-jauh hari."
Raina mangut-mangut, paham benar dengan apa yang dikatakan Tara. Karena dirinya pun waktu itu juga sedikit kecewa, mengapa Orion malah tidak menampakkan batang hidung.
"Kalau Olliver, menurut Mama orangnya gimana?" tanya Tara sembari membalas tatapan ibunya.
"Menurut Mama dia juga baik. Kata Tante Vale, dia juga belum pernah pacaran. Tapi, ada beberapa teman perempuan. Dia pekerja keras, tapi nggak sampai menutup diri kayak Orion. Kalau kamu beneran sama dia, Mama yakin dia juga bisa menjaga jarak dengan teman perempuannya. Karena menurut pandangan Mama, dia bukan tipe playboy."
Tara tersenyum, merasa puas dengan jawaban Raina, yang sama persis dengan pandangannya sendiri. Olliver memang ada beberapa teman perempuan—hanya teman. Olliver juga tak menutupi itu, dia pernah bercerita pada Tara. Kalau niatnya buruk, tidak mungkin kan berterus terang?
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Kendarsih Keken
Orion kamu tertinggal jauh , dan setelah nya yang ada hanya penyesalan 😅😅
2024-08-09
1
Aditya HP/bunda lia
good Oliver cepet halalin ajah tuman biar nyaho tuh si Orion nyesel kejer dia ntar sukirin gemes banget jadinya geregeeeettt 😬😬
2024-08-08
1
Apriyanti
lanjut thor
2024-08-08
1