Saudara kembar tidak selamanya memiliki kemiripan dari segi sifat dan karakter, terkadang justru bertolak belakang. Seperti Orion dan Olliver, mereka tidak hanya berbeda dalam pergaulan, tetapi juga dalam pandangan bisnis.
Orion lebih memilih mengurus perusahaan milik ayahnya, sementara Olliver justru memilih membuka bisnis lain di bidang kuliner. Dia membangun restoran besar dan mewah yang menyediakan berbagai menu khas dari beberapa negara. Olliver tak hanya merekrut chef profesional untuk diajak bergabung dalam bisnisnya, tetapi dia sendiri pun punya skill yang sangat mumpuni dalam dunia masak memasak. Maka tak heran jika restoran yang ia beri nama Oliv Resto itu selalu dipadati pengunjung.
"Omzet kita bulan ini naik lagi, Tuan."
Davin, selaku manager di restoran tersebut, memberikan laporan yang sangat memuaskan. Olliver tak membuang waktu untuk melihat data-data penjualan Oliv Resto dalam satu bulan terakhir. Sesuai dengan apa yang dikatakan Davin, pendapatan mereka dalam bulan itu naik drastis. Jika ditengok lagi ke belakang, dalam beberapa bulan ini kenaikannya memang cukup pesat.
Senyum cerah pun sontak menghiasi bibir Olliver. Impian besarnya mulai tergambar dalam angan, bagaimana dia akan mengembangkan Oliv Resto dengan membuka cabang di berbagai kota. Jika pendapatan terus naik, otomatis tak sulit untuk mewujudkan impiannya.
"Pertahankan kinerja ini. Beritahukan pada semua karyawan, akhir minggu nanti aku akan memberikan bonus untuk kalian." Lantas Olliver bangkit sambil membawa berkas-berkasnya. "Sekarang aku akan pulang, kamu silakan lanjut kerja," lanjutnya.
"Baik, Tuan."
Tak lama berselang, Olliver keluar dari ruangannya dan bergegas pergi meninggalkan Oliv Resto. Namun, ia tidak langsung pulang, tetapi singgah terlebih dahulu di sebuah apartemen.
Sedikit merepotkan, tetapi itulah konsekuensinya menjadi saudara kembar Orion. Ya, urusan kali ini berkaitan dengan Orion. Bukan tentang bisnis, melainkan asmara. Ada seorang wanita yang sejak lama menyukai Orion dan terang-terangan mengejar. Namun, selalu diabaikan, makanya dia sampai memanfaatkan Olliver untuk memuluskan jalan asmaranya.
"Akhirnya kamu datang juga. Kupikir udah bosan bantuin aku, jadi nggak mau lagi."
Mendengar sambutan yang demikian, Olliver hanya mencibir, sambil melangkah masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Sekilas Olliver menatap sekotak kue berbentuk hati yang sudah disiapkan di atas meja, lantas menatap wanita cantik berambut ikal dan pirang yang kini ikut duduk di depannya.
Jenny, begitulah Olliver mengenalnya. Dia adalah arsitek muda yang usianya sekitaran 27 tahun. Sebenarnya dia juga lahir di tengah keluarga kaya seperti Orion dan Olliver, tetapi sejak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Jenny lebih memilih tinggal di apartemen pribadinya. Namun, jatah uang bulanan tetap mengalir ke rekening.
Dari segi fisik, status sosial, dan karier, Jenny tidak ada kekurangan. Namun, entah mengapa hati Orion sama sekali tidak terketuk olehnya, dan entah mengapa Jenny tetap betah mengejar lelaki yang bertahun-tahun tak pernah membalas cintanya.
"Kebetulan hari ini aku nggak kerja, mau jalan keluar juga malas. Jadi daripada diem nggak ngapa-ngapain aku bikin kue. Ini yang spesial, bawain ya, kasih ke Orion. Bilang kalau itu aku sendiri yang bikin," ucap Jenny sesaat kemudian.
Olliver tersenyum miring. "Buat aku nggak ada nih?"
"Nanti kalau kue itu dimakan sama Orion, kamu aku bikinin sendiri." Jenny menjawab sambil sedikit menunduk, pun sambil membuang napas kasar.
Dia teringat dengan hari-hari sebelumnya, apa yang dia berikan untuk Orion, ujung-ujungnya ditolak dan yang menikmati justru Olliver atau yang lain. Menyesakkan, tetapi tak tahu mengapa dia tak ada kapoknya melakukan hal yang sama.
"Jen!"
"Hmm, kenapa?"
"Kamu ... pantang menyerah ya," kata Olliver dengan hati-hati.
Sebenarnya cukup banyak wanita yang memanfaatkan dirinya seperti Jenny, tetapi Jenny-lah satu-satunya wanita yang pantang menyerah. Dari awal lulus kuliah sampai sudah kerja sekitar 4 tahunan, Jenny tidak pernah menyerah. Padahal, dalam jangka waktu yang lama itu sama sekali tidak ada kemajuan. Orion tetap menjadi lelaki yang dingin dan cuek di hadapan Jenny.
"Selama dia belum nikah, aku nggak akan nyerah. Aku ingin menggantikan wanita yang dia cintai. Udah bertahun-tahun dia nggak bisa menemukan wanita itu, kan? Jadi, harapanku sangat besar kan, Olliver?"
Olliver menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Meski dalam hati juga yakin kalau Orion tidak akan menemukan kembali wanita masa lalunya, tetapi dia juga tak yakin kalau saudara kembarnya itu akan berlabuh pada Jenny. Karena jika sedikit saja ada rasa, pastilah dalam empat tahun ini ada kemajuan dalam hubungan mereka.
"Di dunia ini kadang apa pun bisa terjadi, Jen. Bahkan yang kelihatannya mustahil sekalipun, kadang bisa aja terjadi. Kalau saranku sih ... jangan terlalu menaruh harapan ke Orion, tahu sendiri kan dia gimana. Aku bukan nggak mau bantu lagi, cuma sayang aja dengan masa mudamu. Masa cuma kamu habiskan dengan menunggu sesuatu yang nggak jelas gini. Alangkah lebih baik kamu juga sambil melihat laki-laki lain, mana tahu cintamu ke Orion bisa berubah nanti." Setelah diam beberapa saat, Olliver melontarkan saran yang cukup panjang.
Jenny hanya mengembuskan napas panjang. Dia pun sadar, selama ini telah dibodohkan oleh cintanya sendiri. Namun sial, dia juga tak bisa lepas dari itu semua. Terlalu sulit.
"Aku memang belum pernah jatuh cinta yang benar-benar cinta, tapi ... aku juga paham kalau hati dan perasaan itu sulit dikendalikan. Tapi, sulit bukan berarti nggak bisa. Pelan-pelan aja. Kamu hebat, Jen, aku yakin kamu nggak akan kalah dengan perasaanmu sendiri," ujar Olliver sambil menepuk pelan bahu Jenny. Lantas, bangkit dan pamit pergi. Tak lupa ia bawa serta kue yang katanya spesial untuk Orion.
Sepeninggalan Olliver, Jenny kembali mengembuskan napas panjang. Lalu mengusap wajahnya dengan kasar.
"Andai Orion bisa sehangat Olliver, mencintainya nggak akan sesakit ini," ucapnya.
________
Hati yang telanjur beku memang sulit untuk mencairkannya. Begitu pula mencari pengganti seseorang yang sudah menempati ruang tertinggi di dalam hati, tak akan mudah.
Mungkin, seperti itulah yang dirasakan Orion. Entah untuk keberapa kalinya dia menerima kiriman dari Jenny, mulai dari makanan sampai barang-barang berharga. Alih-alih merasa senang, dia justru kesal karena Olliver masih saja menerimanya.
"Kamu mau aku ngomong berapa kali lagi, hah? Kalau dia nitip apa-apa, jangan diterima! Aku nggak mau!" bentak Orion pada sore itu—saat ia pulang kerja dan langsung mendapati kiriman kue dari Jenny.
"Kasihan, Jenny udah capek-capek bikin. Lagian, makan kue dari dia nggak otomatis kamu jadi pacarnya dia kok. Santai aja lah." Seperti kebiasannya, Olliver menjawab sambil cengar-cengir.
"Ini yang terakhir ya! Awas kamu mau ditip-titipi lagi!"
Olliver terkekeh-kekeh. "Kenapa sih? Baper banget. Jenny loh cantik, cerdas, kariernya bagus, keluarganya juga kaya. Kurang apa coba? Wanita sempurna dia itu."
"Kalau menurutmu sempurna, pacari aja sendiri!" sahut Orion sambil melayangkan tatapan tajam.
Olliver makin terbahak-bahak. "Kemarin Tara, sekarang Jenny. Kamu mau menyuruhku punya berapa banyak wanita? Ish, senjataku cuma satu, gimana caranya membagi kalau pasanganku banyak."
Kali ini Orion tak lagi menyahut, hanya tangannya yang gesit melepas sepatu dan melemparkannya ke Olliver.
"Heh, main kasar." Olliver terkejut dan langsung bangkit. "Ma! Orion ngawur, Ma! Aku dilempar sepatu, Ma!" lanjutnya dengan berteriak.
"Apa sih kalian ribut-ribut? Kayak anak kecil aja. Ingat umur!" Vale mendekat, kemudian bergantian memelototi Orion dan Olliver.
"Aku dilempar sepatu, Ma. Ini buktinya," ujar Olliver seraya menunjuk sepatu yang masih ada di atas sofa.
"Nggak usah ngadu, itu gara-gara mulutmu sendiri!" sahut Orion.
"Aku nggak ngomong apa-apa, Ma. Cuma ngasih titipannya Jenny, sama ngomong kalau dia cantik."
Vale mengembuskan napas kasar sambil menggeleng-geleng. Lalu menatap Orion dan bicara serius padanya, "Nggak masalah kamu nggak mau sama Jenny, tapi ... lusa pas Om Nero dan Tante Raina ke sini, kamu harus menemui mereka dan kenalan dengan anaknya."
"Ma—"
"Mama cuma nyuruh kamu kenalan, Orion, nggak nyuruh kamu nikah," pungkas Vale.
"Tapi, Ma ...."
"Kenalan aja dulu. Kalau cocok lanjut, kalau nggak ya udah, Mama nggak maksa."
Orion mengacak-acak rambutnya dengan kasar. "Aku nggak mau, Ma. Nanti dia hubungin aku terus, yang telfon yang nge-chat. Risih aku, Ma."
"Kali ini Mama yakin nggak mungkin, Tara nggak kayak gitu. Dengar baik-baik ya, Orion, dari semua wanita yang pernah Mama kenalkan ke kamu, Tara ini yang paling perfect. Percaya sama Mama, kamu nggak akan menyesal kenalan sama dia. Justru kalau nggak mau kenalan, kamu malah akan menyesal. Ingat itu!"
Tanpa menjawab lagi, Orion langsung pergi. Dia sudah bosan dengan pembahasan seputar wanita, kenalan, dan pernikahan. Lusa juga tak tahu dia akan hadir atau tidak dalam pertemuan itu.
Ahh, Sunny, andai dulu berhasil kenalan denganmu. Tidak akan serumit ini jalan asmaranya Orion.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 93 Episodes
Comments
Titin Sumarni
semoga Tara itu sunny.
2025-01-30
1
Windy Veriyanti
bikin penasaran...gemes
2024-08-24
2
Kendarsih Keken
ada notif langsung cus eeh ternyata sdh ketinggalan beberapa bab 😒😒
2024-08-09
1