Mall

Di dalam mobil, Dion sudah menunggu. Ketika Karina masuk, Dion terdiam, memandangi Karina tanpa sadar. Cantik banget, batin Dion berbisik, tak bisa mengalihkan pandangan dari gadis yang duduk di sampingnya. Meski mereka tinggal serumah, momen-momen seperti ini sangat jarang terjadi.

Karina yang merasa risih dengan tatapan Dion pun bertanya, “Dion, lo kenapa?” Dion tersentak dari lamunannya, gugup. “Enggak, gak ada apa-apa. Ayo jalan.” Ia segera menjalankan mobilnya, berusaha menutupi rasa canggung yang tiba-tiba melandanya.

“Bentar, gue cek dulu.” Karina berjalan ke kulkas dan memeriksa isinya. “Udah pada habis,” jawabnya singkat, nada suaranya terdengar dingin.

Dion tersenyum kecil, berusaha mencairkan suasana. “Belanja yuk. “Nanti aja, siangan dikit. Aku belanja sendiri,” sahut Karina lagi, dengan nada yang tetap menolak. Kali ini, Dion tidak mau mengalah. “Gue ikut,” jawabnya tegas, menatap mata Karina penuh keyakinan. “Jangan, lo kan artis. Kalau ada wartawan atau fans, bisa gawat,” Karina mencari alasan, berharap Dion tak ikut. Dion menggeleng, tak mau menyerah. “Gue bisa pake masker sama topi. Itu udah cukup buat nyamar.”

Karina menatap Dion sejenak, kemudian menghela napas panjang. “Tapi... ah yaudah, ayo.” Kali ini, ia tak bisa lagi menolak. Karina pun bersiap-siap. Ia mengenakan rok pendek sepaha, dipadukan dengan kaos putih sederhana. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai alami, dan wajahnya dihiasi riasan tipis yang mempertegas kecantikannya tanpa berlebihan.

Dion menggeleng, tak mau menyerah. “Gue bisa pake masker sama topi. Itu udah cukup buat nyamar.”

Karina menatap Dion sejenak, kemudian menghela napas panjang. “Tapi... ah yaudah, ayo.” Kali ini, ia tak bisa lagi menolak. Karina pun bersiap-siap. Ia mengenakan rok pendek sepaha, dipadukan dengan kaos putih sederhana. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai alami, dan wajahnya dihiasi riasan tipis yang mempertegas kecantikannya tanpa berlebihan.

Dion sudah menunggu di dalam mobil. Begitu Karina masuk, Dion tak bisa menahan diri untuk tidak memandangi Karina. Diam-diam, ia terpesona. Cantik banget, pikirnya, terpaku menatap gadis itu.Meskipun mereka serumah, momen-momen seperti ini jarang terjadi. Dion jarang melihat Karina sedekat ini, selain di sekolah atau saat Karina pulang malam.

Merasa risih dengan tatapan Dion yang terus-terusan tertuju padanya, Karina akhirnya bertanya, “Dion, lo kenapa?”Dion tersentak, seolah tersadar dari lamunannya. “Eh, enggak. Ayo jalan,” jawabnya gugup. Ia segera menyalakan mesin mobil, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.

Sesampainya di mall, mereka langsung menuju supermarket untuk membeli kebutuhan dapur sayuran, daging, snack, dan minuman soda. Suasana hati keduanya terlihat lebih baik. Karina, yang tadinya bersikap dingin, mulai sesekali tersenyum saat berinteraksi dengan Dion.

Mereka terus berjalan menyusuri lorong demi lorong, sampai tiba di bagian snack. Karina tiba-tiba menghentikan langkahnya, tatapannya berubah tajam. Wajahnya yang tadi terlihat tenang kini penuh amarah dan kekecewaan. Di kejauhan, ia melihat seseorang yang sangat ia kenal bersama seorang wanita.

Seketika, wajah Karina menjadi murung. Tanpa berkata apa-apa, ia segera berbalik dan menarik lengan Dion. “Dion, ayo pulang,” ucapnya, suaranya bergetar menahan emosi. Dion melihat perubahan drastis di wajah Karina, dan tanpa banyak bertanya, ia mengangguk. Tanpa menunda waktu, mereka menuju kasir dan membayar belanjaan dengan cepat. Dion tahu ada sesuatu yang membuat Karina tak nyaman, tapi ia memilih untuk menunggu hingga Karina siap bicara.

Setelah membayar belanjaan, Karina dan Dion melangkah keluar dari mal. Wajah Karina mencerminkan suasana hatinya yang jelas tidak baik-baik saja. Sesampainya di mobil, Karina hanya diam, matanya kosong, tenggelam dalam lamunan yang sulit ditebak. Dion meliriknya dari sudut mata, mencoba mencairkan suasana yang semakin sunyi.

"Rin, mau ke taman nggak?" tanya Dion pelan, suaranya penuh harap.

"Boleh," jawab Karina singkat, nadanya dingin, hampir tak beremosi. Beberapa menit kemudian, mereka duduk di bangku taman, menghadap aliran sungai kecil yang tenang. Suara gemericik air tak mampu mengusir ketegangan yang menggantung di antara mereka. Dion menarik napas dalam, lalu, seolah tak tahan lagi, ia bertanya dengan nada yang spontan, "Rin, kenapa lo susah banget move on dari Ricky?"

Karina tersentak mendengar pertanyaan itu. Matanya membulat, jelas pertanyaan itu tak ia duga. "Gimana ya..." Karina mulai bicara, suaranya pelan dan berat. "Jujur, Ricky itu cinta pertama gue. Nggak gampang buat gue lepasin dia, meskipun dia selingkuh.

Di lubuk hati gue yang paling dalam... gue masih berharap dia ada di sini sekarang," katanya, suaranya makin lemah seiring dengan pengakuannya yang menyakitkan.Dion mengangguk pelan, mencoba memahami beban perasaan Karina. "Kenapa lo nggak coba buka hati buat orang lain?" tanyanya lembut, mencoba menawarkan jalan keluar. Karina tertawa kecil, namun tawa itu pahit, penuh kepasrahan. "Buka hati buat siapa? Hahaha," tawanya terdengar getir.

"Buat gue, misalnya," celetuk Dion tiba-tiba, nadanya ringan, namun kata-katanya tak terduga. Karina hanya tersenyum kecil mendengar ucapan Dion. Ia menganggap itu hanya lelucon yang tak serius. "Yuk, pulang aja," kata Karina akhirnya, mengajak Dion tanpa menanggapi lebih jauh. Di dalam mobil, Dion mulai merasa kikuk. Ucapannya tadi terngiang ngiang di kepalanya, dan ia sadar betul betapa spontan dan ngawurnya itu. "Aduh, apa sih yang gue omongin tadi," batinnya gelisah, merasa canggung dengan situasi yang ia ciptakan sendiri. Sementara itu, Karina di sampingnya hanya tertawa kecil, mengira Dion sedang berakting. "Skill aktingnya boleh juga," pikir Karina sambil tersenyum, tak terlalu memikirkan seriusnya ucapan Dion.

Sesampainya di apartemen, Karina langsung masuk kamar tanpa mengganti pakaiannya, tubuhnya terlalu lelah untuk memikirkan apa pun. Sementara itu, Dion menata belanjaan mereka ke dalam kulkas, pikirannya masih tersesat pada kata-kata yang terlontar tanpa sengaja.

Keesokan Pagi, Hari Senin

Dion tengah sibuk bersiap untuk mengantarkan Alisha ke bandara. Hari itu, ia harus bolos sekolah, sesuatu yang jarang dilakukannya. Saat hendak keluar dari apartemen, Dion baru menyadari sesuatu Karina belum keluar dari kamarnya sejak subuh. Biasanya, Karina sudah bangun untuk menyiapkan sarapan. "Apa dia kesiangan? Gue cek aja kali ya," pikir Dion sambil melirik pintu kamar Karina dengan cemas.

Dengan ragu, Dion mengetuk pintu kamar Karina.

Tok Tok Tok...Tidak ada respon. Merasa semakin penasaran, Dion akhirnya memberanikan diri membuka pintu kamar. Di dalam, Karina masih tertidur dengan baju yang sama seperti kemarin sore.

"Rin, lo nggak sekolah?" Dion mencoba membangunkan Karina sambil menggoyangkan lengannya dengan lembut. Namun, sesuatu terasa aneh. Wajah Karina terlihat sangat pucat. Dengan cepat, Dion menyentuh dahinya.

Panas."Rin, lo sakit?" Dion semakin panik ketika Karina tak juga terbangun. Tanpa berpikir panjang, ia menggendong Karina keluar dari apartemen untuk membawanya ke rumah sakit. "Tolong jangan hujan dulu," gumam Dion, menatap langit yang mendung saat ia berlari membawa Karina menuju mobil.

Sesampainya di rumah sakit, Dion langsung memanggil suster dengan cemas. "Tolong, cepat periksa dia!" Seru Dion, wajahnya penuh kekhawatiran. Pikiran Dion kalut, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. "Kemarin dia baik-baik aja," bisiknya tak tenang, mondar-mandir di ruang tunggu.

Beberapa saat kemudian, dokter keluar setelah memeriksa Karina. Ekspresi wajahnya serius saat berbicara dengan Dion.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!