Dion yang sedang di kamar mandi segera keluar, kaget mendengar teriakan Karina. "Ada apa, Rin?" tanyanya khawatir.
"Enggak, nggak ada apa-apa," jawab Karina cepat, tak ingin terlalu ribut. "Lo bawa baju lebih, nggak? Kaos, atau apa kek," tambahnya dengan nada putus asa. Dia benar-benar tak ingin mengenakan lingerie tersebut.
Dion mengernyit bingung. "Lo kan bawa baju juga, kenapa pinjem?" tanyanya heran. Karina menunjuk ke lingerie yang tergeletak di lantai.
"Itu bajunya," ujarnya sinis. Dion menoleh ke arah yang ditunjuk, dan ketika melihat lingerie tersebut, dia langsung ikut terkejut. "Oh...," Dion langsung gugup, tak tahu harus berkata apa. "Ambil aja di koper gue," ucapnya sambil menunjuk ke arah koper, menyuruh Karina mengambilnya sendiri.
Tanpa menunggu lebih lama, Karina mengambil kaos putih milik Dion dari koper dan kembali ke kamar mandi untuk menggantinya. Tak lama kemudian, Karina keluar dengan kaos itu yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya. Namun, yang membuat Dion semakin kaget adalah Karina tidak memakai celana, hanya kaos itu yang menutupi sebagian pahanya yang mulus.
"Kenapa lo nggak pakai celana?" seru Dion, buru-buru memalingkan wajah, merasa salah tingkah. "Ya gimana, masa gue pake kolor lo. Kan gue udah bilang, nggak ada baju lain," jawab Karina polos, tak menyadari betapa canggung situasinya. Dion menghela napas, menyerah. "Ya udah, lo mau tidur di mana?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Gue mah bebas, di mana aja bisa," jawab Karina santai, enggan berdebat. "Lo tidur di kasur aja. Kalau gue suruh lo tidur di sofa, ntar gue disangka kejam," ujar Dion sambil berjalan ke sofa untuk tidur. "Ini selimutnya," kata Karina sambil melemparkan selimut ke arah Dion. Malam itu, mereka pun tertidur. Tak ada yang terjadi di antara mereka, hanya dua orang yang terjebak dalam situasi tak terduga, mencoba menemukan kenyamanan di tengah kebingungan.
***
Keesokan harinya, mereka kembali ke Jakarta. Setibanya di bandara, Intan langsung pulang ke rumahnya, sementara Karina dan ibu Mira menuju rumah tante Sindy. Begitu tiba, Karina tertegun melihat betapa megahnya rumah tersebut. Pilar-pilar tinggi dan taman yang luas membuatnya sadar, Dion berasal dari keluarga yang sangat kaya. "Wah, ternyata Dion sekaya ini. Pantes dia nggak bisa nolak pernikahan ini, pasti warisannya banyak banget," batinnya.
"Ayo, duduk dulu," ujar tante Sindy dengan ramah, mempersilakan Karina dan ibu Mira duduk di ruang tamu yang mewah. Mereka duduk dengan sedikit tegang, karena tahu akan ada pembicaraan penting.
"Karina, mulai hari ini kamu tinggal di sini ya," kata tante Sindy tanpa basa-basi.
Karina tersentak. "Nggak bisa tinggal di rumah masing-masing aja, Tan? Kan kita masih sekolah," jawabnya mencoba mencari alasan agar tidak harus tinggal dengan Dion. "Tidak bisa, kalian harus tinggal bareng. Kalian sudah menikah," jawab ibu Mira tegas, memperkuat ucapan tante Sindy.
Dion yang duduk di samping mereka tampak berpikir cepat. "Gini aja, Mah. Karina dan aku tinggal di apartemen aja. Kan bisa lebih mandiri," usul Dion, mencoba mengalihkan situasi. Tante Sindy sempat tampak sedih. "Yah, kalau kalian tinggal di apartemen, Mama sendirian dong di sini," ujarnya dengan nada penuh harap. Namun, setelah beberapa detik berpikir, ia akhirnya mengalah. "Tapi, ya boleh juga. Gimana, Karina?" tanyanya, meminta pendapat Karina.
Karina terkejut. Dion tidak pernah membicarakan soal apartemen ini sebelumnya. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dion mengedipkan satu mata, memberikan kode padanya. Mengerti bahwa ini adalah bagian dari rencana Dion, Karina pun mengangguk meski masih ragu. "Iya, Tante. Aku setuju," jawabnya dengan pelan.
Tante Sindy tersenyum, meski sedikit berat hati. "Ya sudah, tapi kalian harus sesekali nginep di sini ya," katanya dengan nada memelas. Dion tersenyum lembut dan menenangkan ibunya. "Tenang aja, Mah. Weekend nanti kita pasti nginep di sini. Tapi sekarang, kita kan udah nikah, jadi harus belajar mandiri," ucapnya, meyakinkan.
Tante Sindy akhirnya mengangguk, meski ada perasaan sedih yang terselip Setibanya di apartemen, Karina tak bisa menyembunyikan kekagumannya. "Wow, gila sih keluarga lo, Dion," ujarnya, matanya menyapu seluruh sudut ruangan yang mewah dan modern.
Apartemen itu luas, dengan pemandangan kota Jakarta yang berkilauan di malam hari. Dion tersenyum kecil, sedikit canggung. "Iya, lumayan lah. By the way, lo nanya tadi, kenapa gue ngajak tinggal di sini?" Dion berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada santai, "Biar kita bisa lebih bebas aja.
Di sini ada dua kamar, jadi kita nggak harus tinggal sekamar, dan kita bisa ngelakuin apa aja tanpa dipantau orang tua."Karina mengangguk, merasa lega. "Menarik," balasnya sambil tersenyum kecil. Ia senang karena bisa hidup mandiri, bebas dari pantauan dan aturan yang biasanya mengikat di rumah orang tua mereka. Tanpa banyak bicara lagi, mereka mulai membereskan barang-barang di kamar masing-masing, menata apartemen yang akan menjadi tempat tinggal baru mereka.
Waktu berjalan cepat. Hari mulai beranjak malam, dan perut mereka mulai keroncongan karena belum makan sejak siang. Karina memutuskan untuk pergi ke dapur, berharap bisa menemukan sesuatu untuk dimakan. Ia membuka kulkas, namun yang ditemukannya hanyalah ruang kosong.
"Dion, di sini nggak ada makanan sama sekali. Bahan buat masak juga nggak ada?" tanya Karina sambil terus mencari. Dion, yang masih sibuk menata barang-barangnya, menjawab dari ruang sebelah. "Nggak ada. Beli online aja. Besok kita baru belanja."
Karina menghela napas dan mengambil ponselnya untuk memesan makanan secara online. Namun saat hendak memesan, ia teringat kalau uangnya hampir habis. "Aduh, duit gue mau abis... Besok aja ah minta sama ibu," gumamnya pelan sambil membuka aplikasi banking. Ketika melihat saldo ATM-nya, perasaan khawatir mulai muncul. Saldo yang tersisa ternyata hampir habis, lebih cepat dari yang ia kira.
Ketika makanan online tiba, Karina memanggil Dion yang masih sibuk membereskan kamarnya. "Dion, makan dulu," ujarnya sambil meletakkan makanan di meja makan.
"Bentar," jawab Dion, lalu melangkah menuju meja makan. Saat dia duduk, Karina menyodorkan bungkusan ayam goreng. "Gue nggak tahu lo suka apa, jadi gue beliin ayam goreng aja."Dion tersenyum. "Gue suka kok ayam goreng," ujarnya, lalu mulai makan dengan lahap.Karina merasa lega melihatnya. "Baguslah," katanya, ikut menikmati makanannya.
Mereka berdua makan dengan lahap, rasa lapar yang tertunda akhirnya terpuaskan. Setelah selesai makan, Karina mulai membuka pembicaraan. "Kita bicarain sekarang aja, aturan di rumah ini," celetuknya sambil mengelap tangannya dengan tisu.
Dion menatap Karina, mendengarkan dengan serius. "Gue pikir kita beresin rumah ini bareng-bareng. Gue yang masak, lo yang cuci piring. Terus, bersihin kamar mandi seminggu dua kali, gantian. Segitu aja sih dari gue," kata Karina, mengajukan aturan yang ia rasa adil. Dion mengangguk setuju.
"Emm, gue oke sih, setuju. Tapi ada satu lagi, kita harus komunikasi kalau ada urusan di luar. Biar kalau orang tua kita nanya, kita punya jawaban yang sinkron," tambahnya, mengajukan saran.
Karina tersenyum kecil. "Ya udah, sementara segitu dulu. Gue udah ngantuk, yang lainnya kita obrolin besok aja," katanya sambil bangkit menuju kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments