Tak butuh waktu lama, salah satu kafe merespons dan menerima lamaran Karina karena mereka sedang membutuhkan pekerja mendesak. Karina melonjak kegirangan, "Yes, gue dapet kerjaan!" Senyumnya mengembang, merasa bangga karena akhirnya ia bisa mandiri tanpa harus bergantung pada orang lain, apalagi Dion.
Karina pulang ke apartemen saat malam sudah larut. Dia mengendap-endap ketika membuka pintu, berusaha tak membuat suara. Namun, tiba-tiba...
"Dari mana aja?" Suara Dion yang muncul dari kegelapan membuatnya tersentak. Karina nyaris menjatuhkan tasnya. "Aduh, ngagetin aja sih!" katanya dengan suara gugup, mencoba menenangkan diri.
"Dari butik ibu," jawabnya pelan, sembari melepas sepatunya. Dion mengangguk singkat.
"Oh, yaudah. Istirahat aja, besok sekolah," ujar Dion tanpa emosi, lalu berlalu ke kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, Dion merebahkan tubuhnya di ranjang.
"Pinter juga dia bohong," gumamnya pelan, matanya menatap langit-langit. Pikirannya tak bisa lepas dari rasa penasaran. Pagi tadi, ketika Karina keluar rumah, Dion merasa ada yang ganjil. Tanpa menunggu lama, dia menghubungi Ibu Mira untuk memastikan cerita Karina. Namun, jawaban Ibu Mira membuat dahinya berkerut. "Karina datang ke butik, tapi cuma sebentar. Dia pergi dengan wajah marah," kata Ibu Mira di telepon.
"Ah, biarin aja. Gue tidur dulu," Dion mendesah, menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggunya.
Sementara itu, di kamarnya, Karina sedang sibuk dengan tugas sekolah yang menumpuk. Satu minggu absen membuatnya kewalahan. "Aduh, pusing banget materinya," keluhnya sambil memijat pelipis.
...****************...
Keesokan harinya.
Karina dan Dion bersiap-siap ke sekolah setelah absen selama seminggu karena perjalanan mereka ke Bali. Keduanya berangkat terpisah; Dion dengan mobilnya, sedangkan Karina memilih naik ojek online. Mereka sudah sepakat untuk tidak saling mengenal di depan umum, demi menjaga karier Dion yang sedang naik daun dan untuk melindungi privasi Karina.
Saat tiba di gerbang sekolah, Karina melihat Intan. "Intan, tunggu!" panggilnya, mempercepat langkah untuk menyusul. "Lo nggak bareng Dion?" bisik Intan sambil melirik ke arah Dion yang baru saja turun dari mobil mewahnya.
"Ssst, jangan keras-keras," Karina buru-buru menutup mulut Intan dengan tangannya. "Dia banyak ngomong," pikir Karina sambil tersenyum kecil.
Jam pertama sekolah Di tengah pelajaran, Karina duduk dengan tatapan kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Intan, yang duduk di sebelahnya, menyadari hal itu. Tanpa ragu, dia mencolek pinggang Karina. "Rin, lo kenapa?" bisik Intan, khawatir. Karina hanya menggeleng pelan. "Gue nggak apa-apa. Nanti istirahat gue mau curhat panjang," jawabnya dengan suara rendah.
Tapi, guru di depan kelas sudah memperhatikan mereka. "Karina, Intan, silakan keluar kelas kalau terus mengobrol," tegur sang guru dengan nada tegas. Karina merasa bersalah dan langsung menunduk. "Maaf, Bu. Kami nggak akan ngobrol lagi," ujarnya cepat. Intan pun ikut diam, menahan tawa kecil. Sementara itu, Dion yang duduk satu baris di depan mereka, diam-diam menyaksikan semuanya dan tersenyum kecil melihat reaksi Karina.
...****************...
Saat jam istirahat, Karina dan Intan langsung menuju perpustakaan, tempat yang menurut mereka cukup aman untuk berbicara tanpa mengganggu siswa lain. Mereka duduk di pojokan, di antara deretan rak buku.
"Rin, lo tuh kenapa sih? Dari tadi pagi keliatan lesu banget, kaya nggak ada nyawa," tanya Intan sambil mengernyitkan alis, terlihat khawatir.
Karina menghela napas berat. "Gue pusing, Tan. Ibu nggak kasih gue uang sekarang, makanya gue lemes. Gue belum sarapan," katanya dengan nada lelah.
Intan terbelalak. "Lo belum makan? Pantesan dari tadi lo kayak mayat hidup. Yaudah, ayo ke kantin sekarang," ajaknya cepat.
"Gue udah bilang, Tan. Gue nggak ada duit," Karina mengeluh lagi, merasa semakin tak berdaya.
Intan menatapnya dengan heran. "Kan lo tinggal minta aja sama Dion. Dia kan suami lo, banyak duit lagi," jawab Intan seolah masalah itu bisa selesai dengan mudah.
Karina menggeleng keras. "Gue nggak mau, Tan. Gue gengsi minta duit sama Dion."Lah, dia kan suami lo. Wajar dong, harusnya dia kasih uang buat lo," balas Intan, tak habis pikir.Karina tersenyum miris. "Gue nggak mau bergantung sama cowok, apalagi sama Dion. Ujung-ujungnya gue juga bakal cerai kok sama dia," ucap Karina dengan nada sedih.
"WHAT?! Cerai? Serius lo?" Intan hampir teriak, tapi segera menahan diri. "Lo pikir pernikahan itu main-main, Rin? Cinta itu kan bisa tumbuh seiring waktu. Lagian, sekalian lo bisa move on dari Ricky."
Karina menggeleng lagi, lebih pelan kali ini. “Gak bisa, Tan. Dion punya pacar, dan kita udah sepakat kalau pernikahan ini cuma formalitas buat nutupin semuanya di depan orang tua kita,” keluh Karina, suaranya pelan namun penuh rasa frustrasi.
Intan terkejut, matanya melebar. “ANJIR! Seriusan, si Dion masih punya pacar? Harusnya udah diputusin dong sebelum kalian nikah!” serunya, tak percaya.
“Ya kali mutusin orang segampang itu,” Karina menghela napas panjang. “Dion sendiri yang bilang, dia cinta banget sama ceweknya itu. Gue juga nggak mau ngerusak hidupnya. Dia orang baik, Tan, dia berhak bahagia sama pilihannya. Kejadian kemarin tuh benar-benar kecelakaan yang nggak terduga. Gue sendiri nggak tau ini salah siapa, karena gue bener-bener gak inget apa-apa dari malam itu.”
Intan menggelengkan kepala, terlihat marah sekaligus prihatin. “Lo stres, Rin. Iya, kemarin emang kecelakaan, tapi kenapa lo doang yang harus menderita? Lo tuh cewek. Kalau lo cerai dari Dion, nggak semudah itu buat lo dapet cowok baru.
Enakan si Dion lah! Dia cerai, dia bisa nikahin pacarnya, sementara lo gimana? Lo harus mikirin diri lo sendiri, bukan orang lain.”Karina terdiam, menggigit bibirnya. “Gak tau ah, Tan. Gue bingung. Semua ini tiba-tiba banget. Sekarang gue cuma pengen cepet lulus kuliah,” ucapnya dengan nada putus asa. Intan memelototi Karina, lalu tertawa kecil dengan nada kesal.
“Eh, tolol! Kita ini masih SMA, udah pengen lulus kuliah aja. Emang geser nih otak lo!” celetuknya sambil memukul pelan bahu Karina.
Tiba-tiba, suara keras memecah percakapan mereka. “Kalian ngapain di sini? Ini perpustakaan, tempat orang belajar, bukan ngobrol!” Pengurus perpustakaan menegur mereka dengan tatapan tajam.
Karina dan Intan serempak bangkit dari tempat duduk. “Maaf, Bu. Kita keluar sekarang,” kata Karina, mencoba meredakan situasi. Mereka pun keluar dari perpustakaan dengan langkah cepat, berusaha menahan tawa. Karina dan Intan berjalan kembali ke kelas setelah diusir dari perpustakaan.
Mereka melangkah perlahan di lorong, dan saat sedang menuju kelas, mereka berpapasan dengan Ricky dan Cila, yang tampak mesra berjalan berdua. Ricky melirik sekilas, tapi tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Dia hanya melewati Karina dan Intan begitu saja, seakan mereka tak ada di sana.
Karina menarik napas panjang, berusaha menahan perasaan yang muncul dalam dirinya. Ia kemudian melanjutkan langkahnya tanpa bicara, sementara Intan mengamati Karina dengan mata penuh kekhawatiran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments