Suasana di kantin jadi semakin aneh. Sejak Fumiko bergabung denganku, tatapan mata dan bisik-bisik dari siswa lain semakin menjadi-jadi.
Yah, karena aku berpura-pura tidak mendengar, jadinya aku hanya bisa merasakan tatapan mata dari mereka.
Namun, bukan itu masalahnya, yang membuat situasi sekarang makin aneh adalah kehadiran Fukuzawa yang tanpa ragu langsung duduk di sebelahku. Dia terus memukul pundakku, seolah-olah tidak bisa membaca suasananya.
Tidak, Fukuzawa memang begitu. Seharusnya aku tidak mengeluh lagi tentang ini.
Tapi, kau tahu? Aku merasa kalau hal ini tidak bisa dibiarkan, ditambah lagi dengan firasat buruk yang menghantui ku sekarang. Tidak hanya itu, aku melihat wajah Fumiko berubah jadi tampak kesal, dan itu membuatku merasa bersalah.
Firasat buruk ku ini bukan sekadar asumsi biasa. Di beberapa waktu sebelumnya, aku pernah merasakannya juga. Saat itu, cuaca begitu mendung ketika waktu pulang sekolah, itu juga disertai dengan hujan gerimis.
Sebenarnya aku bisa saja berlari untuk pulang, sembari menyiapkan payung kalau saja kehujanan di tengah jalan. Namun, firasatku untuk bertahan di sekolah begitu kuat. Rasanya seperti aku akan mendapat musibah jika memaksa pulang.
Dan benar saja, ketika ada beberapa siswa yang memutuskan untuk pulang menggunakan payung, ada sebuah petir menyambar salah satu dari mereka. Untungnya, siswa itu hanya menderita luka bakar ringan.
Menurut kalian, apakah itu kebetulan? Tidak ada yang tahu, tapi melihat kondisinya, aku seperti sedang berasumsi lalu berfirasat buruk.
Ini sama halnya dengan yang kualami sekarang, rasanya begitu kuat. Aku ingin kabur dari situasi ini. Jika aku tidak melakukannya, maka akan ada beberapa hal gawat yang terjadi.
Salah satunya, aku tidak ingin membuat Fumiko merasa tidak nyaman seperti ini. Apa yang harus kulakukan? Sepertinya hanya ada satu cara.
"(Time Loop, aku butuh bantuanmu.)"
Tepat sekali, aku akan meminta Time Loop untuk menggunakan kekuatannya. Aku yakin kalau itu tidak seberapa, karena waktu yang ingin aku mundurkan juga tidak banyak.
"(Time Loop, apa kau disana?)"
"(Kukira kau sedang marah, jadi aku boleh bicara?)"
"(Ya, aku ingin meminta tolong.)"
"(Aku tidak akan mengabulkannya jika itu terdengar konyol.)"
"(Aku mengerti, dengarkan aku.)"
Kuharap Time Loop bisa mengerti dengan firasat burukku ini. Tapi, bukankah dia bisa tahu tentang apa yang kupikirkan? Entahlah, mungkin itu memiliki batasan karena kami berbagi kesadaran.
"(Begini, Time Loop. Aku ingin kau memundurkan wakt—)"
"(Kenapa kau kabur lagi? Bukankah kau bilang akan menghadapi semuanya?)"
Astaga, Time Loop malah menyela perkataan ku. Seharusnya dia mendengarkannya sampai akhir.
"(Biar kujelaskan. Aku tidak akan kabur jika berhubungan dengan Fumiko, tapi ini bukan tentang Fumiko, melainkan Fukuzawa. Dia membuat situasi jadi lebih sulit.)"
"(Oh, begitu? Hmm..)"
Time Loop terdiam sejenak. Mungkin dia sedang mempertimbangkan permintaanku. Lalu, akhirnya dia menjawab dengan nada yang lebih serius.
"(Baiklah, akan kulakukan. Berapa lama waktu yang ingin kau mundurkan?"
Baguslah jika Time Loop mengerti, sepertinya dia tidak keberatan sekarang. Lagipula waktunya tidak sampai satu jam.
"(Terima kasih atas pengertiannya, tolong mundurkan waktu satu menit saja!)"
Benar sekali, aku hanya ingin memundurkan satu menit, tepat sebelum Fukuzawa datang dan memukul-mukul pundakku.
"(Hah?! Satu menit? Kau serius?)"
Aku tahu kalau Time Loop akan terkejut, tapi aku sedikit tersinggung ketika dia terdengar meragukanku. Padahal rencana awalnya sudah gagal total karena asumsiku, tapi dia masih saja ragu.
"(Kau tahu? Aku tidak meragukanmu, jadi jangan tersinggung.)"
"(Terserah kau saja, cepat lakukan! Aku merasa bersalah pada Fumiko.)
"(Baiklah, kalau begitu. Tepuk pipi kananmu sekuat tenaga, aku akan memundurkan waktu satu menit.)"
Eh? Menepuk pipi kananku?
Aku merasa agak aneh dengan instruksi itu, tapi ini adalah satu-satunya cara.
Kami telah berbagi kesadaran, jadi aku harus percaya pada Time Loop. Walaupun ada kemungkinan dia akan berbohong lalu menguasai tubuhku, aku tetap yakin kalau itu tidak akan terjadi.
Yah, setidaknya asumsiku berkata begitu. Dengan sedikit keraguan, aku mengangkat tangan kananku dan menepuk pipi kananku sekuat tenaga.
PLAK!
Suara tepukan itu cukup keras, hingga beberapa siswa yang ada di sekitar semakin memperhatikanku. Bahkan Fukuzawa langsung terdiam, sedangkan Fumiko hanya bisa menatapku bingung.
"..."
"Ah, ini dia!"
"..."
Aku merasakan sensasi yang cukup panas di pipi kananku. Jika setelah ini waktu tidak mundur, rasanya aku ingin menghilang saja dari dunia ini.
Namun, tak lama kemudian, dunia seakan berputar mundur dengan cepat. Aku merasa sedikit pusing, tapi ketika aku membuka mata, aku tepat kembali ke satu menit yang lalu.
Aku berada di kantin, dengan piring Omurice dan jus jeruk masih di depanku. Sepertinya tidak ada hal yang berubah, semuanya hampir sama, hanya saja Fukuzawa yang tidak ada disini.
"Bagus sekali, ini berhasil!"
"Berhasil? Apa maksudmu, Haruto-kun?"
"Eh?! Ah, tidak apa-apa."
Nampaknya Fumiko juga masih ada disini, dia menatapku bingung karena mendengar kata-kataku tadi. Bukankah itu sudah jelas? Tapi, aku harus segera membawa Fukuzawa menjauh dari kantin ini.
"Maaf, Fumiko. Aku ingin ke toilet."
"Lagi?"
"Seharusnya kau tahu kalau aku tidak ke toilet sebelumnya."
"Hehe.. benar juga. Pergilah, akan kutunggu!"
Entah sudah berapa kali, Fumiko menunjukkan senyumannya yang begitu manis. Rasanya jadi sia-sia ketika yang lainnya juga melihat senyumnya itu.
"(Sepertinya kau cemburu, atau mungkin terlalu serakah?)"
"(Oh, kau masih hidup?)"
"(Jangan bercanda, memundurkan waktu satu menit adalah hal terkonyol yang pernah kulakukan. Aku ingin mengisi kekuatanku, jadi nikmati saja satu menit bodohmu itu!)"
Aku bangkit dari kursi, lalu berjalan meninggalkan Fumiko. Dia akan baik-baik saja, mengingat ada banyak orang di kantin.
Dalam satu menit kedepan, Fukuzawa akan datang ke mejaku dan memukul-mukul pundakku. Namun, alur waktu telah berubah sekarang. Aku akan berbicara empat mata dengan Fukuzawa di lorong saat menuju toilet.
"Yo, Haruto! Tunggu!"
Dan benar saja, suara Fukuzawa terdengar memanggil saat aku berjalan di lorong sekolah. Suaranya membelakangi ku. Sesuai rencana, aku akan berbalik dan menghindari pukulannya.
"Eh? Kenapa kau menghindar?"
"Memangnya itu masalah?"
Fukuzawa hanya memukul angin. Yah, aku cukup puas dengan ini. Wajahnya tampak kesal, dan dia mengerutkan keningnya.
"Ya, sudahlah. Ada yang ingin ku bicarakan."
"Apa itu? Kau ingin memanjangkan rambut?"
"Bukan itu!"
Fukuzawa mencoba untuk memukulku lagi, tapi karena semuanya sudah terbaca, aku dapat menghindarinya dengan mudah.
"Cih, ayolah! Kenapa menghindar? Tidak biasanya kau seperti ini."
"Maaf, Fukuzawa-san. Aku harus menghindari sentuhan lawan jenis seminim mungkin."
"Itu berarti, kau menganggap ku sebagai perempuan sekarang?!"
Eh? Tunggu! Apa aku salah bicara? Kenapa Fukuzawa terlihat senang? Matanya jadi berbinar-binar. Sungguh, dia begitu sulit untuk ditebak.
"Perlu diakui, Fukuzawa-san. Kau memang seorang perempuan, tapi sifatmu itu terlihat seperti laki-laki. Bukankah semuanya bilang begitu?"
"Oh, kau ada benarnya. Inilah yang ingin ku bicarakan denganmu."
"Begitu, ya? Jadi tentang sifat laki-laki mu?"
"Ya, kau tahu? Ada rumor aneh tentangku belakangan ini."
Rumor? Ah, kedengarannya merepotkan. Aku bahkan belum meluruskan rumorku sendiri. Tapi, aku merasa tidak enak pada Fukuzawa jika mengabaikannya.
"Baiklah, akan kudengarkan sepulang sekolah."
"Benarkah?!"
"Ya, untuk apa aku berbohong?"
Bagaimanapun juga, Fukuzawa adalah orang yang selalu ada di hadapanku. Selama bersekolah disini, hanya dia yang sering mengajakku bicara. Jadi paling tidak, aku akan mendengarkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments