Xavier duduk di ranjang, menunggu Sabila keluar dari kamar mandi. Tidak lama berselang, Sabila benar-benar keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe yang sama persis dengan yang dipakai Xavier. Tanpa mempedulikan keberadaan Xavier, Sabila langsung menuju ruang ganti dan mengganti bathrobe dengan piyama.
"Kau yakin akan tidur menggunakan kimono?" tanya Sabila saat melihat Xavier belum berganti pakaian.
"Apa kau ada piyama lain?" tanya Xavier balik.
"Ha?"
"Pakaian gantiku ketinggalan di mobil, kalau aku turun ke garasi sekarang dengan keadaan begini, maka satu keluarga Bumantara akan heboh."
"Ish, merepotkan saja!" Dengan kesal, Sabila masuk ke ruang ganti dan kembali keluar dengan membawa setelan piyama berwarna soft pink lengan panjang bermotif strawberry.
"Tidak ada yang lebih macho? Aku akan terlihat cantik memakai piyama ini," protes Xavier.
"Kalau mau, kalau tidak ya sudah." Barusaja Sabila akan mengembalikan piyama itu ke tempatnya, Xavier langsung merebutnya.
"Ingat, ini pemberianmu. Awas saja kalau kau ilfeel denganku." Xavier melepas kimononya begitu saja, membuat Sabila menutup wajahnya dengan cepat.
"Aaa! Apa kau tidak punya malu?"
"Kenapa harus malu di hadapan istri sendiri. Sudah, sekarang turunkan tanganmu."
Perlahan Sabila menurunkan tangannya setelah yakin Xavier sudah berpakaian. Namun, saat matanya menatap Xavier, lagi-lagi ia tidak mampu menahan tawanya. Sungguh, tubuh tegap sempurna milik Xavier terlihat sangat imut dalam balutan piyama pink-nya itu.
"Aku rela memakai ini setiap malam kalau itu bisa membuatmu tersenyum."
Seketika, Sabila langsung menghentikan tawanya. "Sudahlah, minggir aku mau tidur."
Xavier menggeser tubuhnya, memberi akses pada Sabila menuju ranjang. Setelah Sabila berbaring di ranjang, Xavier ikut mendekat ke ranjang hendak tidur. Namun, Sabila langsung mencegahnya.
"Kau mau apa?" tanya Sabila.
"Tidur, apalagi?"
"Kau tidak boleh tidur di sini."
"Siapa yang berani melarangku?"
"Ingat isi perjanjian kita, Vier. Tidak ada kontak fisik, termasuk tidur bersama."
Xavier terkekeh kecil. "Kau kurang teliti, Sayang. Kau lupa apa isi point ke lima? Bahwa pihak pertama, yaitu aku, berhak mengubah apapun yang menjadi keinginanku."
"Kau!" Sabila sudah mengangkat telunjuknya menunjuk Xavier. Namun Xavier langsung menurunkannya begitu saja. "Dasar licik!"
"Sopan 'lah pada suami."
Sabila benar-benar geram karena ulah Xavier, tapi ia tidak bisa berbuat banyak. Dengan marah, ia meletakkan guling diantara dirinya dan Xavier sebagai pembatas. Setelah itu, ia langsung tidur memunggungi Xavier.
"Nyatanya, aku selangkah lebih menang darimu, Sayang." batin Xavier tersenyum manis.
*
Pagi hari, Xavier dan Sabila langsung menuju rumah sakit untuk mengecek keadaan Sabila. Memang, tidak terjadi perubahan apapun pada tubuh Sabila beberapa hari ini, hanya saja ketakutan demi ketakutan terus menghantui Sabila. Takut kalau ternyata ia tidak menyadari kehadiran janin di perutnya.
"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Sabila.
"Semuanya sehat, Nyonya. Selamat, anda dinyatakan hamil."
"What?"
Meski sudah mengantisipasi sebelumnya, tapi Sabila tetap merasa terkejut. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka jika akan hamil dalam waktu secepat ini. Apalagi, ia dan Xavier melakukan itu hanya satu kali dan itu terjadi baru satu minggu yang lalu.
"Kau yakin sudah memeriksa dengan benar 'kan, Dok?" tanya Sabila memastikan.
"Saya sangat yakin, Nyonya."
Lutut Sabila terasa lemas hingga tidak mampu menopang bobot tubuhnya sendiri. Beruntung Xavier dengan sigap memapah Sabila dan membawanya keluar dari ruangan dokter. Sebelum keluar, Xavier terlihat mengedipkan matanya kepada dokter perempuan yang jarak usianya terlihat tidak jauh berbeda darinya itu.
"Bil, are you okay?" tanya Xavier.
"Hm, ayo kita pulang," sahut Sabila lemah.
"Baiklah."
Tiba di kediaman Bumantara, Xavier kembali memapah Sabila masuk. Beruntung tidak ada siapa-siapa di rumah, sehingga Xavier tidak perlu terlalu mengarang cerita untuk mengatakan kondisi Sabila. Begitu tiba di kamar, Sabila langsung menuju toilet, meninggalkan Xavier yang terlihat tersenyum penuh kemenangan.
"Dua kosong," ucap Xavier bangga. "Sekarang, aku harus bisa mengajak Sabila bercinta agar wanita itu benar-benar hamil dan tidak pernah berpikir untuk pergi lagi dariku."
"Sedang apa kau di situ?" tanya Sabila saat melihat Xavier berdiri di dekat jendela.
Xavier cukup terkejut dengan kehadiran Sabila. Ia takut kalau Sabila mendengar ucapannya dan membuat rencananya berantakan. Dengan cepat, Xavier memutar otak untuk mengalihkan pertanyaan Sabila.
"Mmm Sayang, apa yang kau lakukan? Ayo sekarang berbaring." ajak Xavier.
"Hei, kau ini apa-apaan?!"
"Ingat, Bil. Kau ini sedang hamil, jadi kau tidak boleh terlalu lelah. Ayo!" Xavier menyelimuti Sabila sembari memijat pelan kakinya.
"Xavier, kau gila ya?"
"Shut! Jangan bicara kasar seperti itu, atau anak kita akan mendengarnya dan dia akan menendang di dalam sana."
"What? Kau memang benar-benar gila ternyata."
Barusaja Sabila akan berusaha bangkit dari ranjang, tapi Xavier langsung ikut berbaring dan memeluk Sabila dengan posesif. Akhirnya, segala umpatan Sabila hanya tenggelam dalam pelukan Xavier, karena Xavier memeluknya dengan erat.
*
"Ingat pesan Mama. Jaga diri, urus suami dengan baik dan jangan berbuat semaumu lagi. Sekarang, semua yang kau lakukan harus atas izin suamimu." ucap Mama Daffina.
"Iya."
"Jangan iya-iya saja." Mama Daffina melirik menantunya. "Vier, kalau Sabila tidak mau mengikuti aturanmu, bilang pada Mama, biar Mama yang memarahinya."
"Siap, Ma."
"Dah Mama, dah Papa." Sabila melambaikan tangan kepada kedua orang tuanya yang perlahan masuk ke bandara untuk kembali ke Lampung. "Jangan kesenangan karena dibela Mama," ucap Sabila pada Xavier sebelum akhirnya ia berbalik begitu saja menuju mobil.
Xavier langsung mengikuti istrinya masuk ke dalam mobil. Mobil 'pun langsung melaju meninggalkan bandara. Kali ini, tujuan keduanya bukan kembali ke kediaman Bumantara, melainkan menuju kediaman keluarga Argetsani. Begitu tiba, Xavier langsung membukakan pintu mobil istrinya dan menggandengnya untuk masuk.
"Mom, menantumu datang." seru Xavier.
Ibu Mirna muncul dari arah dapur dengan apron yang masih melekat di tubuhnya. "Selamat datang di rumah kami, menantuku." sambut Ibu Mirna.
"Ayo Sayang, salaman dengan Mommy."
Sabila sempat melotot kepada Xavier, sebab ia merasa bahwa aura ibu mertuanya ini terbilang tidak bersahabat padanya. Meskipun terlihat cukup ramah, tapi Sabila bisa merasakan aura-aura berbeda yang terpancar dari sang ibu mertua. Namun tak urung, Sabila tetap mengulurkan tangannya.
"Pagi, Mom." sapa Sabila.
"Anak nakal!" Ibu Mirna langsung menjewer telinga putranya begitu saja. "Sudah berapa kali Ibu bilang, jangan panggil Mommy, tapi Ibu. Dan sekarang, kau malah mengajari menantuku memanggilku Mommy!"
"Aw Mom, ampun."
Ibu Mirna melepas jewerannya setelah melihat telinga putranya tampak memerah. Ia lantas kembali mendekati menantunya dan mengusap bahunya sebentar. Setelah itu, Ibu Mirna langsung mengajak mereka masuk.
"Vier! Bawa istrimu masuk." pekik Ibu Mirna.
"Iya, Mom."
"Ibu!" pekik Ibu Mirna semakin keras.
"Iya-iya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
andi hastutty
Zavier ada ada ajha
2024-07-09
0