Bab 8

Sabila yang berada di balik tembok ruang keluarga seketika memegang perutnya saat mendengar apa yang barusaja dikatakan sang kakak. Ia ingin menyangkal semua ini dan mengatakan bahwa tidak terjadi apapun antara dirinya dan Xavier kemarin malam. Tapi, Sabila merasa sedikit ragu, karena ia bahkan tidak mengingat apapun yqng terjadi setelah ia keluar dari boutique kemarin sore.

"Tapi, apa Sabila bisa menerima jika dia dipaksa menikah" Suara Mama Daffina terdengar.

"Hanya dengan bertanya, maka kita akan mendapat jawabannya." jawab Aksa. 

Bugh!

Semua orang di ruang keluarga saling pandang setelah mendengar suara benda jatuh yang sangat keras. Dengan cepat, mereka melihat ke sumber suara dan menemukan Sabila yang sudah tergeletak tak sadarkan diri. Tanpa menunggu lama, Xavier langsung mendekati Sabila hendak mengangkatnya, tapi Aaron dengan segera menarik pundak Xavier mundur. 

"Tidak ada yang boleh menyentuh adikku!" ucap Aaron dan langsung menggendong Sabila menuju kamar. 

Mama Daffina segera menghubungi salah satu anak temannya yang berprofesi sebagai dokter dan memintanya untuk memeriksa keadaan Sabila. Tidak lama, dokter 'pun datang dan langsung memeriksa Sabila. 

"Bagaimana, Zoe. Ada apa dengan Sabila?" tanya Mama Daffina.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Tan. dia hanya kelelahan." 

"Yakin hanya kelelahan 'kan?" tanya Mama Daffina lagi. 

"Iya. Aku tidak menemukan ada sesuatu yang lain pada Sabila. Memangnya, kalau boleh tahu ada apa, Tan?" 

"Mmm tidak, Tante hanya takut terjadi sesuatu yang lain saja pada Sabila."

Dokter Zoe mengangguk paham, ia lantas menuliskan sesuatu pada secarik kertas dan memberikannya pada Mama Daffina. "Ini, aku sudah resepkan obat untuk mempercepat pemulihan Sabila. Silahkan tebus obat ini di apotek terdekat nanti." 

"Baik." 

"Kalau begitu, Zoe pamit, Tan." pamit Dokter Zoe. 

"Iya, terima kasih." 

"Sama-sama." 

Setelah kepergian dokter, semua orang langsung masuk ke kamar Sabila. Mama Daffina langsung mendekati putrinya dan memeriksa suhu tubuh sang putri. Dada Mama Daffina masih saja berdebar kencang saat teringat ucapan putra pertamanya tadi. Bagaimana jika ternyata pingsannya Sabila benar-benar karena pengaruh kehamilan.

"Pa, bagaimana kalau kita nikahkan saja Sabila dan Xavier. Mama takut kalau putri kita sebenarnya bukan kelelahan, tapi ini pengaruh kehamilan. Bisa saja 'kan Zoe salah memeriksanya." ucap Mama Daffina. 

"Aku setuju, Tan." timpal Sheryl cepat yang langsung dihadiahi pelototan tajam dari Ibu Mirna.

"Mama, jangan meracau." peringat Papa Gavin menyela. "Ingat, insiden itu baru terjadi malam kemarin, kalaupun ternyata percobaan pertama itu manjur, tetap saja tidak mungkin bisa jadi secepat itu." 

Bugh! Mama Daffina memukul gemas bahu suaminya. "Hais! Paling tidak difilter sedikit ucapannya!" 

Uhuk! 

"Mi-num," ucap Sabila lemah. 

Dengan cepat, Mama Daffina membantu putrinya untuk duduk dan minum. "Bagaimana keadaanmu, Sayang. Apa ada yang sakit, tidak enak, mual atau pusing?" tanya Mama Daffina. 

"Tidak, Ma. Aku baik-baik saja."  

"Hm, syukurlah." 

"Ma," panggil Sabila. 

"Hm, ada apa sayang?" 

"Bisa tinggalkan aku dengan dia sendiri?" Tunjuk Sabila pada Xavier. 

Mama Daffina melirik semua orang satu persatu. Setelah itu, ia langsung mengajak semua orang untuk keluar. Hingga hanya menyisakan Xavier dan Sabila di dalam kamar tersebut. Xavier mengambil kursi rias milik Sabila, lalu meletakkannya di samping tempat tidur dan langsung duduk di sana. 

"Bagaimana keadaanmu sekarang?" tanya Xavier dengan menatap lekat Sabila. 

"Baik." Hanya satu kata singkat itulah yang Sabila ucapkan. Bahkan, ia mengucapkan itu tanpa menatap Xavier sama sekali. 

"Oh iya, mengenai malam kemarin, aku minta maaf karena aku sama sekali tidak sadar saat melakukannya." ucap Xavier.

Mendengar ucapan Xavier, Sabila langsung menatap Xavier. "Jadi, kemarin malam kita benar-benar—" 

Xavier mengangguk lemah seakan penuh sesal. Padahal dalam hatinya justru merasa berdebar karena takut aktingnya tidak mampu meyakinkan Sabila. Namun, nampaknya kekhawatirannya tidak terjadi, karena kini Sabila justru terlihat tertunduk lemah. 

"Bil," Xavier memberanikan diri untuk menggenggam tangan Sabila yang berada di atas selimut. "Aku bahkan tidak bisa menghitung berapa kali kita melakukan itu" ucap Xavier.

"Brengsek!" Tanpa aba-aba, Sabila langsung memukul Xavier dengan bantal. "Kau masih berusaha memanfaatkan ketidaksadaranku untuk mengambil keuntungan, ha?!" Pukulan-pukulan kasar masih saja Sabila layangkan pada Xavier. 

"Bil, dengarkan aku dulu." 

"Kau brengsek, kau tidak berprikemanusiaan, kau pecundang, kau—"

"Aku mencintaimu," ucap Xavier cepat dengan menggenggam kedua tangan Sabila agar tidak lagi memukulnya. 

Kata-kata manis ini pernah membuat seorang Sabila tersipu malu saat mendengarnya, tapi itu dulu. Sekarang, mendengar kata manis ini membuat Sabila jijik dan ingin mencakar Xavier saat ini juga. Dengan kasar, Sabila melepas cekalan tangan Xavier. 

"Dengar! Sabila yang dulu dengan bahagia menyambut rayuanmu itu sudah mati. Sekarang, Sabila telah menjadi si hati batu dan itu gara-gara kau!" 

"Maka dari itu, aku bertanggung jawab untuk kembali melunakkan hatimu dan membuatmu kembali mencintaiku." 

"Dan itu tidak akan pernah terjadi!" 

"Itu pasti akan terjadi dengan bantuannya." Xavier menunjuk perut Sabila dengan tatapannya, membuat Sabila langsung menyilangkan kedua tangannya di atas perut.

"Kau jangan macam-macam!" 

"Tidak macam-macam, aku hanya memperingatkanmu saja bahwa bisa saja apa yang kita lakukan kemarin malam membuat dia hadir di sana dan akan menjadi alasan kita untuk menikah." 

Ketakutan Sabila yang belum sepenuhnya reda, kini kembali melanda saat mendengar ucapan Xavier. Bagaimana jika ternyata semua itu benar. Apa yang harus ia lakukan.

"Bil, kau bisa mempertimbangkan ajakanku untuk menikah. Setidaknya, aku akan bertanggung jawab penuh karena sudah menjadi orang pertama yang mengambil kesucianmu." 

Orang pertama yang mengmbil kesucian? Kenapa itu terdengar sangat mengerikan di telinga Sabila. Kalimat itu seakan benar-benar menjelaskan bahwa memang sudah terjadi sesuatu diantara mereka, dan Xavier adalah orang pertama yang menyentuhnya. Sedangkan Xavier terlihat tersenyum tipis saat melihat raut wajah Sabila yang berubah setelah mendengar ucapannya.

"Cobalah untuk kembali mempertimbangkan semua ini, Bil." ucap Xavier sebelum akhirnya ia keluar dari kamar Sabila.

"Apakah kau benar-benar akan hadir di sini?" tanya Sabila lirih sembari mengusap perutnya. 

*

Setelah keluar dari kamar Sabila, Xavier menjelaskan pada anggota keluarga yang ada di sana bahwa ia dan Sabila sedang mencoba memikirkan tindakan yang akan keduanya ambil kedepannya. Setelah menjelaskan semuanya, akhirnya Xavier bersama keluarganya pamit untuk pulang. Namun, saat bersalaman dengan Aksa, Xavier terdiam saat merasakan genggaman keras Aksa pada tangannya. 

"Tunggu aku di gedung tua Jl.Mawar, malam ini." bisik Aksa. 

Meski Xavier sudah merasa akan terjadi sesuatu yang tidak baik, tapi Xavier tetap mengiyakan. Sebab, ia juga penasaran tentang maksud dan tujuan dari kakak Sabila ini yang terus- menerus mendukung dirinya dan tidak memojokkannya sama sekali atas semua yang terjadi ini. 

Terpopuler

Comments

andi hastutty

andi hastutty

Mau ketawa bodohnya sabila tidak merasakan apa2 klo sudah berkali2 hahaha

2024-07-09

0

Triple

Triple

wih sudah 16 eps aja. pelan-pelan oy haha cepat amat nulisnya.

tapi baguslah daripada nanti penasaran terus nanggung jadi lebih baik aku tabung aja HAHA.

2024-06-09

2

Triple

Triple

jangan bilang kakaknya doyan sama xavier.

2024-06-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!