Cinta Setelah Perpisahan
Sepasang kaki jenjang melangkah dengan begitu anggun memasuki sebuah gedung perusahaan. Di sepanjang jalan, ia tampak berbicara serius dengan seseorang diseberang telepon. Karena keseriusan itulah, tanpa sadar ia menabrak seseorang didepannya.
"Baiklah, aku percayakan boutique hari ini padamu. Bye." Wanita itu melepas kacamata hitamnya dan berjongkok, membantu seseorang yang tadi ia tabrak untuk memunguti kertas yang berserakan. "Maaf, aku tidak fokus tadi," ucapnya.
"Tidak apa-apa, terima kasih juga sudah membantuku memungut ini. Kalau begitu aku duluan." Wanita yang tadi ia tabrak itu tersenyum sekilas dan langsung melanjutkan langkahnya tanpa terlihat kesal sedikitpun.
"Seharusnya dia memakiku karena sudah menabraknya, tapi dia malah begitu ramah." gumam wanita itu dan kembali memakai kacamatanya, lalu kembali melanjutkan langkah menuju ruangan CEO.
*
Tok, tok.
"Masuk," Terdengar perintah dari dalam sana.
Wanita itu segera melangkah masuk setelah dipersilahkan. "Selamat siang, Tuan Bara." sapanya sembari melepas kacamatanya.
"Ahhh Sabila, tidak perlu sungkan begitu. Ayo duduklah," laki-laki itu mempersilahkan wanita bernama Sabila itu untuk duduk.
"Bagaimana perkembangan usaha Kakak?" tanya Sabila pada Bara, sepupunya yang merupakan anak dari kembaran Mamanya.
"Cukup baik, tapi sedikit buruk."
"Ini masih siang, jadi jangan mematik emosiku untuk keluar." ucap Sabila. Sebab, Bara mengatakan baik tapi buruk, sebuah kata ambigu yang sangat menjengkelkan bagi Sabila.
Bara terkekeh saat mendengar nada suara Sabila yang sudah mulai meninggi. Inilah kebiasaan Sabila dalam berucap, jadi Bara tidak merasa heran lagi. Sebab, Sabila merupakan keturunan suku Lampung yang memang terkenal keras intonasi dalam berucap.
"Oh iya, bagaimana dengan desain yang aku minta?" tanya Bara akhirnya.
"Semuanya sudah selesai, hanya tinggal menunggu persetujuanmu, maka semuanya beres."
"Baiklah, di mana gambarnya. Aku ingin melihatnya."
Sabila mengeluarkan IPad dari tasnya, kemudian menunjukkan beberapa gambar desain baju yang sudah ia buat secara khusus untuk acara ulang tahun putra sulung dari Kakak sepupunya tersebut.
"Bagaimana, ada yang perlu diubah?" tanya Sabila.
"Aku rasa tidak, desainnya oke dan aku suka."
"Seleraku memang tidak pernah salah."
"Hmm seleramu memang tidak pernah salah dalam hal mendesain. Tapi, sayang kau masih belum laku juga hingga sekarang," ejek Bara.
Sabila mendelik sebal. Ia langsung memasukkan IPad-nya kembali kedalam tas, lalu memakai kacamata hitamnya dan langsung beranjak. "Terima kasih atas kepercayaan anda untuk memakai jasa saya, Tuan Bara. Kalau begitu saya permisi."
Tanpa banyak kata lagi, Sabila langsung keluar dari ruangan Bara tanpa mempedulikan Bara yang terus menertawakannya. Andai saja laki-laki itu bukan kakak sepupunya. Maka, Sabila pasti akan mencakar wajah tampan itu hingga tidak berbentuk karena berani menertawakan seorang Sabila Alfiana Bumantara.
Sabila langsung keluar dari gedung perusahaan dan menjalankan kendaraannya menuju boutique miliknya. Tiba di boutique, ia langsung masuk melewati beberapa karyawannya yang masih tampak menjahit. Baru saja ia mendudukkan diri dengan nyaman di kursi kerjanya, ketukan di pintu rungannya terdengar.
"Masuk," ucap Sabila. "Ada apa, Lily?" tanya-nya saat melihat orang kepercayaannya 'lah yang masuk.
"Ada tawaran yang masuk, bos." ucap Lily.
"Hm, untuk perusahaan atau keluarga?"
"Perusahaan, bos."
"Perusahaan mana?"
"Argetsani Company, Bos."
Kegiatan Sabila terhenti saat mendengar nama perusahaan tersebut. Seketika ingatannya tertuju pada seseorang di masa lalunya yang memiliki nama besar yang sama dengan nama perusahaan yang barusaja Lily sebutkan. Sabila kembali menatap Lily yang masih asik mengatakan berbagai hal mengenai perusahaan yang mengajak mereka bekerja sama.
"Lily stop!" Sabila mengangkat tangannya ke udara. "Tolak kerja sama dari perusahaan itu."
"To-tolak, bos?" tanya Lily tak percaya. Sebab, perusahaan itu adalah perusahaan besar, tapi mengapa bosnya ini justru menolak.
"Jadwal kerja sama kita sudah terlalu padat untuk satu tahun kedepan. Jadi tolak saja kerja sama itu. Kau paham 'kan?"
"Paham, bos." angguk Lily.
"Bagus, keluarlah!"
Setelah Lily pergi, Sabila menghempas tubuhnya pada sandaran kursi kerjanya. Ingatannya seketika tertuju pada seorang pria dari masa lalunya yang membuatnya membenci pria manapun. Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, ia justru kembali mendengar nama besar dari seorang pria yang sangat ia benci itu.
"Xavier Annar Argatsani," lirih Sabila dengan mata terpejam.
*
Di sebuah ruang perkantoran, terlihat seorang laki-laki yang begitu fokus pada layar laptop didepannya. Tidak lama, pintu ruangannya terbuka lebar dan menampilkan seorang wanita bersanggul dengan baju kebaya modern yang masuk ke dalam ruangannya begitu saja.
"Mom?" ucapnya heran.
"Mom, Mom. Memang aku moyangmu? Panggil aku Ibuk!" ucap Ibu Mirna sewot.
"Baiklah, ada apa Ibuk ke mari?" tanya laki-laki itu pasrah.
Ibu Mirna melirik sekitar ruangan putranya dan langsung duduk begitu saja di sofa panjang yang ada di sana. Tatapannya memicing, khas ibu-ibu sosialita. Ia lalu meletakkan tas jinjing mewahnya ke atas meja dan duduk dengan anggun di sana.
"Bagaimana tentang janjimu, ini sudah tahun ke-30 dan Ibuk masih belum mendapatkan menantu darimu, Xavier." ucap Ibu Mirna.
"Mommy tenang saj—,"
"Ibuk, I-buk." ucap Ibu Mirna penuh penekanan.
"Baiklah," Xavier berjalan mendekati sang Mommy dan merangkul pundak wanita yang telah melahirkannya itu. "Ibuk tenang saja. Sesuai janjiku, jika tahun ini aku tidak memberikan menantu untuk Ibuk, maka Ibuk berhak untuk menjodohkanku."
"Hm, lalu bagaimana sekarang. Kau sudah mendapatkan calon menantu untuk Ibuk?" tanya Ibu Mirna penasaran.
"Aku sudah tidak mencarinya lagi, Buk. Mungkin, wanita yang aku cari sudah menikah dengan pria lain." Xavier menghela napas panjang, lalu kembali melirik sang Mommy. "Sesuai janjiku, maka Ibuk boleh menjodohkan aku dengan wanita pilihan Ibuk," putusnya.
"Benarkah?"
"Hm."
Ibu Mirna menyunggingkan senyum lega setelah mendengar ucapan putranya. Bagaimana 'pun, usia putranya yang tidak lagi muda membuatnya merasa takut kalau putranya itu tidak akan menikah seumur hidupnya. Namun, kini Ibu Mirna bisa bernapas lega karena putranya menyerahkan keputusan mutlak padanya untuk mencarikan pendamping hidup.
"Baiklah, secara tidak langsung, kau sudah mengaku kalah dari Ibuk. Itu artinya, kau harus kembali tinggal di rumah keluarga kita," putus ibu Mirna.
"Sesuai janjiku."
Ibu Mirna langsung memeluk tubuh putranya. "Terima kasih Sayang. Kalau begitu Ibuk pergi dulu, bye."
Setelah kepergian Mommy-nya, Xavier menghempas punggungnya pada sandaran sofa. Tidak pernah ia bayangkan jika hari ini akan tiba. Hari dimana janjinya pada sang Mommy harus ditunaikan. Ya, sejak dulu Mommy-nya selalu meminta dirinya untuk menikah dengan wanita pilihan sang Mommy. Namun, Xavier menolak dengan alasan memiliki pilihan sendiri. Kini, setelah bertahun-tahu berlalu, ia tidak juga bisa menemukan wanita yang ia cari, hingga memaksanya untuk tetap menerima perjodohan yang diatur oleh sang Mommy.
Tok Tok Tok.
"Masuk," ucap Xavier malas.
"Permisi, Tuan."
"Hm, ada apa?"
"Desainer yang akan kita ajak kerja sama menolak tawaran kita, Tuan."
"Apa?" Xavier langsung menegakkan tubuhnya setelah mendengar ucapan sekretarisnya. Bagaimana mungkin ada desainer gila yang berani menolak kerja sama dengannya. Padahal, di luar sana banyak sekali desainer yang berbondong-bondong meminta dirinya untuk bekerja sama. "Apa alasannya menolak kerja sama kita?" tanya Xavier akhirnya.
"Jadwal kerja beliau terlalu padat, Tuan. Itu yang disampaikan oleh orang kepercayaannya."
"Cih! Sombong sekali dia. Memang tidak ada kandidat desainer lain yang cocok untuk project ini?" tanya Xavier.
"Mmm dari hasil riset, hanya desainer inilah yang saat ini sedang naik daun, Tuan. Desainnya sudah terkenal hingga ke manca negara. Bahkan, hasil desainnya sudah dipakai oleh beberapa idol luar negeri."
"Aku tidak peduli, aku juga tidak akan mengemis padanya hanya untuk sebuah kerja sama. Kau cari saja desainer lain yang setara dengannya, atau bila perlu cari yang lebih dari dia agar dia tahu dengan siapa dia sedang berhadapan," ucap Xavier.
"Baik, Tuan." laki-laki itu segera berbalik hendak keluar. Namun panggilan Tuannya membuat langkahnya terhenti. "Ada apa, Tuan?"
"Siapa nama desainer yang kau maksud?" tanya Xavier.
"Pemilik mutiara boutique, Tuan. Sabila Alfiana Bumantara."
"Apa?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Nurhayati Nia
Hai _haii aku singgah lagi di karyamu setelah dokter anggi dan dokter njoyyy aku nyimak cerita yng niii.. lanjutttt
2024-06-04
2
Kadek Bella
lanjut thoor
2024-05-31
1