💐💐💐
Divi melihat pintu ruangan baru ditutup, menyadari ada seseorang yang ada di sana dan menarik perhatiannya. Divi mendorong pintu ruangan itu, menjadi orang yang menyebabkan Shanum hampir terjatuh.
Perlahan Divi melangkah masuk mendekati Shanum dengan wajah datar, berdiri tepat di hadapan Shanum, menatap wajah wanita itu yang sedikit terlihat kesakitan. Divi menurunkan pandangan menatap kaki kiri wanita itu yang dibungkus sepatu pansus dengan posisi sedikit miring.Divi sadar aksinya tadi melukai Shanum.
Shanum menghampiri salah satu rak di ruangan itu dengan langkah pincang, berpura-pura sedang mencari sesuatu di antara berkas-berkas pasien di rak itu. Divi tahu Shanum berusaha menipunya. Pria itu mendekati Shanum, membopong tubuh wanita itu menuju bangku di sudut ruangan itu dan menjongkok. Sepatu kiri Shanum dilepaskan Divi untuk memeriksa cedera di kaki putih bersih milik wanita itu.
“Tahan,” ucap Divi dan menarik kaki Shanum, sontak membuat Shanum menjerit sakit.
Kemudian, Shanum menggerakkan kakinya kiri dan kanan, rasa sakit itu sudah tidak seperti sebelumnya.
Divi bangkit dari posisinya dan berjalan menuju pintu, ingin keluar dari ruangan itu.
“Terima kasih,” ucap Shanum, menghentikan langkah kaki Divi di depan pintu bagian depan
Divi tidak merespons, hanya diam di posisinya beberapa detik, dan lanjut melangkah keluar dari ruangan itu.
Rasa merasa bersalah muncul di hati Shanum. Wanita itu merasa tidak seharusnya kebohongan dikatakan kepada ayah dari anaknya itu. Shanum menggulung keputusan sebelumnya, mengungkapkan kebenaran mengenai identitas Denis harus dilakukannya. Bergegas Shanum mengenakan sepatunya dan keluar dari ruangan itu.
Wujud Divi sudah tidak ada di luar ruangan dan Shanum menebak pria itu berada di kamar Marta. Beranjak ia ke pintu kamar Marta dan mengangkat tangan ingin mengetuk pintu kamar itu. Namun, pembicaraan dari dalam menghentikan aksinya.
“Setelah Papa sembuh, aku akan menikahi Milka. Jadi, Papa sembuh dulu,” ucap Divi yang terdengar di telinga Shanum.
Meskipun sudah berpisah sejak lima tahun lalu, mendengar kalimat itu membuat hati Shanum menciut sedih. Mengapa? Sama seperti Divi, perasaan yang mereka bangun beberapa tahun lalu masih kekal di hati mereka. Namun, restu dari Medina yang menghalang mereka selama ini tanpa diketahui oleh Divi. Secara diam-diam, Medina selalu membuat Shanum tertekan.
Shanum mengurung niat untuk mengetuk pintu itu dan bertemu Divi. Shanum berusaha tersenyum sambil sadar dan menerima kenyataan kalau mereka bukan siapa-siapa satu sama lain.
***
“Hari ini kami jadi tes perguruan tinggi?” tanya Shanum kepada Mahen sambil mencuci piring di wastafel dapur.
“Iya, Kak. Kak Kayl yang akan menemaniku. Oh iya, kami juga akan bawa Denis supaya Kakak tidak kesulitan. Hmm … ngomong-ngomong, kapan pengasuh Denis kembali? Jika menitipkan Denis kepada Ka Anggika, itu akan menyulitkannya juga,” ujar Mahen sambil melayani Denis main pesawat terbang di sampingnya, duduk di bangku meja makan.
“Benar. Sepertinya pengasuh Denis tidak akan bekerja lagi. Kemarin dia menghubungiku Kakak dan bilang akan menetap di kampungnya. Nanti dia akan ke sini untuk menjemput barang-barang.”
Shanum mencuci kedua tangannya, lalu mengeringkannya menggunakan tisu basah yang berada di rak dinding. Kemudian, Shanum menghampiri mereka, mengecup pipi Denis dan menggendong anak itu keluar dari dapur diikuti Mahen.
Melihat kesulitan Shanum selama tinggal bersama kakaknya itu membuat Mahen merasa prihatin.
“Kak!” Mahen duduk di bangku ruang tamu, mengikuti jejak sang kakak. “Kakak tidak ada niat menikah lagi? Jika tidak, kembali saja sama Kak Divi. Selain Kakak, Denis juga membutuhkan sosok Ayah,” ucap Mahen, terdengar berbicara seperti orang dewasa bagi Shanum yang selama ini selalu menganggap adiknya itu masih kecil.
Wanita itu diam sejenak dan tersenyum.
“Kapan adik kakak ini dewasa? Urus saja pendidikanmu. Kamu harus kuliah dengan bener dan lulus tepat waktu. Setelah itu kamu bekerja, cari uang yang banyak dan menikah. Sekarang kita bisa dihargai jika kita punya uang.” Shanum menyampaikan sesuatu yang dipetik dari pengalamannya sendiri.
“Iya. Kalau gitu, aku siap-siap.” Mahen berdiri dan berjalan menuju kamarnya.
“Mahen …! Kak Kayl sudah datang!” seru Shanum setelah melihat mobil Kayl berhenti di halaman rumahnya, tampak dari pintu yang terbuka lebar
Mahen Keluar dari kamarnya dan menghampiri Shanum, menyalami tangan kakaknya itu sambil mengajak Denis.
“Jangan menyusahkan Om Mahen maupun Om Kayl. Oke?” tanya Shahum kepada Denis.
“Siap!” Denis hormat dan mengikuti Mahen keluar dari rumah.
Kayl menyapa dengan lambaian tangan di luar rumah kepada Shanum. Wanita itu bangkit dari bangku ruang tamu dan beranjak ke pintu, melepas kepergian mereka.
Setelah mobil Kayl pergi, suasana rumah menjadi sunyi. Shanum menghela napas sambil memasuki rumah, menutup pintu, dan beranjak ke kamarnya untuk bersiap-siap berangkat kerja.
Suara ketukan pintu terdengar setelah Shanum baru menutup pintu kamar rumah. Wanita itu membuka pintu kamar dan menghampiri pintu rumah, membukanya.
Shanum sedikit kaget melihat Medina berdiri di luar pintu dengan wajah angkuh yang ditunjukkan. Shanum menenangkan perasaannya dan mempersilakan wanita yang sempat menjadi ibu mertuanya itu masuk ke rumahnya. Medina masuk, duduk di bangku ruang tamu sambil memainkan mata ke sekitaran.
“Divi akan menikah bersama Milka. Kamu tidak sebanding dengan Milka dan tidak sebaik wanita itu untuk Divi. Jadi, kamu jauhi putraku dan jangan pernah mengungkit masalah uang dua ratus juta itu. Jangan pernah bilang kalau aku yang memberikan uang itu, bukan pria liar itu,” ucap Medina dengan santai, seolah Shanum tidak tersinggung dengan perkataannya.
“Pertama, aku tidak ingin mendekati Divi dan yang kedua, temanku itu bukan pria liar. Aku tau kalau Mama yang sudah membuat dan menggiring cerita mengenai aku dan temanku itu. Mama memanfaatkan situasi karena sejak awal Mama tidak menyukaiku. Tidak perlu memberikan penekanan padaku untuk menjauhi anak Mama, suruh dia yang menjauhiku,” balas Shanum dengan berani, tidak seperti dulu ketika dirinya akan tertunduk sedih karena sikap sang mertua.
“Tinggal Garda Teaslime. Jika kamu tidak ada, dia tidak akan menemuimu.”
“Sudah aku lakukan. Aku datang ke rumah sakit untuk memberikan surat pengunduran diri, tapi Divi menolaknya. Aku mau berbuat apa? Bukan aku, tapi dia,” balas Shanum masih dengan nada bicara yang sama, sopan, tetapi terdengar tidak bisa diremehkan.
Medina diam, sejenak tidak bisa berkata-kata dan sadar sejak awal Divi yang berusaha mendekati Shanum.
Mata Medina tidak sengaja tertuju pada sbeuah foto di atas meja saat wanita paruh baya itu memalingkan pandangan dari Shanum. Tampak foto Denis ketika usia tiga tahun di sana, anak itu berdiri tersenyum.
“Bocah itu benar anak Divi?” tanya Medina sambil mengarahkan pandangan kepada Shanum.
“Anak siapa lagi? Anak pria liar itu?” Shanum tersenyum bodoh. “Jelas-jelas Mama juga tau kalau aku tidak memiliki pria lain di luar,” balas Shanum.
“Baik.” Medina berdiri sambil mengambil tas yang ada di sampingnya. Wanita paruh baya itu meninggalkan kediaman Shanum tanpa berucap pamit. Tentu, kedatangannya juga tidak dengan niat baik.
“Ibu dan anak sama saja,” gumam Shanum dengan ekspresi sedikit bingung melihat tingkah Medina yang datang dan pergi tanpa aba-aba. “Tapi ….” Shanum tersenyum smrik sambil mengambil ponsel yang tertelungkup di atas meja dan memutarnya.
Pembicaraannya bersama Medina tadi sudah direkam secara diam-diam. Ketika wanita paruh baya itu sibuk memperhatikan sekitaran ruang tamunya, Shanum menyalakan ponsel dan menghidupkan rekam suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments