💐💐💐
Shanum dan Divi duduk di bangku teras dalam diam sejak beberapa menit yang lalu, lebih tepatnya setelah Shanum menceritakan kisah masa lalu mengenai kehamilannya yang menyeret buruk seorang Medina di hadapan Divi.
Pria itu berdiri dengan perasaan bengis, berusaha menenangkan perasaan yang tidak mudah dijinakkan setelah mendengar cerita mantan istrinya itu.
“Bagaimana bisa Mama melakukan itu? Kamu berbohong, kan? Mama tidak mungkin begitu, aku sangat mengenalnya, dia orang baik,” kata Divi, merasa tidak percaya pada akhirnya setelah berpikir dan menilai sikap ibunya selama ini.
“Kamu selalu begitu, kamu tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Saat Mama jatuh dari teras saat itu, bukan aku yang mendorongnya, dia yang jatuh sendiri,” beber Shanum, merasa tidak tahan lagi dengan sikap Divi yang selalu membela Medina saat berdebat dengannya.
“Aku tidak menyalahkanmu, aku menganggap itu sebagai ketidaksengajaan,” balas Divi, tidak ingin menyalahkan Shanum.
“Meskipun kamu tidak menyalahkanku, tetap saja, itu membuatku terluka. Mengapa mamamu selalu unggul di matamu? Berbakti boleh, aku tidak ingin kamu durhaka pada mamamu, tapi jangan buta dan hilang kesadaran. Setiap kali berdebat dengan Mama, kamu selalu membelanya. Di mana harga diriku kamu letakkan? Aku juga butuh dibela.” Shanum berbicara dalam linangan air mata saat mengingat luka di situasi lima tahun lalu.
“Aku tidak pernah menyalahkanmu, Shanum ….”
“Tetap saja, aku tidak bisa menerimanya. Di depan matamu aku mungkin tidak salah karena aku adalah istrimu. Tapi, di depan mereka, teman-teman mamamu dan para tetangga, mereka menganggap aku seekor anak kucing malang yang kamu kutip dari jalanan. Mendengar perkataan mereka sudah membuat tubuhku mati sebelah, merasa tidak ada harga dirinya.”
“Mama mengatakan itu? Tidak mungkin.”
“Lagi, kamu masih membelanya. Sampai kapan kamu mau membelanya? Itu sebabnya mamamu semakin semena-mena padaku. Tidak bisakah sedikit saja kamu memperjelas kesalahan mamamu? Sedikit … saja.” Shanum memperlihatkan jari telunjuk dan jari jempol kanannya yang menempel, menunjuk ukuran sedikit dari ujung jarinya seperti yang dikatakannya.
“Maksudku bukan begitu,” ucap Divi, berusaha membuat Shanum mengerti dengan isi pemikirannya yang sulit untuk dijelaskan karena takut malah kembali menciptakan kesalahpahaman.
“Sudahlah. Memperdebatkan hal itu sudah tidak berguna, semua sudah berlalu.” Bergegas Shanum menengahi perdebatan mereka.
“Kamu boleh mengunjungi Denis kapanpun, tetapi jangan bawa dia dariku. Hanya dia yang aku miliki,” ucap Shanum, membujuk Divi dengan nada bicara yang lembut dan lebih tenang.
“Baik. Ingat janjimu, jangan pernah mengingkarinya. Kalau begitu, aku pulang dan besok pagi aku ke sini untuk menjemput Denis, aku ingin memberitahu semua orang kalau dia adalah putraku.”
“Jangan. Jangan sampai Mama tau.”
“Kenapa?”
Shanum diam, mengingat kembali perkataan Medina yang mengancamnya.
“Ini belum waktunya. Divi masih saja percaya kalau mamanya orang yang baik. Jika itu terungkap sekarang, maka hal yang sama akan terulang kembali dan Denis akan mendapatkan dampaknya. Aku harus membongkar karakter kejam Mama,” kata Shanum, dalam hati.
“Untuk sementara, kita sembunyikan dulu identitas Denis dari siapapun. Aku mohon.” Shanum meraih tangan kanan Divi, meminta persetujuan pria itu.
“Baiklah.” Divi tidak tega melihat Shanum dengan wajah sedih wanita itu yang menjadi kelemahannya sejak dulu.
Bibir Shanum tersenyum senang, mengukir kebahagiaan di hati Divi yang disembunyikan pria itu dengan wajah dinginnya.
***
Divi datang ke kediaman Shanum dengan membawa makanan yang ada di dalam tas belanjaan di tangannya, juga ada beberapa mainan di sana. Melihat pintu rumah Shanum terbuka, Divi menerobos masuk sambil berseru memanggil anaknya itu dan duduk di bangku ruang tamu ruang tersebut sambil menaruh tas belanjaan itu di atas meja.
“Kamu,” kata Shanum, baru keluar dari dapur dan berdiri di hadapan Divi yang duduk santai.
“Denis di mana? Aku bawakan mainan dan makanan untunya,” ucap Divi sambil menyilang kakinya.
“Di dapur, sedang sarapan. Ayo sekalian ikut sarapan,” ajak Shanum dengan senyuman ringan sebagai pemanis agar pria itu tidak mengubah pemikirannya mengenai Denis
Divi menatap jam di pergelangan tangannya, sadar dirinya datang kepagian ke rumah itu sampai lupa sarapan pagi. Jadi, tidak ada penolakan dengan ajakan Shanum.
Kedua tas belanjaan di atas meja diambil Shanum, dibawa ke dapur dengan Divi mengikutinya dari belakang. Langkah Divi mulai melambat setelah menemukan kebenaran Kayl di dapur, tengah bercanda bersama Denis dan Mahen. Sebelumnya suara tawa ringan itu terdengar oleh Divi dan berpikir itu bersumber hanya dari Mahen dan Denis, tidak disangka Keyl juga ada di sana.
“Iya, tadi ada motor besar terparkir di halaman rumahnya, mengapa aku tidak ngeh kalau pria itu ada di sini,” ucap Divi, dalam hati, sambil duduk di samping Shanum.
Mereka yang duduk di bangku meja makan menatap Divi dengan wajah datar, tetapi tidak dengan Denis. Anak itu tampak takut mengingat kejadian semalam.
“Sini! Duduk dekat Papa,” kata Divi sambil menepuk pelan bangku di sisi kirinya yang kosong.
Denis memeluk tangan Mahen dengan wajah takut tergambar.
“Denis mungkin takut karena semalam,” kata Shanum dengan suara kecil kepada Divi.
“Jelas, kalian bertengkar di hadapannya,” sahut Kayl dan menyendok makanan ke mulutnya dengan santai.
Divi menatap Shanum dengan wajah kesal yang sedikit terlihat. Rasa kesal itu karena Kayl tahu mengenai pertengkaran mereka semalam yang diyakini Divi telah diceritakan oleh mantan istrinya itu kepada pria tersebut.
“Hubungan apa yang mereka miliki sampai sedekat ini?” tanya Divi, dalam hati sambil memperhatikan Shanum yang ada di sisi kanannya dan Kayl yang ada di hadapannya bergantian.
“Makan,” ajak Shanum kepada Divi dengan senyuman.
Usai makan, piring kotor di atas meja dibiarkan saja, Mahen yang akan membersihkannya. Pemuda itu sudah ahli melakukan itu karena ditinggal sendiri saat berada di Singapura.
“Ayo,” ajak Divi kepada Shanum yang baru keluar dari rumah, setelah menunggu wanita itu beberapa menit di teras rumah bersama Kayl.
“Mobilku ada. Kamu bisa duluan,” balas Shanum.
“Aku pamit pergi,” ucap Kayl kepada Shanum.
“Iya. Terima kasih makanan hari ini,” ucap Shanum dan melambaikan tangan dengan pelan ke arah pria itu.
Sejenak Divi diam dan sadar kalau makanan yang ikut dinikmati olehnya tadi dibawa oleh Kayl. Ia baru sadar mengapa rasa makanan itu cukup familiar di lidahnya karena tempat Kayl membeli makanan itu berasal dari restoran langganannya.
“Jadi, makanan tadi dibawa pria itu?” tanya Divi dengan tenang.
Kepala Shanum menganggukkan pelan.
“Kenapa?”
“Bukan apa-apa. Hari ini kamu berangkat denganku. Kita akan menghadiri seminar,” ucap Divi dan berjalan menuju mobilnya tanpa mendengar pendapat Shanum.
“Menyebalkan. Egois,” cecar Shanum dengan kesal.
“Mahen! Kakak berangkat kerja! Jaga keponakanmu!” seru Shanum dari luar rumah kepada Mahen yang ada di dapur bersama Denis.
“Iya, Kak!” seruan Mahen terdengar samar dari dalam.
Shanum melangkah dengan ketikan kaki kesal menghampiri mobil Divi, ia duduk di bangku depan, di samping pria itu.
Wajah Divi berada di hadapannya, sontak membuat Shanum yang baru menutup pintu mobil menjadi kaget. Mereka saling menatap dalam keheningan beberapa detik hingga akhirnya Divi menurunkan pandangan, menarik sabuk pengaman di sisi kiri Shanum, memasangkannya ke tubuh wanita itu. Sikap pria itu sempat membuat pikiran Shanum melayang, mengira pria itu hendak menciumnya. Untungnya, ia tidak menutup mata yang membuat Divi bisa membaca makna dari tingkahnya.
Shanum menyantaikan badannya, bertingkah tidak ada hal yang sempat mengguncang jiwanya. Padahal, situasi perasannya masih sedikit tegang. Divi memperhatikannya dengan senyuman ringan dan mengarahkan pandangan ke depan saat wanita itu menoleh ke arahnya.
Mesin mobil dinyalakan dan Divi mengemudikan mobilnya keluar dari pekarangan rumah Shanum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments