💐💐💐
Shanum duduk termenung di bangku yang menghadap ke arah meja, di ruangan ganti. Kebetulan tidak ada siapapun di sana karena mereka tengah bertugas. Mengingat masalahnya bersama Divi, cairan bening menetes di pipinya.
Pintu dibuka dengan keras, Shanum tersentak kaget sambil mengarahkan pandangan ke kanan, ke pintu berada. Divi muncul bersama ekspresi emosi, pria itu menghampiri Shanum, menggenggam erat tangan Shanum dan menariknya keluar dari ruangan itu.
“Kamu mau bawa aku ke mana?” tanya Shanum sambil memperhatikan sekitaran, di mana beberapa orang memperhatikan mereka. “Orang-menontoni kita. Kamu kenapa?” tanya Shanum dengan suara kecil.
Divi hanya diam. Pria itu membawa Shanum keluar dari rumah sakit dan memasuki mobilnya. Setelah memasukkan Shanum, Divi ikut masuk, dan mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedikit kencang.
“Hubungi pria itu, kita perlu meluruskan masalah itu. Kita akan tau siapa yang benar dan siapa yang salah,” ucap Divi.
“Pria mana?” Shanum bingung.
“Kayl. Hubungi dia dan ajak bertemu di rumahmu,” ucap Divi dengan volume sedikit keras.
“Tidak perlu. Tidak ada yang perlu dijelaskan.”
Divi menginjak rem secara mendadak, menepikan mobil di tepi jalan. Tubuh mereka terdorong maju dan terhempas ke sandaran bangku.
“Kamu benar pergi demi uang yang diberikan pria itu? Jadi, perkataan Mama mengenai kamu benar, kalau kamu lari bersamanya. Lalu, mengapa kamu membantahnya sebelumnya seakan Mama salah? Kamu sengaja menjadikan Mama kambing hitam?” tanya Divi dalam kemarahan.
“Terserah kamu. Percuma juga,” balas Shanum, berusaha santai menghadapi Divi agar tidak ikut terpancing emosi.
“Baik.” Divi tersenyum kesal melihat respons Shanum. “Kalau begitu, aku akan membawa Denis bersamaku,” tutur Divi.
“Kamu tidak bisa membawanya. Sampai kapanpun kamu tidak bisa membawanya karena dia bukan anakmu. Iya, Denis anakku dan Kayl. Dia benar dilahirkan waktu itu dan dibantu oleh Dokter Zahra, tetapi itu bukan anakmu,” ucap Shanum, berbohong.
“Maksudmu, kamu sudah bersama pria itu sejak lama ketika kamu masih terikat hubungan denganku?” tanya Divi, berusaha tenang saat berbicara.
“Benar.”
Plakk!
Divi tidak bisa menahan diri, tangannya menampar pipi kanan Shanum. Itu pertama kalinya pria itu bermain tangan terhadap Shanum.
Perlahan Shanum mendongak, menoleh, dan menatap Divi dengan mata membesar marah dalam kebisuan. Tingkah kasar Divi membuatnya kaget, benar-benar kaget.
Ekspresi marah Divi memudar, menunjukkan perasaan merasa bersalah dan menyesal karena tidak bisa menahan emosi dan melampiaskannya dengan menampar wanita itu. Perlahan Divi hendak mendaratkan tangan ke pipi yang tadi di tampar sambil mengucapkan kata maaf.
“Maaf,” ucap Divi.
“Jangan sentuh aku.” Shanum menepis tangan Divi.
“Aku tidak bermaksud begitu. Aku … aku benar-benar tidak bisa mengendalikan emosi. Coba kamu pikir, ketika itu aku selalu sibuk bekerja demi kita, tapi kamu malah meninggalkanku demi pria yang menawarimu uang dua ratus juta. Jika kamu berada di posisiku, tidakkah kamu merasa hancur mengetahui itu? Lukaku sangat dalam saat itu karena aku sangat mencintaimu, kamu juga tau itu.” Divi berusaha memberikan pengertian dengan kemarahannya yang muncul agar Shanum bisa memahami posisinya saat ini. “Aku tidak bermaksud menamparmu, aku tidak bisa menahan emosiku. Aku minta maaf,” ucap Divi, melunak.
Kotak P3K di ambil dari laci mobil. Divi mengambil obat oles, mengoleskannya ke pipi Shanum yang sedikit merah.
“Perkataanmu tadi tidak benar, kan? Denis adalah putra kita, kan?” tanya Divi dengan penuh harap.
Sejenak Shanum diam.
“Benar,” balas Shanum sambil mengangkat kepala yang tertunduk, menatap wajah Divi.
“Keluar!” usir Divi, spontan.
Shanum membuka pintu mobil, keluar dari sana dengan senang hati karena ingin menghindari perdebatan bersama Divi, begitupun dengan pria itu sebenarnya. Jika Shanum masih berada di sampingnya, takutnya kembali tidak bisa menahan emosi.
Divi mengemudikan mobilnya meninggalkan keberadaan Shanum dalam suasana hati marah sama seperti yang dirasakan Shanum.
***
Shanum duduk di taman rumah sakit sambil memandangi langit malam yang terang benderang oleh sinar bintang bersatu dengan bulan bersama perasaan lelah yang mengusiknya. Bukan lelah karena bekerja, pikirannya dihantui oleh masalah tadi.
“Ini.” Talita menyodorkan sebotol minuman sambil duduk di samping Shanum.
“Jika ada masalah, cerita sama aku. Sejak tadi aku ragu untuk bertanya, kamu kenapa? Kamu dan Dokter Divi juga jadi perbincangan sekarang. Benarkah kamu mantan istri Dokter Divi?” tanya Talita, akhirnya mengunggah pertanyaan itu kepada Shanum setelah ragu untuk bertanya sejak tadi.
Kayl muncul, berdiri di hadapan Shanum. Talita berdiri, menganggukkan kepala kepala Kayl, dan meninggalkan mereka karena merasa tidak enak hati berada di antara mereka. Bergantian Kayl yang duduk di posisi Talita tadi.
“Kenapa? Berdebat lagi bersama pria itu? Aku tidak sengaja mendengar pembicaraan beberapa orang, katanya kalian bertengkar,” ucap Kayl sambil mengingat ada dua perawat yang didengarnya di lobi rumah sakit tengah membicarakan mereka.
“Lupakan. Aku lelah memikirkannya. Antar aku kembali ke rumah.” Shanum sambil berdiri, berjalan meninggalkan taman diikuti oleh Kayl dari belakang.
Langkah Shanum melambat setelah melihat Divi dan Milka memeluk tangan kanan pria itu, mereka berpapasan di halaman rumah sakit. Divi memalingkan muka dengan raut wajah dingin bersama kedua kakinya terus melangkah sampai melewati keberadaan Shanum.
“Dokter Divi, kondisi Dokter Marta memburuk,” ucap seorang perawat yang baru menghampiri Divi dan Milka di teras rumah sakit.
Kaki Shanum berhenti melangkah dan menoleh ke belakang setelah menangkap suara perawat itu berbicara. Kedua bola matanya menyaksikan Divi bergegas masuk ke gedung rumah sakit dengan kecemasan sampai mengabaikan Milka, melepaskan pelukan tangan wanita itu.
“Ada apa?” tanya Kayl, tahu Shanum fokus pada Divi.
“Tunggu aku di mobil, ada barang yang tertinggal.” Shanum menepis bahu Kayl dan bergegas kembali memasuki rumah sakit.
Perawat, Divi, dan Milka diikuti Shanum diam-diam. Mereka dibiarkan memasuki lift terlebih dahulu.
Shanum cukup lama menunggu mereka di luar kamar Marta sampai akhirnya Medina datang. Bergegas Shanum sembunyi, memasuki salah satu ruangan yang bersebelahan dengan kamar Marta, itu ruangan penyimpanan. Shanum kembali menunggu dan sesekali memantau pintu kamar Marta dari pintu ruangan yang dimasukinya, kepalanya keluar dari pintu ruangan itu dan melihat Divi, Milka, Medina, dan perawat tadi keluar dari kamar Marta.
“Mama tidak menduga kalau papamu mengidap kanker paru-paru. Bisa-bisanya dia menyembunyikannya dari Mama,” kata Medina dengan kesal.
“Aku mengerti mengapa Papa melakukan itu. Papa tidak mau kita khawatir, terutama Mama. Jadi, Mama tidak perlu mengkhawatirkan. Aku akan memantau selalu kondisi Papa,” ucap Divi sambil mengelus bahu kanan Medina, berusaha menenangkan perasaan sang ibu. “Milka, ajak Mama kembali ke rumah,” ucap Divi.
“Iya.” Milka menganggukkan kepala dan merangkul bahu Medina, mengajak wanita paruh baya itu menuju lift.
“Ternyata benar dugaanku, Papa menyembunyikan penyakitnya dan dirawat di ruangan VIP itu tanpa sepengetahuan keluarganya,” kata Shanum, dalam hati.
Shanum menutup pintu ruangan itu dan menyandarkan punggung ke pintu sambil memutar memori, mengingat dirinya pernah melihat Marta dipapah masuk oleh salah satu dokter ke kamar itu. Bukan hanya surat keterangan kesehatan Marta saja, hal itu yang mendukungnya yakin kalau ayah dari mantan suaminya itu benar tidak baik-baik saja.
Tubuh Shanum terdorong ke depan setelah seseorang mendorong pintu ruangan itu, membukanya. Wanita itu hampir terjatuh karena kaki kirinya terkilir. Untungnya kaki kanannya bisa menahan berat badannya dan bisa kembali berdiri. Perlahan Shanum memutar badan ke belakang, menatap hening orang yang berdiri di depan pintu bagian luar, orang yang tadi mendorong pintu tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments