Bu Sarah, Done

“Abbas ih! Udah gue bilang cepetan datengnya jangan sampe gue tunggu sendirian! Serem gilak siang-siang bunyi jangkrik!!” teman Abbas, pemuda berambut ikal dengan wajah agak mirip dengan Regi tapi versi ‘jantan’, sama-sama blasteran, menghampiri Abbas sambil mengeplak kepalanya.

“Jangkriknya ketawa nggak? Kalo nggak berarti masih aman.” Kata Abbas cekikikan.

“Jangan sompral di TKP, bego!”  Lalu pemuda itu terdiam saat melihat Regi. Ia menatap Regi dari atas ke bawah, terus ke atas lagi dan ke bawah lagi. “Saya nggak bakal dipecat kan habis ini?”

“Lo kenal Boss gue?” tanya Abbas.

“Tahu doang sih, kan gue liat data. Sebelum di Garnet, bapak ini kerja di Beaufort. Kerjanya mecat-mecatin orang.” Kata teman Abbas.

Regi tersenyum dengan bangganya. Kredibilitasnya sudah dikenal, suatu pujian baginya.

“Jangan-jangan yang barusan gue lakuin buat lo tadi juga salah satu misi pemecatan?” desis si pemuda sambil mengernyit.

“Penyortiran kinerja.” Ralat Regi. “Istilah ‘dipecat’ terlalu kasar untuk saya. Disortir, kalau kinerjanya masih sesuai standar ya dipertahankan, kalau tidak ya diminta mengundurkan diri.”

“Kalau tidak mau mengundurkan diri?”

“Dimutasi ke cabang terpencil jauh dari anak istri.”

“Kalau tidak mau juga?”

“Langsung SP3, Gaji dikurangi setara OB, tidak dapat asuransi dari kantor, mendapat rekomendasi buruk dari perusahaan yang akan sangat berdampak kalau ia mencari pekerjaan di perusahaan lain.” Kata Regi lugas.

“Oh... buat anak muda kayak kita nggak ngaruh ya tapi kalau memang tulang punggung keluarga pasti berpengaruh sekali.”  Kata teman si Abbas.

“Nama kamu siapa?”

“Meneer, eh, Damian. Damian Cakra.”

“Bapak kamu namanya Kevin Cakra bukan? Manajer juga kayak saya tapi dia di Amethys kan?”

“Eeeeh...” Meneer ragu-ragu menjawab.

“Menyalahi peraturan loh anak magang masih keluarga, satu kantor pula. Dikira saya nggak tahu SOP di Amethys ya?”

Meneer sembunyi di belakang Abbas.

“Tapi karena kamu lumayan membantu, saya bersedia tutup mulut kok.” Kata Regi selanjutnya. “Kita membutuhkan generasi muda yang suka bekerja keras seperti kamu dan Abbas. Yang nggak gengsian untuk bekerja walau pun harus masuk lumpur demi perusahaan.”

“Se-se-serius ini?”

“Iya.”

“Kalau dia sudah bilang iya, itu berarti beneran Iya, Neer.” Bisik Abbas.

“Puji Tuhan...” gumam Meneer.

“Kamu turunan apa? Tampang kamu unik.”

“Eeeh, Netherlands.” Desis Meneer.

“Oooh makanya kamu dipanggil Meneer ya.”

“Tampang Pak Regi juga beda.”

“Ibu saya setengah Swedia.”

“Saya Uyghur.” Kata Abbas.

“Nggak tanya.” Jawab Regi dan Meneer berbarengan.

Jadi mulailah mereka menganalisa data yang berhasil di backup dan mencocokkan berbagai kemungkinan yang terjadi.

“Dana masuk ditotal sekitar 100 miliar lebih... cocok dengan selisih nominal deposito yang di sistem kami dengan yang di laporan rekening koran.” Kata Regi.

“Kesimpulannya apa Mas?” tanya Abbas.

“Bu Sarah menggunakan uang nasabah kita untuk biaya pengangkatan suaminya sebagai anggota parpol. Mungkin untuk dana kampanye.  Caranya mengumpulkan uang adalah Nasabah menyetorkan dana ke rekening pribadi beliau dengan janji akan didepositokan melalui Garnet Bank, lalu ia bikin sertifikat palsu. Padahal yang disetorkan ke bank hanya setengahnya.”

“Yang begitu bisa dipenjara lagi dong Pak?” tanya Meneer.

“Kalau kita perkarakan biayanya besar, kecuali Pak Sebastian bersedia keluar duit banyak.”

“Yang waktu itu Hari Fadil ditangkap kan bisa Pak, kali ini bisa juga dong harusnya?”

“Prosesnya waktu dulu itu panjang sekali loh, bisa satu novel sendiri. Dan lagi nyawa saya bisa ikut terancam kalau saya tuntut ke pengadilan. Pak Sebastian pengawalnya buanyak, ratusan. Lah saya... boro-boro dikawal, teman saja nggak punya.”

“Aku temanmu Mas...” Abbas menepuk-nepuk punggung Regi.

“Kolega. Kita kenal karena asas saling menguntungkan.” Ralat Regi.

“Tuh kan, bukan gue yang nggak mau temenan sama doi, dia sendiri yang bikin tembok gede di sekelilingnya.” Bisik Abbas ke Meneer.

“Efek disakitin berulang kali itu Bas,” bisik Meneer ke Abbas.

“Kalian terbiasa membicarakan orang lain langsung di depan orangnya ya?”

“Biar nggak gibah Mas.”

“Nyindir cara halus ya?”

Abbas dan Meneer sama-sama menyeringai.

“Terus bagaimana ini Mas rencananya? Kerugian yang dialami Bank tidak sedikit.” Tanya Abbas.

“Hm... ada satu cara sih.” Regi tersenyum licik, “Cara yang lebih bagus dibandingkan menuntut pengembalian seluruh dana kerugian.”

“Apa itu?”

“Menuntut balas budi.”

“Hah?”

****

“HAHAHAHAHA!! Sudah Kena diaaaa!” yang sedang tertawa sumringah ini adalah Pak Sebastian Bataragunadi. Si Owner Garnet Grup, Induk Perusahan Garnet Bank. Aset Triliunan Pakai Dollar ya bukan Rupiah lagi. Tahun ini usia Pak Sebastian menginjak 85 tahun, namun badannya tampak masih tegap dan sehat dengan janggut panjang putihnya dan rambutnya yang ditata klimis ke belakang. Gentleman sejati.

Ia adalah Kakak Ipar Pak Dimas. Mereka tinggal serumah, jadi sudah pasti Pak Dimas saat ini juga ada di situ.

Alasan Sarah Fadil masih bekerja di Garnet grup salah satunya juga karena Pak Sebastian ingin Hari Fadil berhutang budi padanya. Jadi bisa disuruh-suruh. Dulunya Pak Hari ini kenal dengan banyak mafia, terutama dari Jepang. Yang melaporkannya sehingga dia di penjara karena kasus narkoboy pun Pak Sebastian sendiri, tentunya dengan bantuan orang dalam. Tapi di lain pihak, Pak Sebastian butuh  Hari Fadil untuk memperluas pasarnya ke negeri sakura. Garnet Grup sudah bisa menjangkau pemerintahnya, namun terkendala dengan pihak preman yang menguasai jalanan. Yakuza.

Saat itu Pak Felix juga dipanggil ke kediaman Bataragunadi, jadi di sana semua menatap Regi dengan sinis. Kecuali Pak Sebastian yang berbinar-binar.

“Data sudah kami cek ulang. Tapi belum saya laporkan ke manajemen. Saya juga sudah menghubungi pihak-pihak yang dirugikan, bukti sudah saya dokumentasikan, berbentuk Pesan Singkat dan rekaman suara dari nasabah. Tapi saya belum bilang ke nasabahnya kalau mereka sedang terlibat kasus penggelapan dana oleh Bu Sarah.” Kata Regi.

“Bagaimana sih kamu Dimas?! Kamu itu Presdir Loh. C-E-OOOOOOOO. Masa yang kayak gini luput dari pemeriksaan kamu haaaah?! Malah ketemunya sama Regi si anak ingusan yang ansos pulaaaa!” Pak Sebastian menunjuk-nunjuk pipi Pak Dimas.

“Yang masih ingin Sarah Fadil kerja di sini itu sapa...” gerutu Pak Dimas pelan.

“Masukin saja si Dimas ini ke daftar yang dipecat! Kerjanya ngebantah teroooos!” seru Pak Sebastian.

“Alhamdulilaaaaah,” desis Pak Dimas sambil meraup mukanya. “Akhirnya bisa liburan semaunya tanpa ngajuin Memo Internal.”

“Felix!” seru Pak Sebastian.

“Ya Pakde?” desis Felix agak malas.

“Panggil Alex dan Idris! Kita meeting untuk pertemuan dengan Hari Fadil! Sekalian konsep untuk buka 10 cabang di Jepang dan China!”

“Pakde yakin sekali Hari Fadil mau bergabung.”

“100 miliar terlalu banyak kalau dia mau ganti pakai uang. Kalau sampai dia tak ganti, dia akan saya tuntut, seluruh dunia akan tahu. Sudah tidak mungkin lagi bagi dia untuk masuk ke partai mana pun dan tidk bisa menarik investor dari mana pun Satu-satunya jalan kalau mau istrinya bisa tetap beli barang branded adalah bekerja untuk saya, HAHAHAHAHAH!!”  sahut Pak Sebastian.

“Lalu bagaimana dengan Sarah?”

“Kita sudah tak butuh dia. Terserah kalian saja mau diapakan.” Pak Sebastian melambaikan tangannya dan masuk ke kamarnya. Dibilang kamar sih tidak tepat juga, karena luas ‘kamarnya’ 400m2.

Dan setelah itu suasana lebih hening, karena mereka bertiga sibuk lihat-lihatan.

Setelah 2 menit saling diam akhirnya Pak Dimas buka suara.

“Karena setelah hampir 30 tahun bekerja di Garnet Bank akhirnya saya bebas dari Bu Sarah, jadi Yaaaah, saya terpaksa harus mengucapkan... Terima Kasih ya Regi. Kamu membebaskan saya.” Kata Pak Dimas.

“Ck.” Pak Felix berdecak sebal.

Regi pun beralih menatap Pak Felix, pandangannya mengisyaratkan kalau Pak Felix harus berbicara sesuatu padanya.

Pak Felix pun sambil mencibir dan ogah-ogahan hanya bilang. “Mulai sekarang terserah kamu. Saya cabut persyaratannya. Kamu bisa tetap bekerja walau pun tidak mencapai 6 orang dalam 6 bulan. Karena di sini saya bakal cuan banyak kalau sampai kita buka cabang di China.”

Regi tersenyum simpul sambil mengangguk-angguk.

“Ngomong-ngomong...” desis Pak Dimas sambil mengelus-elus dagunya. “Siapa sih yang ngasih daftar orang-orang bermasalah ke kamu?”

Regi pun mengernyit. “Loh? Saya kira itu dari Pak Dimas?”

“Bukan. Saya malah nggak tahu ada daftar itu.”

“Pak Sebastian cuma bilang kalau saya setiap hari bertemu dengan si Pemberi Daftar. Karena Pak Dimas adalah adik ipar Pak Sebastian, saya pikir Daftar itu dari Bapak.”

Pak Felix melipat kedua tangannya di depan dada, memikirkan nama-nama orang yang mungkin saja terlibat. “Setiap hari bertemu kita jadi satu kantor dengan kita, tapi kenal sama Pak Sebastian? Selain kita yang pernah bertemu dengan Pak Sebastian itu... heeem... Bukan Abbas kan ya?” tanya Pak Felix.

“Nggak mungkin sih Pak, dia butuh instruksi saya untuk bergerak.”

“Oooooh...” Pak Felix tersenyum licik.

Regi kehilangan senyumnya. Sadar kalau ia baru saja keceplosan.

“Astaga...” desisnya menyadari kesalahannya.

“Bisa juga kepancing ya kamu Regi.” Kekeh Pak felix.

“Abbas juga terlibat?” Pak Dimas melotot. “Abbas si OB anak magang yang anaknya David Yudha tapi harus kita rahasiakan itu? Dia kroni kamu Gi?!” seru Pak Dimas.

“Ya nggak mungkin saya kerja sendirian dong Pak.”

“Kalau ada Abbas pasti ada Meneer dan kawan-kawannya?!”

“Yaaa, iya sih Pak, saya tadi siang baru bertemu dengan yang namanya Meneer.”

“Penerus kita itu Mas... Sudah mulai berani berkubang di selokan. Jadi terharu ya,” desis Pak Felix.

“Abbas sampai terluka berdarah-darah waktu menguak kasus Bu Sarah ini Pak.”

“Wah wah... naikin gajinya lah. Potong saja dari gajinya si Regi buat lemburan, khehehe.” Kekeh Pak Felix sambil memutar-mutar kunci mobilnya dan berpamitan untuk melaksanakan instruksi Pak Sebastian.

Regi hanya mencibir menatap punggung Pak Felix yang menghilang di balik pintu.

“Ngantuk, sudah sana kamu pulang dulu. Hati-hati sama satu lagi penyusup.” Pak Dimas mengibas-kibaskan tangannya.

“Ya makanya saya dibantu dong sedikit, ini kan juga hilirnya ke kantong kalian berdua juga, saya sih Cuma terima Take Home Pay saja!” gerutu Regi.

“Bagaimana mau bantu, kamunya saja nggak kasih tahu daftarnya.”

“Kalau dikasih tahu pasti Pak Dimas dan Pak Felix protes ini itu dan menyortirnya lagi. Karena kalian kenal lama dengan target dan sudah ada ikatan batin jadi bisa-bisa nggak tega. Makanya saya yang disuruh yang belum kenal siapa-siapa. Ini kesempatan Pak Dimas buat cuci tangan kalau mereka di-resign-kan.”

“Iya deh, nanti kalau kamu nikah, saya yang tanggung biayanya. Tapi maksimal 300juta ya. Tabungan saya di pegang istri soalnya.”

“Kalau... saya menikah?”

“Iya. Biaya pernikahan itu besar loh. Lagian kan kamu sudah punya rumah sendiri, mobil sendiri, tabungan hari tua sudah ada. Yang belum punya tinggal biaya nikah kan?”

“Itu sih...” Regi tidak melanjutkan kalimatnya. Membayangkan ia menikah saja rasanya langsung merinding dan berdebar-debar.

Tapi entah bagaimana, wajah Ratu langsung terbayang di benaknya.

Terpopuler

Comments

☠⏤͟͟͞R_𝐀𝖙𝖎𝖓🦋𝐙⃝🦜

☠⏤͟͟͞R_𝐀𝖙𝖎𝖓🦋𝐙⃝🦜

Wkwkwkwk wajah ratu yang langsung kebayang

2024-05-18

0

Mieya Ayank Dea

Mieya Ayank Dea

rstu anaknya sena ga sih

2024-05-12

0

Tyaga

Tyaga

🤣🤣🤣🤣 keren itu Gi
beda dari yg lain

2024-05-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!