Betrayal

Jason merasa tersentuh saat melihat mata Cindy yang bergetar, menunjukkan keinginan dan cinta yang kuat terhadap Alvian. Namun, di dalam hatinya, ia merasa tidak tega melihat gadis itu terjebak dalam hubungan yang beracun. Jason ingin membebaskan Cindy dari jeratan cinta yang salah dan semakin membelenggunya.

"Dia sudah membuatmu meneteskan air mata begitu saja, Cindy. Apakah kamu benar-benar ingin menemui pria sialan itu?" tanya Jason dengan nada yang penuh emosi. Cindy mengangguk, meyakini bahwa Jason tidak akan mengabulkan permintaannya.

"Ya, Pak, saya mohon. Jika memang Anda ingin menikahi saya, biarkan saya bertemu dengannya walau hanya sekali. Jika tidak, mungkin saya bisa gila," ucap Cindy, air matanya tak terbendung lagi, menetes begitu saja. Jason merasa tak tega melihat kelemahan gadis di hadapannya.

Jason mencoba menghapus air mata Cindy dengan lembut menggunakan jempol tangannya. "Baiklah, jika itu yang kamu inginkan," jawab Jason sambil mengangguk. Cindy refleks merangkulnya dengan hangat.

"Terima kasih, Pak, atas pengertiannya," ucap Cindy, matanya berbinar. Jason mengecup pucuk kepala Cindy dengan lembut.

"Ya, sama-sama," balas Jason. Cindy melepas dekapan dan mencoba memahami keinginan Jason untuk mempersuntingnya.

"Pak, bukankah Anda tidak tertarik dengan cinta? Mengapa sekarang berubah?" tanya Cindy, membuat Jason tertawa.

"Hahaha... Ya, memang, saya tidak tertarik dengan urusan cinta-cintaan, tapi... Saya penasaran denganmu," jawab Jason, memberikan petunjuk pada Cindy. Gadis itu dengan cepat merespons.

"Berarti Anda hanya nafsu," ucap Cindy, membuat Jason bergeming, tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut.

"Sudah, jangan banyak bicara. Sana tidur!" perintah Jason, ingin Cindy mendapatkan istirahat yang cukup.

Cindy masuk ke kamarnya dan membersihkan diri sebelum mengenakan piyama. Perasaannya campur aduk, terus memikirkan Alvian sambil mempertimbangkan keinginan Jason untuk menikahinya. Cindy duduk di atas tempat tidur, memeluk bantal dan meremas-remas kain tebal yang menutupi separuh tubuhnya.

"Tuhan, aku harus bagaimana? Jika Alvian mengetahui semuanya, aku bisa kehilangannya. Aku tidak siap kehilangannya, Tuhan," gumam Cindy, terperangkap dalam kekacauan pikiran. "Jason mungkin lebih unggul dari Alvian dalam hal materi, tapi... Aku tidak melihat cinta dari harta, fisik, atau hal-hal semacam itu. Aku mencintai Alvian apa adanya, meski dia memiliki banyak kekurangan," lanjutnya, kemudian menyambar ponsel, namun tidak ada pesan balasan atau panggilan dari Alvian.

"Mungkinkah aku harus menghubunginya?" Cindy yang bingung mencoba menelepon Alvian. Setelah beberapa saat, panggilannya tidak diangkat. Namun, ia sama sekali tidak menyerah, mencoba menghubunginya lagi sampai tiga kali.

"Al, kamu ada di mana? Apa kamu baik-baik saja di sana? Apa kamu tidak merindukanku?" Cindy bertanya-tanya dalam hatinya, semakin terguncang dengan setumpuk pertanyaan yang tak terjawab.

Malam berganti menjadi pagi, Cindy menghabiskan waktu tanpa tidur, terlalu larut dalam pemikirannya tentang Alvian. Cahaya matahari merayapi ruangan melalui celah-celah tirai yang memang sengaja tidak ditutup rapat.

Dengan wajah pucat, Cindy membuka tirai dan jendela untuk membiarkan udara pagi masuk, mencoba mencari kesegaran dalam kepenatan yang ia rasakan.

Tiba-tiba, ia mendengar ketukan pelan di balik pintu. Yakin itu adalah Jason, Cindy segera bangkit dan membukanya.

"Selamat pagi, Pak," sapa gadis tersebut dengan senyum manis.

"Kenapa wajahmu begitu pucat? Apa semalam kamu tidak tidur?" tanya Jason dengan penuh perhatian, seolah-olah ia tahu betul bagaimana Cindy menghabiskan malamnya.

"Hmm... Saya tidak bisa tidur," jawab Cindy. Jason mengangguk dan tiba-tiba meraih pergelangan tangan Cindy dengan lembut.

"Ayo, temani saya sarapan," ajaknya. Cindy mengangguk dan mengikuti langkah Jason keluar kamar, tetapi pria itu tidak melepaskan genggaman tangannya.

Jason semakin mendekat pada Cindy, melingkarkan tangannya di pinggang gadis itu saat mereka berjalan beriringan. Genggaman dan sentuhan itu memberikan rasa hangat dan perlindungan pada Cindy, menghilangkan sedikit dari beban pikirannya.

Mereka tiba di ruang makan, di mana Jason dengan perhatian membuat hamburger untuk Cindy, mengetahui bahwa ia tidak makan makanan berat sepanjang hari kemarin. Aroma daging dan lemak yang terpanggang mulai tercium di udara. Jason juga menyiapkan roti sayuran dan tambahan lainnya, sementara Cindy duduk manis menunggu tanpa ekspresi, pikirannya terbang pada Alvian yang tak tahu kabarnya.

"Kamu harus makan yang cukup," imbuhnya sambil sibuk dengan masakannya. Cindy memberi sedikit respon dengan anggukan agar tidak mengecewakan Jason.

"Iya, Pak."

"Sebaiknya jangan panggil saya 'Pak'," kata Jason yang merasa hubungannya dengan Cindy semakin intens.

"Lalu, saya harus memanggil apa?" tanya Cindy, mengernyitkan keningnya, bingung.

"Panggil 'sayang', 'Honey', atau 'Baobei'." Jason memberikan opsi, membuat Cindy gugup. Meskipun Jason tidak pernah menyatakan cinta secara terang-terangan, sikap hangatnya menunjukkan ketertarikan terhadap Cindy, meski terlalu gengsi untuk mengakui.

Cindy tertunduk, menatap meja dengan cemas. "Hmm... I-iya, sa-sayang," ucapnya gugup, mengucapkan panggilan itu untuk pertama kali. Jason tersenyum, merasa senang dengan keputusannya.

"Good girl," balas Jason, merasa puas. Tiba-tiba, terdengar suara bel. Jason segera melihat siapa yang datang melalui ponselnya, karena bel di pintu utama dilengkapi dengan kamera kecil yang terhubung langsung dengan ponselnya.

"Ah, tunggu sebentar, ada teman saya yang datang." Jason mengelus sejenak pucuk kepalanya. Cindy mengangguk, menunggu dengan sabar. Jason menghampiri pintu untuk menyambut tamu tersebut.

"Will, tumben kamu datang pagi-pagi?" tanya Jason saat Willy tiba.

"Ada perlu," jawab Willy enteng.

"Ya sudah, masuklah!" ajak Jason mempersilahkan sahabat baiknya itu. Willy duduk di sofa, sementara Jason duduk di seberangnya.

"Jas, sedari tadi aku perhatikan, kamu senyum-senyum terus. Biasanya wajah kamu selalu asem," cemooh Willy dengan santai. Jason tersenyum melihat tingkahnya.

"Memangnya kenapa? Begini salah, begitu juga salah. Aku ini memang selalu salah di mata kamu!" balas Jason dengan candaan, suasana menjadi ceria di antara kedua pria tampan itu.

"Jas, aku mau pinjam mobil kamu lagi buat jalan sama Karina," pinta Willy, mengungkapkan alasan sebenarnya datang.

"Selalu saja begitu," cibir Jason, mengetahui Karina selalu menuntut Willy untuk selalu tampil berbeda setiap pertemuan.

"Boleh ya?" desak Willy, mengetahui Jason memiliki koleksi mobil mewah yang sangat banyak.

"Ya, terserahmu saja!" jawab Jason. Mereka berjalan menuju garasi, di mana beberapa kendaraan mewah berbaris dengan rapih.

Pilihan Willy jatuh pada mobil sport merah Ferrari 488 GTB. Jason melepas kunci mobil tersebut dan memberikannya kepada Willy.

"Jaga baik-baik, ya," ucap Jason sambil tersenyum. Willy dengan senang hati menerima kunci mobil tersebut, lalu bersiap-siap untuk pergi bersama Karina.

Setelah mendapat restu dari Jason, Willy membawa mobil Ferrari keluar dari halaman mewah mansion. Ia bersiul gembira di sepanjang jalan sambil menyetir menuju kediaman Karina.

"Karina pasti bangga kalau dia lihat aku ganti mobil lagi," batin Willy. Saat tiba di tempat tujuan, ia melihat Karina keluar dari gerbang rumah, sudah tampil cantik dengan pakaian yang sangat minim.

"Dia mau kemana? Kok gak kabari aku kalau dia mau pergi? Biasanya dia suka minta antar aku." Willy terdiam sejenak, mengamati gerak-gerik wanita tersebut dari dalam mobil.

Tanpa disadari Karina, Willy terus mengawasi ketika menghampiri mobil lain tanpa memberi tahu Willy tentang kepergiannya.

"Aku harus membuntutinya!" pikir Willy, lalu menginjak pedal gas ketika mobil yang ditumpangi Karina melaju.

Jantung Willy berdegup kencang, dicampuri rasa penasaran, amarah, dan cemburu yang memenuhi hatinya. Ia yakin bahwa seseorang yang berada di mobil itu adalah seorang pria, dan memiliki intuisi kuat bahwa Karina sedang mengkhianatinya, padahal mereka hanya satu minggu lagi akan menggelar pernikahan.

"Ah, berengsek!" pekik Willy, laju kendaraannya terhenti di sebuah gedung tua yang terbengkalai. Ia melihat Karina turun dari mobil yang terparkir di semak-semak, membuatnya harus berpikir keras tentang langkah selanjutnya.

Karina diikuti oleh seorang pria berperawakan bule yang keluar dari sisi lain mobil.

Yang lebih mencengangkan, ternyata bukan hanya mereka berdua, tetapi ada dua pria lain di jok penumpang, ketiga pria tersebut sepertinya orang asing.

"Astaga, apa yang akan mereka lakukan di tempat seperti ini?" gumam Willy, keluar dari mobil dan mengendap-ngendap mengikuti mereka.

Karina dan ketiga pria asing itu melangkah ke dalam gedung tua tersebut, Willy terus mengikuti tanpa membuat suara. Sampai mereka tiba di sebuah kamar, terdengar tawa dan kalimat candaan kotor yang mereka lontarkan.

"We'll pound you from the front, back, top, and bottom," ucap salah satu pria bule tersebut dengan tawa yang menjijikan saat memandangi tubuh Karina.

"I don't mind, as long as the payment is right," balas wanita tersebut sembari melingkarkan kedua tangan di leher pria tersebut,

Sementara yang lainnya terlihat tengah menyiapkan sebuah kamera seolah-olah mereka hendak melakukan pengambilan gambar atau adegan. Karina dan pria bule itu mengenakan topeng untuk menutupi mata mereka agar identitas tetap terjaga.

"Kita mulai, ya," teriak salah satu pria yang berperan sebagai kameramen, sementara pria lainnya mengatur lampu kamera dan pencahayaan, serta memberikan arahan.

Tidak perlu ditanya seberapa hancurnya perasaan Willy saat itu, melihat calon istrinya melakukan adegan menjijikan dengan pria asing. Ekspresi wajahnya memendam kekecewaan, cemburu, dan amarah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Hatinya sudah pasti terluka, seakan dunianya runtuh dalam sekejap. Dalam diam, ia merasakan sakit yang begitu dalam, kesetiaannya diuji tanpa ampun, tetapi ia merasa perbuatan Karina tak patut untuk di ampuni.

Semua harapan, impian, dan cinta yang telah ia tanamkan untuk masa depan bersama Karina benar-benar hancur berantakan. Wajahnya pucat, mata terbelalak, tubuh gemetar tanpa kendali. Ia merasa ditipu, dikhianati, dan dihancurkan oleh orang yang selama ini ia kasihi dan percayai.

"Kurang ajar kamu, Karin!"

...

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!