Business rival

Dengan langkah ringan dan hati yang lapang, Cindy pulang setelah dagangannya laris manis. Saat berjalan, dia berpapasan dengan Alvian.

"Yang, kamu habis dari mana?" tanya Alvian pura-pura simpati, membuat langkah Cindy terhenti.

"Habis jualan kue," jawab Cindy sambil sejenak duduk di kursi taman untuk meredakan lelahnya dan mengusap rintik keringat di dahinya, karena cuaca sangat terik pada pagi menuju siang. Matahari semakin merangkak naik.

"Hmmm... Suntuk ya," kata Alvian, mengetahui bahwa Cindy telah mendapat uang dari hasil penjualan kue. "Jalan yuk!" ajaknya tanpa ragu. Mendengar hal itu, mata Cindy berbinar, karena sudah beberapa bulan mereka jarang berkencan.

"Ayo!" ajak Cindy dengan sangat antusias.

Alvian pun memperlihatkan film terbaru di layar ponselnya.

"Kita ke bioskop yuk!" ajak Alvian, dan Cindy mengangguk setuju.

Hingga mereka sepakat untuk berangkat pada sore hari nanti. Alvian mengantar Cindy sampai depan rumah.

"Aku pulang dulu, yah," pamit pemuda tersebut. Cindy mengangguk, tetapi Alvian menggerakkan telunjuk dan jempolnya, pertanda bahwa ia membutuhkan uang.

"Ah elah, Al, kamu itu. Uang yang kemarin aku transfer masa sudah habis?" protes Cindy kesal atas ulah kekasihnya tersebut.

"Cepe aja kok, buat rokok," pinta Alvian tanpa mempedulikan keluhan Cindy.

Dengan terpaksa, gadis itu memberikan selembar uang merah kepada Alvian. Pria itu mencium uang tersebut dan tersenyum.

"Makasih sayang, nanti sore dandan yang cantik ya," godanya. Cindy memutar kedua matanya jengkel, tetapi ia sangat mencintai pria itu. Sulit baginya jika harus kehilangan cinta dari Alvian, karena ia adalah cinta pertama bagi Cindy.

Sayup terdengar suara yang akrab di telinga Cindy mengindikasikan kedatangan sang paman. Ketika masuk, ia melihat sang paman sedang mengobrol dengan istri dan putrinya, Cindy pun membenarkan dugaan.

Martin melihat Cindy menenteng kotak makanan, wajahnya tampak lelah dan lusuh. "Cindy, kemari," kata Martin, memberikan tempat duduk untuknya.

Gadis itu mengangguk hormat lalu duduk di samping Martin.

"Kenapa kamu tidak bekerja di kantor lagi?" tanya Martin penuh perhatian, sementara Feny dan Tia menunjukkan ekspresi sinis.

"Hmm, anu Om..." Cindy menceritakan permasalahan di kantornya, membuat Martin merasa iba. "Ya, itulah mengapa, aku berjualan kue, tapi aku bersyukur, banyak yang suka kue buatanku, sekarang saja sudah habis," jelas Cindy, membuat Martin bangga padanya.

Di hadapan Martin, Tia dan Feny berpura-pura baik, meskipun sebenarnya Feny bukanlah putri kandung Martin. Martin menikahi janda yang memiliki seorang anak, dan ia menerima Feny dengan baik.

"Wah, kamu sangat pintar, sayang," puji Tia dengan pura-pura peduli, disusul oleh Feny.

"Aku salut sama kamu, Cindy. Selain cantik dan pintar, kamu jago bikin kue, dan masakan kamu juga enak-enak," ujar Feny dengan senyum yang dipaksakan.

Cindy hanya tersenyum miring pada mereka berdua, menyadari bahwa itu hanyalah akting untuk terlihat berkesan di hadapan Martin.

Semakin lama, Cindy semakin muak dengan akting Tia dan Feny. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Martin, ia beranjak dari duduknya.

"Aku permisi dulu ya, gerah mau mandi dan istirahat," ucapnya, diangguki oleh Martin. Cindy menuju ke dalam kamar setelah menyimpan box makanan di tempatnya. Di sana, ia mengeluarkan sejumlah uang hasil penjualan dengan rasa syukur untuk hari ini. Namun, sejenak ia teringat pada seseorang yang memberikan uang banyak saat membeli kuenya. "Kok ada orang sebaik dia," batin Cindy heran tentang sosok misterius itu.

Segera, ia menepis dan menganggap ini sebagai rezeki dari Tuhan. Ia juga harus membeli bahan-bahan untuk jualan besok, sehingga menghitung modal usahanya, sambil menyisihkan sebagian sebagai tabungan. Saat berdiri di depan meja rias, ia melihat alat make-upnya sebagian sudah mengering dan habis.

"Aduh, aku harus beli yang baru," keluhnya, ia pun memutuskan untuk berbelanja kebutuhan saat berkencan dengan Alvian nanti sore.

Setelah istirahat, Cindy harus pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan jualan.

"Om, aku boleh pinjam mobil? Aku mau ke pasar," izinnya, Martin mengangguk, tetapi tidak dengan Tia.

"Pah, mobil mu kan baru saja aku cuci, kalau di pakai ke pasar nanti kotor dan bau," kata Tia mencoba mempengaruhi Martin.

Cindy menghela nafas dalam-dalam, tak ingin berdebat dengan sang Tante, ia mencoba untuk mengalah.

"Loh motor kamu mana, Cin?" tanya Martin, Cindy harus berbohong karena motor itu sudah dijual oleh Tia dan Feny.

"Masih di bengkel Om, kemarin aku jatuh," alasan Cindy, Martin tampak prihatin mendengarnya.

"Oh, kamu jatuh, tapi syukur kalau kamu tidak sampai celaka. Kalau motor kan gak masalah, toh masih bisa diperbaiki," tutur Martin, Tia mencoba untuk menyudahi interaksi mereka.

...

Di tempat yang berbeda...

Di sela-sela kesibukannya, Jason terus membayangkan rasa kue yang ia beli dari Cindy. Rasanya begitu memikat, membuatnya ingin mencicipinya lagi.

"Aku tidak menyangka, dia bisa bikin kue seenak itu, rasa dan tampilannya gak kalah sama kue yang ada di restoran mewah. Tapi... Apa memang dia yang bikin? Ah, pasti bukan dia!" sangkalnya, merasa tak yakin.

Jason kembali fokus pada pekerjaan, matanya menatap monitor yang terang benderang. Jemarinya lincah bergerak, beradu dengan keyboard, menciptakan suasana kesibukan di ruangan pribadinya yang super mewah.

Sambil menganalisis data penjualan produk QiXiN Grup di Indonesia, Jason merasa tertekan. "Sepertinya produk pembersih lantai ini memiliki saingan, padahal aku yang memiliki ide mencampur 2 aroma yang berbeda," keluhnya saat mengetahui perusahaan sebelah juga membuat terobosan yang sama.

"Hmm... Ya pasti akan selalu seperti itu," lanjutnya berpikir. Baginya, produk yang sukses selalu akan memiliki saingan, meski ide itu berasal dari dirinya.

Jason mengeluh sambil membandingkan wafer krim coklat dari QiXiN Grup dengan merek dari perusahaan sebelah. Ia juga membandingkan tingkat minat konsumen terhadap keduanya. "Tetap saja, konsumen yang cerdas memilih produk dari QiXiN Grup, yang jelas-jelas lebih berkualitas dan tak diragukan lagi," katanya sambil tersenyum puas.

Ketika Jason membaca komentar di media sosial, ada salah satu akun yang memprovokasi produk QiXiN Grup.

"Aku jadi ragu, kira-kira produk makanan produksi QiXiN Grup ini halal apa tidak, secara kan bekerja sama dengan Negara C," ucap akun tersebut, diikuti ribuan komentar negatif lainnya yang meragukan kehalalan produk QiXiN Grup.

Hal itu memantik emosi Jason, yang sudah jelas memiliki sertifikat kehalalan dan telah lulus seleksi. "Sembarang dia mempengaruhi orang-orang, siapa dia? Berani-beraninya!" gerutunya emosi. Bahkan, ada yang meminta produk QiXiN Grup untuk boikot.

Namun, semua itu tidak akan berpengaruh sama sekali pada QiXiN Grup, sebuah perusahaan raksasa di Asia yang produknya telah mencapai seluruh penjuru dunia. Siapa yang tidak mengenal produk QiXiN Grup yang telah berdiri sejak tahun 1955. Pendirinya adalah Liu Xin Meng, kakek dari Jason, seorang warga Tionghoa yang menikah dengan wanita pribumi dan memiliki keluarga di Indonesia. Kekayaannya sangat melimpah, dan kini Jason meneruskan jabatan ayahnya setelah pensiun, menggantikan sang kakek yang sudah lama wafat.

Jason tersenyum sinis membaca komentar-komentar para haters tersebut. Ia yakin salah satu dari mereka pasti saingannya yang ingin menjatuhkan citra QiXiN Grup.

"Percuma kamu koar-koar, toh yang suka tetap beli, emangnya ngaruh?" gumam Jason sambil menggelengkan kepala. Sore itu, ia memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya. Dengan langkah mantap, Jason membuka blazer dan mengendorkan dasinya. Ruangan tersebut dilengkapi dengan fasilitas mewah seperti tempat kebugaran pribadi, ruang KTV, tempat tidur super mewah, dan kolam renang, menjadikannya seperti penthouse pribadi. Tanpa ragu, Jason membuka seluruh pakaian dan membenamkan diri dalam jacuzzi, menikmati kesendirian dan kemewahan ruangannya.

Sambil berendam dalam jacuzzi, Jason menikmati segelas wine yang ia teguk perlahan. "Ah, nikmatnya," gumam Jason, terlalu asyik dengan kesendirian dan kemewahan yang dimilikinya, sehingga ia lupa bahwa ia harus mencari seorang pasangan hidup.

Meskipun ayah dan ibunya tidak mempermasalahkan status Jason, karena dia adalah anak tunggal dari pasangan Wendy Liu dan Hana Zhao. Mereka saat ini menetap di Shenzen, Tiongkok, sementara Jason tinggal di Indonesia bersama saudara-saudaranya yang lain, mereka tersebar di kota-kota yang berbeda. Jason sudah terbiasa hidup mandiri sejak kecil, karena didikan keras keluarganya.

Meski hidup dalam kemewahan, sejak kecil Jason diajarkan untuk menjalankan bisnis kecil-kecilan. Hal ini merupakan bagian dari tradisi turun-temurun yang mengharuskannya menjadi pribadi yang mandiri dan tahan banting. Hal ini selalu ditekankan oleh leluhurnya, meskipun ia hidup bergelimang harta.

...

Setelah puas memanjakan diri, Jason segera berpakaian dengan celana pendek berwarna putih, kemeja biru, dan kacamata hitam yang menjadi andalan. Tubuhnya yang tinggi dan atletis membuatnya menjadi pusat perhatian saat berjalan.

Ia menyambangi sebuah mall yang memiliki super market besar, dan memasuki super market tersebut untuk mengecek produknya di sana.

Di sisi lain, tanpa sengaja ia berpapasan dengan Cindy yang sedang mendorong troli belanjaan. Ujung troli itu mengenai belakang Jason, membuatnya menoleh dan membuka kacamata.

"Ha? Pak Jason." Cindy terkejut, begitu juga dengan Jason.

"Gak di mana-mana, kamu itu selalu ceroboh? Punya mata gak sih?" bentak Jason.

"Maaf Pak, saya benar-benar gak sengaja," ucap Cindy, menyadari kesalahannya karena sering melamun, kini ia terjebak dalam situasi yang menegangkan saat harus berhadapan dengan Jason.

Alvian mendekat sambil membawa barang-barang yang diambilnya dari rak, memperhatikan interaksi mereka. Ia meletakkan barang-barang itu ke dalam troli yang didorong Cindy.

"Kamu yang bayar semua!" celetuknya. Jason mengamati gerak-gerik Alvian dengan tatapan sinis di balik kacamata hitamnya.

"Jadi ini orang yang sudah menyerempet mobilku. Hmm... Badan kerempeng kaya ayam kalkun aja berani porotin pacarnya. Gak tahu malu banget sih!" batin Jason, terus mengawasi Alvian.

Alvian menyadari bahwa pria jangkung itu sedang memperhatikannya. "Helow, jangan lihatin aku begitu Mas! aku masih normal keleus!" cetusnya, memantik emosi dalam diri Jason.

...

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!