Jason Antonio, atau lebih akrab di sapa Jason Liu 刘杰森 (Liú Jiésēn)
Ia merupakan seorang pemimpin yang berpengalaman, mengemban tanggung jawab besar sebagai salah satu tokoh kunci di perusahaan FMCG terkemuka ini. Ia telah menjalin kemitraan strategis dengan perusahaan raksasa Tiongkok, membawa nama QiXin Grup merajai pasar global dengan produk makanan, kebersihan, dan kesehatan.
Di usianya yang sudah menginjak 30 tahun bukanlah penghalang bagi Jason untuk meraih keberhasilan.
Lulusan S3 Manajemen Bisnis dari Oxford University, ia membuktikan bahwa dedikasi dan kecerdasannya membawa kejayaan. Jason dikenal sebagai individu yang tegas, otoriter, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Sikapnya terhadap wanita terkesan dingin; ia tidak pernah terlibat dalam hubungan serius dan jarang terlihat berdekatan dengan lawan jenis. Karena alasan itulah, beberapa karyawan menganggap Jason tidak memiliki minat terhadap lawan jenis.
...
Setelah memastikan Cindy keluar dari area perusahaan, Jason mempertahankan senyum miring penuh ejekan.
"Dia terlalu polos dan lugu," gumamnya, lalu ia kembali duduk di kursi kebesarannya dengan tegap.
Tiba-tiba, Hermawan muncul untuk menyampaikan hal penting pada Jason yang berhubungan dengan dipecatnya Cindy.
"Permisi Pak," sapa pria berusia 34 tahun tersebut tertunduk sopan.
"Masuk dan duduklah!" titah Jason dengan penuh ketegasan.
Segera Hermawan mendaratkan bokongnya di kursi yang berhadapan langsung dengan sang presdir.
Ia memberi tahu bahwa Cindy baru saja meminjam uang perusahaan.
"Apa?" Jason kembali bangkit dari duduknya. Biarpun nominal yang Cindy pinjam mungkin tidak seberapa bagi Jason, namun, baginya yang selalu menghitung rugi, ia tak akan meloloskan Cindy begitu saja.
Segera ia menghubungi Cindy kembali, tak ingin uang yang dipinjam hangus begitu saja, atau resikonya data diri Cindy akan menjadi buruk, ia akan kesulitan mencari pekerjaan dan mendapat kepercayaan dari orang lain.
Ketika berada di dalam taksi, ponsel Cindy bergetar, ia melihat nama Jason Liu memanggilnya. Segera ia mengangkat panggilan itu dengan jemari yang bergetar.
"Halo Pak, ada apa?" tanya Cindy dari telpon.
"Kamu meminjam uang perusahaan tanpa memberi tahu saya! Kamu harus mengembalikan uang itu dalam tempo 3 hari! Saya tidak mau tahu!" pinta Jason tegas di setiap tutur katanya, membuat jantung Cindy seperti genderang perang.
"A-apa? Selama 3 hari? Tapi, Pak itu terlalu cepat, sedangkan saya belum mendapat pekerjaan lain," kata Cindy, ini seperti mimpi buruk dalam hidupnya.
"Saya tidak mau tahu, kalau tidak kamu akan terima konsekuensinya. Paham?"
Cindy mengangguk lemah, meski ia sadar Jason tak akan bisa melihat pergerakannya.
"I-iya Pak, akan saya usahakan," ucapnya dengan suara gemetar, tak yakin.
Cindy merasa heran, mengapa ia mendapat kesialan bertubi-tubi selama 2 hari ini. Ketika taksi itu sampai di depan gerbang, ia keluar setelah membayar sambil membawa box yang berisi beberapa perlengkapan kantornya. Sementara di dalam rumah, sang Tante dan sepupunya malah asyik membuat konten. Mereka berjoget riang di depan kamera, karena sang Paman sedang sibuk di luar kota sebagai seorang guru SMA.
Cindy menggeleng melihat tingkah laku mereka yang pemalas, doyan menghamburkan uang. Mereka bahkan membiarkan beberapa barang-barang kotor menumpuk jika tidak Cindy yang mengerjakannya.
"Astaga!" pekiknya. Tia dan Feny melirik ke arah gadis itu.
"Cindy, kenapa kamu sudah pulang jam segini?" bentak Tia bertanya dengan tajam.
"Apa, jangan-jangan kamu dipecat?" timpal Feny dengan senyum sinis.
Cindy tak tahu harus mengatakan apa pada mereka, ia pun tertunduk lesu sambil menggenggam box barang-barangnya.
"Ayo ngaku! Kamu pasti habis dipecat, kan?" goda Feny. Cindy mengangguk pelan.
"I-iya, Fen, sebenarnya aku baru saja dipecat gara-gara Alvian yang menyerempet mobil bosku," imbuhnya. Mendengar hal itu, Tia murka, ia menyoroti wajah tak berdaya sang ponakan dengan tajam.
"Apa? Dipecat? Itu artinya kamu tidak bisa memberikan kami uang? Ah! Itu tidak bisa! Kamu harus mencari pekerjaan lain yang bisa menghasilkan uang yang sangat banyak!" cerocos Tia tanpa berperasaan.
"Kamu ada uang lagi gak?" pinta Tia tanpa mempedulikan kondisi Cindy saat ini. Gadis itu menggeleng, uang yang ia pinjam dari perusahaan sudah ia transfer sebagian kepada orangtuanya, sedangkan sisanya akan ia gunakan untuk modal usaha.
"Jangan bohong! Masa, si Alvian kamu kasih, sedangkan sama kami pelit. Ingat! Kamu ini hanya numpang di sini!" kata Feny, ucapan itu membuat Cindy heran.
"Dari mana Feny tahu kalau aku sering meminjamkan uang sama Alvian?" Ia terdiam, karena untuk melawan hanya akan percuma, Feny dan Ibunya terlalu licik.
"Cepetan, gak usah bohong!" desak Tia. Feny dengan kasar merampas tas saudara sepupunya tersebut, dan mengambil ponsel Cindy.
"Apa password nya? Cepetan buka!" desak Feny, Cindy dengan terpaksa memberikan sejumlah sisa uang di ATMnya, ia transfer ke rekening Tia. Ia tak tahu bagaimana nasib besok atau lusa, ia hanya akan menyerahkan semuanya pada takdir.
"Aku benar-benar pasrah, Tuhan!" gumamnya, melangkah lunglai menuju kamar. Beberapa temannya kerap kali memberi nasihat agar Cindy tinggal sendiri, tetapi ia tak enak pada sang paman, jika ia meminta untuk tunggal berpisah, pasti akan di tuduh yang bukan-bukan.
Ingin bebas dari pantauan mereka. Ini sangat menyulitkan bagi Cindy sebagai seorang perantau. "Apa yang musti aku lakukan?" batinnya berkeluh kesah. "Apa aku harus minta bantuan sama Alvian?"
Cindy bergegas ke bengkel milik ayah Alvian, mencari Alvian dengan penuh harapan.
"Om, Alvian ada?" tanyanya ramah kepada Hilfan, yang sibuk mereparasi mobil pasiennya.
"Baru saja pergi," jawab Hilfan. Cindy mengangguk, yakin Alvian pasti sedang di arena perjudian temannya.
Dengan hati berdebar, Cindy melangkah ke rumah Billy. Tepat seperti dugaannya, Alvian sedang sibuk ngehost secara live, atau live streaming gambling, ia fokus pada layar komputer yang dilengkapi kamera. Ia dan komplotannya tengah asyik bermain game yang sudah akrab di telinga masyarakat, sebuah game yang melibatkan judi dengan menggunakan uang.
Cindy mendekati pria itu, sementara Alvian sibuk menjawab komentar-komentar pengikutnya.
"Ya gais, aku lagi pengen, kira-kira siapa yang mau melayaniku?" tanya Alvian seperti orang yang sedang mabuk saat menjawab komentar lewat ucapan, sementara yang menonton live streaming-nya kebanyakan wanita.
"Ah, aku mau dong."
"Astaga Koh Alvian, aku mau juga dong, mending sama aku aja, aku pintar goyang di jamin kamu puas."
"Kira-kira udah ada yang punya belum Koh? Aku boleh daftar, kan?" Itulah komentar dari para penggemar wanita.
Cindy berada di belakang Alvian, membaca komentar-komentar tersebut dengan emosi bercampur.
"Koh, di belakangmu siapa tuh?" komentar seseorang, membuat pemuda itu menoleh ke arah Cindy.
"Ngapain kamu di sini?"
"Harusnya aku yang tanya, kamu malah asyik-asyikan main judi sama balesin komentar cewe-cewe itu!" sentak Cindy, Alvian menyeret pergelangan tangan gadis itu ke arah lain.
"Kamu gak usah ganggu aku, aku lagi sibuk!" kata Alvian, memantik emosi Cindy.
"Sibuk apaan? Kamu harusnya cari kerja yang pasti Al! Kerjaan kamu nge game mulu, judi mulu, bagaimana masa depan kita? Kamu harus pikirkan itu!" cerocos Cindy, ia hampir saja putus asa, kedua matanya memerah.
"Alah, diam kamu, gak usah ikut campur!" Alvian kembali menuju ke kursi gaming nya.
Cindy mengikuti. "Al, tunggu!" teriaknya, tetapi Alvian tak menggubris sama sekali.
"Udah deh, sebaiknya kamu pulang, jangan gangguin aku!" usirnya.
"Tapi Al, aku butuh kamu, dan aku juga butuh uang, aku baru saja dipecat!"
Alvian yang hendak mengenakan kembali earphonenya, seketika terhenti saat mendengar penuturan Cindy.
"Oh ya? Jadi, kamu gak ada penghasilan lagi, dong?" tanya pemuda tersebut seakan tanpa empati.
Cindy menggeleng sembari sesegukan.
"Iya, makannya aku mau pinjam uang aku yang ada di kamu buat modal usaha," pintanya memohon, Alvian tersenyum kecut.
"Hah? Usaha apa? Ternak anak kodok?" ledeknya, membuat hati Cindy semakin hancur dan terluka, ia merasa percuma meminta pada Alvian, toh, ia tak akan mempedulikan keadaanya.
Cindy berjalan dengan langkah yang berat, batinnya dipenuhi dengan pertanyaan kepada dirinya sendiri, "Aku harus bagaimana, Tuhan?" Sementara itu, ia juga merenungkan bagaimana cara melunasi hutangnya kepada Jason.
"Oh ya, aku kan punya perhiasan, apa aku jual saja?" gumamnya mempertimbangkan, ia merasa buntu tak ada cara lain. Dengan hati yang berat, Cindy akhirnya memutuskan untuk menjual perhiasannya ke toko emas. Uang yang diperolehnya dari penjualan itu akan digunakan untuk membeli keperluan usaha.
Cindy memiliki bakat dalam membuat aneka kue dan dessert, dan ia berencana untuk mengembangkan bakatnya tersebut agar bisa mendapatkan penghasilan. Namun, uang yang diperolehnya dari penjualan perhiasan masih kurang untuk membayar hutang kepada Jason. Cindy hanya mampu mencicil sebesar 7 juta rupiah, dan ia merasa beban hutangnya semakin menghimpit.
Pagi itu, Cindy bersiap-siap untuk menjajakan kue buatannya menggunakan kotak makanan. Di sudut lain, Tia dan Feny tersenyum sinis.
"Cepat sana kerja! Biar bisa ngehasilin duit!" titah Tia dengan tajam. Cindy hanya bisa mengangguk, berusaha untuk tetap tegar meski hatinya teriris.
"Tante, Feny doakan aku ya, mudah-mudahan hari ini jualanku laris," kata Cindy penuh harap, berharap mendapatkan dukungan dari keluarganya. Namun, Tia dan Feny tidak berbuat apa-apa, bahkan Feny dengan kasarnya mendorong punggung Cindy.
"Aduh Fen, kamu itu!" pekik Cindy, merasa kesal dengan sikap Feny. Namun, tanpa menghiraukan celaan itu, Cindy melangkah ke luar dengan penuh harapan, berusaha keras untuk menjual kue-kue buatannya.
Di sisi lain, Feny dan ibunya terus uring-uringan. "Kalau cuma jualan kue mana bisa dia kasih kita uang yang banyak!" keluh Tia, merasa frustasi dengan keadaan mereka.
Feny punya ide jahat. "Ma, aku punya ide cemerlang," bisik Feny, membuat Tia tertarik dan mendekatkan telinga.
"Apa ide kamu?"
"Gimana kalau kita jual si Cindy, dia kan cantik, body... Lumayan lah, pasti harganya tinggi," bisik Feny dengan nada merayu, ia memiliki kenalan seorang mucikari terkenal di sebuah hiburan malam.
Tia mempertimbangkan ide jahat itu, tak peduli dengan nasib dan keselamatan Cindy. Yang ia pikirkan hanyalah uang, uang, dan uang.
Cindy berjalan di sepanjang jalan, sambil berteriak, "Kue... Kue... Kuenya Kak, Bu, Pak..." Suaranya bergema, menarik perhatian beberapa orang yang lewat.
"Ada kue apa saja?" tanya seorang remaja yang akan berangkat sekolah, tertarik dengan penawaran Cindy.
Cindy merasa memiliki pelanggan pertama. Ia tersenyum saat membuka kotaknya, memperlihatkan berbagai macam kue yang terlihat lezat dan beraroma butter serta keju yang kuat.
"Wah, kayanya enak nih," kata Daniel, tertarik dengan kue-kue yang ditawarkan Cindy.
Kue-kue yang ditawarkan Cindy antara lain:
- Red Velvet Cake
- Chocolate Brownies
- Blueberry Cheesecake
- Pandan Chiffon Cake
- Carrot Cake
Daniel membeli kelima jenis kue tersebut dan berniat untuk menguji rasanya kepada teman-temannya di sekolah.
"Makasih ya, Dek, sering-sering jajan sama kakak," kata Cindy, sambil tersenyum.
"Ya, kalau kakak lewat sini lagi, saya akan beli," jawab remaja SMA tersebut dengan ramah.
Setelah selesai bertransaksi, Cindy melangkah pergi. Saat lampu merah di jalan raya, dengan sigap dan tanpa rasa malu, Cindy menawarkan kue jualannya kepada semua pengendara. Beruntungnya, ia mendapat antusiasme positif, banyak yang menyukai kue-kue buatannya.
Pada saat itu, Jason tengah mengemudi dan melihat Cindy sibuk menjajakan kue di sekitar lampu merah. Ia melemparkan senyum sinis. "Hmm... Jadi penjual kue dia sekarang," gumamnya, meskipun ia tertarik untuk mencoba.
Jason membuka sedikit jendela mobilnya dan melambaikan tangan tanpa memperlihatkan wajahnya. Cindy mendekat, dan Jason memberikan isyarat bahwa ia akan membeli satu kue. Cindy mengangguk paham, dan dengan sigap memasukkan satu kue ke dalam plastik, lalu menyerahkannya pada Jason. Pria itu memberikan lima lembar uang besar, lalu pergi.
"Hei, uangnya kebanyakan!" teriak Cindy saat lampu hijau. Ia lupa masih berdiri di tengah jalan, menghalangi pengendara lain.
"Mbak, cari mati ya?" sindir pengendara motor.
Cindy segera menyadari kesalahannya dan dengan cepat bergerak ke trotoar, meminta maaf kepada pengendara lain yang terganggu. "Maaf, maaf, saya tidak sengaja," ucapnya dengan wajah memerah.
Jason masih skeptis tentang rasa kue yang dibelinya dari Cindy. "Pasti gak enak, kue murahan kaya gini," gumamnya dengan nada meragukan, sambil tetap fokus mengemudi.
Namun, begitu ia mencicipi kue itu, Jason terkejut dengan rasanya yang lezat dan menggugah selera. "Wow, ternyata enak juga," katanya terkejut, mengakui kesalahannya karena sudah berprasangka buruk.
...
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments