Japanese bread

Dengan hasrat yang membara, Jason membuka kedua kaki Cindy dan menekan jari telunjuknya pada kain segitiga milik gadis tersebut.

"Eh, tunggu," ucapnya, merasakan sedikit kelembapan. Ia menyingkap dress Cindy sedikit lebih tinggi, dan terkejut melihat noda merah. "Hei, milikmu berdarah," katanya, barulah gadis itu menyadari.

"Oh ya, saya sepertinya baru datang bulan, Pak," ucap Cindy sambil merapikan dressnya kembali. Jason tetap pada posisinya, merasa usahanya untuk menggagahi Cindy telah gagal.

"Pak, sebaiknya tidak usah seperti ini," ujar Cindy, bangkit dari berbaring, merasa Tuhan masih melindunginya.

Jason mengangguk, tidak ingin memaksakan hal tersebut hanya karena nafsu semata.

"Kenapa tidak pakai... hmm... Apa namanya?" Jason mencoba mengingat.

"Roti Jepang," jawab Cindy, membuat kening pria itu berkerut mendengar istilah tersebut.

"Ya, maksudnya itu, kenapa kamu tidak pakai?" tanya Jason kembali.

"Saya juga tidak tahu kalau hari ini jadwal tamu bulanan saya, karena saya pikir ini terlalu cepat dari biasanya," jelas Cindy, Jason hanya manggut.

"Jadi, kamu perlu roti?" tawar Jason, Cindy mengangguk, mengetahui mungkin di Mansion ini tidak menyediakan pembalut bagi wanita.

Segera Jason menghubungi salah satu pelayan pribadinya, dan memilih untuk menghubungi Rey.

"Halo Rey," sapanya di telepon, saat itu Rey sedang mengemudi sehabis melenyapkan jasad Awei.

"Ya, ada apa, Tuan?" tanya Rey dari sebrang telepon.

"Saya minta tolong, hmm..." Jason tampak ragu untuk mengatakannya, ia pun sedikit gugup dan canggung.

"Ya, katakan saja, Tuan," desak Rey, karena baru kali ini Jason bertele-tele, biasanya ia tegas dan to the point.

"Ehm... Tolong belikan itu..." kata Jason yang masih ragu mengatakannya.

"Itu apa, Tuan? Kok suaranya gugup begini? Apa Tuan baik-baik saja?" tanya Rey, Jason belum menjawab, hanya suara nafasnya saja yang tertangkap di telepon, dan seketika hening selama beberapa detik.

"Tuan..." seru Rey sedikit jengkel, sementara Jason merasa agak jengah untuk berucap kata.

"Tolong belikan Roti Jepang!" jawab Jason di akhir kalimat. Rey menggaruk kepalanya yang tidak gatal, agak bingung.

"Roti Jepang? Oh... Ya, mau rasa apa?" tawar Rey, berniat membeli di sebuah toko kue.

"Maksud saya bukan yang itu!" kilah Jason, merasa frustasi karena Rey tidak memahami.

"Kalau malam-malam begini, enaknya makan roti bakar, Tuan," Rey memberikan opsi. "Atau martabak, pasti Tuan akan suka," lanjutnya.

Jason berteriak geram. "Jangan bermain-main dengan saya!" bentaknya, berteriak. Rey terkejut, menjauhkan sejenak ponsel yang sedari tadi ia dekatkan ke telinga. Setelah itu, ia mendekatkan kembali untuk memahami maksud atasannya tersebut.

"Maaf, Tuan, saya tidak paham. Tadi Tuan minta saya belikan roti Jepang, kan? Tapi saya tanya mau rasa apa, malah marah. Sekarang saya tawarkan roti bakar atau martabak, malah semakin marah. Lalu saya harus bagaimana?" Rey hampir saja menangis, suara sesegukannya terdengar oleh Jason.

"Hmm... Maksud saya, pembalut, PEMBALUT, Rey! Paham?" Jason mempertegas ucapannya, membuat mulut Rey menganga lebar.

"Hah, pembalut? Untuk apa Tuan membeli itu?" tanya Rey, karena permintaan Jason amat aneh.

"Tidak usah banyak bertanya, lakukan tugasmu dengan cepat!" desak Jason. Rey menyetujui dan mengakhiri obrolan dengan segera, karena apapun perintah Jason harus mutlak, tak ada kalimat penolakan karena ia tak suka dengan penolakan.

Segera Rey membelokkan mobilnya ke sebuah mini market yang buka selama 24 jam, karena saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 12 tengah malam.

Saat itu sepi, tidak banyak pengunjung di sana, hanya beberapa dan satu orang kasir wanita. Rey melangkah ragu, dan kasir itu menyapa dengan ramah.

"Selamat malam, selamat berbelanja di StarMart," sapa kasir wanita itu ramah.

Rey memberikan senyuman tipis kepada kasir tersebut, dan melanjutkan langkahnya menyusuri lorong-lorong barang. Ia meraih satu pack pembalut wanita dengan tangan yang bergetar, merasa sedikit tersipu saat beberapa orang melihat ke arahnya, saling bisik, lalu tertawa kecil.

Rey menyadari tatapan dan cemooh mereka, namun ia memilih untuk pura-pura tidak memperdulikan dan melangkah pasti di depan mereka.

"Saya membelikan ini untuk istri saya. Memangnya aneh kalau ada pria yang membelikan pembalut untuk istrinya?" ucap Rey dengan mantap, mencoba memperlihatkan ketegasan walaupun hatinya sedikit gemetar.

Dua orang remaja wanita itu terdiam, mungkin terkejut dengan respons Rey. "Hehe... Berarti Om suami yang pengertian. Jarang-jarang ada laki-laki yang bersedia membelikan barang milik wanita, apa lagi pembalut," balas Valin, salah satu dari mereka, kini menatap Rey dengan kagum karena keberaniannya.

"Hehe, terimakasih, manis," kata Rey sambil melanjutkan langkahnya, merasa lega bisa mengatakan itu meski sebenarnya ia belum beristri dan masih jomblo.

Tanpa ingin berlama-lama di sana, Rey segera melakukan transaksi.

"Hanya ini saja, Pak? Tidak akan ditambah lainnya? Gak sekalian coklatnya, Pak? Lagi buy one get one, loh," cerocos kasir wanita tersebut, menawarkan dengan antusias. Rey menggeleng.

"Tidak, terima kasih," tolaknya dengan sopan.

"Baiklah, satu rupiahnya untuk disumbangkan ya, Pak. Terima kasih sudah berbelanja di sini," ucap kasir tersebut ramah sambil memberikan tas belanjaan kepada Rey, setelah pembayaran selesai.

Ia kembali ke dalam mobilnya, dan lagi-lagi mendapat panggilan dari Jason. Agak sedikit kesal, Rey mengangkat telepon. "Ya, Pak, saya lagi di jalan menuju ke sana," kata Rey, tampak tidak ada kesabaran dari gaya bicara Jason dari seberang.

"Kenapa lama sekali, sih? Cepat!" desak Jason. Rey segera mempercepat laju kendaraannya, karena pada malam hari jalanan tidak terlalu ramai. Hingga akhirnya, ia tiba di Mansion milik Jason, segera melangkahkan kakinya ke dalam.

Jason, saat mengetahui kedatangan Rey, membuka pintu dari jarak jauh menggunakan alat canggih berupa sensor pintu otomatis yang terhubung dengan sistem keamanan pintu rumahnya.

"Tuan..." seru Rey, Jason segera turun ke lantai utama menggunakan lift. "Ini pembalutnya, Tuan." Rey menyerahkan kantong berlogo StarMart kepada Jason.

Karena kesal, Jason menimpuk kepala Rey menggunakan kantong yang ia genggam. "Kalau disuruh itu, lakukan dengan cepat. Saya tidak suka menunggu terlalu lama, paham?" bentak Jason.

Rey tertunduk dan mengangguk. "I-iya, Tuan, saya minta maaf," ucapnya terbata.

"Sana pulang!" usir Jason setelah mendapat barang yang ia minta. Rey mengangguk, berbalik badan, dan melangkah keluar.

Jason kembali ke lantai dua untuk menemui Cindy yang masih berada di dalam kamarnya. "Ini Roti yang kamu butuhkan," ucap Jason, menyerahkan kantong itu kepada gadis tersebut.

"Terima kasih, Pak. Kamu begitu mengerti dengan apa yang saya butuhkan," balas Cindy sambil tersenyum manis.

"Cepat, ganti pakaianmu yang terkena darah dan tidurlah!" titah Jason. Ia membimbing Cindy untuk bangkit dari atas tempat tidur miliknya, dan mengantar ke kamarnya yang bersebelahan.

Ketika Cindy akan masuk ke dalam, Jason menarik pergelangan tangannya sehingga langkah kakinya terhenti. "Cindy, kira-kira berapa lama?" tanya Jason, membuat gadis itu mencerna sejenak pertanyaan tersebut.

"Maksud Bapak?" ia balik bertanya, sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. Jason menunjuk ke bawah, barulah Cindy mengerti dan mengangguk, sedikit canggung.

"Oh, ini... Biasanya suka satu minggu, Pak. Memangnya kenapa?" Cindy merasa dihadapkan dengan ketegangan dan was-was.

Jason mendekat dan berbisik halus. "Satu minggu lagi, persiapkan dirimu."

Gadis itu menelan ludah, merinding atas permintaan Jason yang mengharuskannya untuk melayani.

Gadis itu terisak, ingin mempertahankan kehormatannya.

"Kenapa malah menangis?" bentak Jason, kedua matanya membelalak tajam.

"Pak, tolong jangan lakukan itu! Saya ingin mempertahankan kesucian saya, hanya suami saya yang berhak," isak Cindy. Jason mengangguk paham.

"Soal itu, mudah saja, bagaimana kalau kita menikah?" tawar Jason, membuat isakan Cindy tersendat dan terhenti, kaget.

"Apa? Me-menikah?" tanya Cindy, sedikit menahan tawa tetapi masih ada kecanggungan yang menguasai.

"Ya, apa kita harus menikah dulu baru saya boleh melakukan denganmu?" Jason menempatkan satu tangan di dinding saat Cindy bersandar, tatapannya penuh ketulusan, gadis itu pun terpaku.

"Ta-tapi Pak, saya punya pacar, dan itu artinya saya tidak bisa menikah dengan Anda," tolak Cindy.

Jason tersenyum miring mendengar ucapannya. "Apa kamu masih ingin mempertahankan pacarmu yang miskin dan jelek itu? Saya rasa dia bukan pria yang baik untukmu. Saya juga masih ingat kejadian saat di bioskop, pacarmu itu malah bermesraan dengan wanita lain," kata Jason dengan tegas, membuat Cindy merenung sejenak.

Alvian adalah pria yang toxic, dan hubungan mereka tidak sehat, sering kali menyakiti hati Cindy.

Jason meraih dagu Cindy agar gadis itu menatapnya. "Tolong pikirkan itu baik-baik! Saya rasa mentalmu tidak akan sehat jika terus mempertahankan hubungan dengan pria itu!" Jason memperingatkan penuh ketegasan, Cindy hanya bisa menelan ludah, dalam pikirannya penuh pertimbangan.

"Tapi, saya ingin menemuinya sekali saja," pinta Cindy, ia benar-benar terjebak dalam dilema yang sulit untuk di kendalikan.

"Apa kamu bilang? Ingin menemuinya?" tanya Jason penuh ketidaksetujuan. Wajahnya menegang, mencerminkan ketegasan dalam mempertahankan pendiriannya.

...

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!