Mengikuti Mobil Sinta

Vira berdecak, merasa putus asa sekaligus merasa takut pada mereka. Untuk keluar rumah saja ia harus diawasi dan harus dikawal.

"Iya Kak. Doakan aku ya agar aku bisa selamat dan bisa melewati semua ini."

Bagas menganggukkan kepala.

"Lalu apa yang Kakak lalui semalam? Kenapa bisa jadi seperti ini?" tanya Vira.

"Saat Kakak menyorot kuburan kecil itu ada dua orang penjaga yang datang, Ra. Untung saja waktu itu kakak memakai penutup wajah sehingga mereka tidak bisa melihat wajah kakak yang tersorot senter."

"Lalu kakak mencoba lari, tetapi mereka melemparkan sebuah balok kayu yang mengenai punggung, sehingga membuat kakak terjatuh. Dengan terpaksa kakak melakukan perlawanan dengan melemparkan sebuah pisau kecil pada salah satu penjaga dan menancap tepat pada lehernya."

"Kakak terus berlari, ketika akan keluar tiba-tiba salah satu orang penjaga mengejar dan menembak. Untung saja tembakan itu meleset dan tidak mengenai Kakak." jawab Bagas panjang lebar.

"Penjaga gudang itu membawa senjata api, Kak?"

"Iya, entah dari mana mereka mendapatkan senjata itu. Yang jelas tidak sembarangan orang bisa memilikinya."

Vira menelan ludah, jika pengawalnya saja memiliki senjata api lalu bagaimana dengan tuannya? Berarti mereka benar-benar orang yang berbahaya.

"Orang itu berhenti menembak lalu ia melemparkan sebuah pisau kecil yang mengenai tangan kakak ini, beruntungnya pisau itu hanya menggores tidak menancap, Ra," ucap Bagas lagi sembari menunjukkan luka di tangannya.

"Kami juga sempat berkelahi dengan tangan kosong, tetapi untungnya Kakak berhasil melumpuhkannya. Tak lama kemudian ada anaknya Bu Yanti yang lewat mengendarai sepeda motor, dia menolong Kakak dan akhirnya membawa Kakak kesini," imbuhnya lagi.

"Alhamdulillah ya Ra, ada anaknya Bu Yanti. Kalau tidak mungkin anak buah mertuamu itu sudah menyusul dan mereka berhasil menangkap Kakak."

Vira mengangguk dan menatap kakaknya dengan tatapan iba.

"Maaf ya kak, karena aku Kakak jadi seperti ini," ucap Vira.

"Gak masalah Ra, kalau bukan Kakak yang melindungi kamu, siapa lagi? Sekarang kamu pulang ya dan jangan cerita apa-apa pada Mama. Kakak sudah berbohong padanya jika Kakak hanya pergi liburan saja. Kakak disini punya waktu dua minggu, jadi kita harus cepat bertindak," ucap Bagas sambil menggenggam tangan Vira.

"Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu. Jaga diri baik-baik ya, Kak. Dan ini uang untuk pegangan Kakak selama disini," ucap Vira sembari memberikan beberapa lembar uang.

"Makasih ya, Ra. Kebetulan Kakak nggak ada uang cash," ucapnya tersenyum.

"Iya Kak. Sama-sama."

Setelah berpamitan dengan Bu Yanti, Vira pun kembali menghampiri tukang ojek tadi yang sedang duduk disebuah warung sambil meminum secangkir kopi.

"Sudah, Neng?" tanya tukang ojek itu pada Vira.

"Sudah, Mas. Ayo kita pulang sekarang."

Vira pun pergi meninggalkan kampung ini. Rasa takut mulai timbul, bagaimana jika nanti Sinta dan Panji sudah di rumah dan mendapati dirinya tidak ada di rumah? Apa yang harus Vira katakan?

"Mas, kita ke gudang teh milik Bu Sinta dulu ya, saya akan bayar dua ratus ribu, jika mas mau?" ucap Vira.

"Siap, Neng. Kita kesana sekarang."

Motor pun melaju semakin kencang melewati jalanan terjal. Tubuh Vira terasa sakit terutama diarea bawah perut akibat terguncang.

"Jangan ngebut-ngebut ya Mas, saya baru beberapa hari lahiran soalnya belum selesai masa nifas," ucap Vira sambil menepuk punggung lelaki itu.

"Apa? Lahiran, Neng? Duh, kok tega habis lahiran bayinya sudah ditinggal-tinggal, apa tidak menangis?" tanya tukang ojek itu.

Memang seharusnya saat ini Vira di rumah menyusui dan merawat bayinya setiap saat. Vira sangat merindukan bayi yang sudah ia lahirkan saat itu, tetapi seperti apa wajahnya pun Vira tidak mengetahuinya.

"Anak saya sudah tidak ada, Mas." jawab Vira.

"Ohh..maaf Neng. Saya tidak tahu. Tetapi seharusnya istirahat dulu di rumah jangan naik motor seperti ini. Mana jalanan nya terjal begini, apa tidak sakit itu Neng perutnya?"

Vira hanya tersenyum, tentu saja saat ini ia menahan sakit yang terasa di sekujur tubuhnya.

"Memangnya tadi ngapain Neng, ke kampung Emas?"

"Jengukin kakak saya yang lagi sakit, Mas."

"Ohh, begitu ya Neng."

"Oh iya, Mas. Tahu tidak tentang keluarga Bu Sinta?" tanya Vira, siapa tahu ia bisa mendapatkan informasi tentang keluarga yang terkenal kaya raya itu dari tukang ojek ini

"Ohh.. tahu Neng. Memangnya ada apa?"

"Enggak apa-apa sih, Mas. Saya kagum saja rumahnya besar walaupun jauh dari permukiman warga. Emang dia punya usaha apa saja ya Mas selain punya perkebunan teh?" tanya Vira.

"Setahu saya sih cuma punya usaha perkebunan, Neng." jawabnya.

"Tapi yang punya perkebunan kan bukan cuma Bu Sinta Mas, kok bisa ya dia kaya raya begitu, mobilnya juga banyak, apalagi pengawalnya?" ucap Vira lagi.

"Ahhh...iya juga ya Neng," jawabnya seperti berpikir.

Vira terdiam, itu artinya orang sekitar tidak ada yang mengetahui jika ada beberapa wanita yang disekap didalam rumah itu. Pantas saja keluarga Panji membangun rumah itu jauh dari permukiman warga dan cenderung lebih dekat dengan hutan mungkin agar tak ada yang mengetahui bisnis gelap keluarga mereka.

"Sebentar lagi kita sampai, Neng."

"Berhenti disini saja, Mas." ujar Vira.

Vira hanya bisa menatap gudang itu dari kejauhan, lalu mengirimkan sebuah pesan pada suaminya.

(Kamu lagi apa, Mas? Aku bosan)

(Ini lagi kerja sayang, kalau bosan coba kamu buat camilan atau apa biar nanti Mas yang cobain) balasnya.

(Emm.. enggak ah, Mas. Aku lanjut baca novel saja).

(Terserah kamu saja, ya sudah Mas lanjut kerja dulu ya, sayang)

Vira mematikan data dengan lega, ternyata satu orang pun belum ada yang menyadari jika dirinya tak ada di rumah.

Sebuah mobil terlihat keluar dari area gudang itu, Vira yakin jika Panji juga ada didalam mobil itu.

"Mas, tolong ikuti mobil itu ya!"

"Lohh... Itu kan mobilnya Bu Sinta, Neng? Mau ngapain?"

Vira berdecak kesal, harusnya ia menyewa motor saja agar tukang ojek itu tak banyak bertanya seperti ini.

"Sudahlah Mas. Ikuti saja, saya kasih tiga ratus ribu deh buat masnya. Bagaimana?"

"Oh baiklah, Neng. Tapi bener ya tiga ratus ribu?"

"Iya bener, sudah cepat jalan!" jawab Vira kesal.

"Tapi ingat jalannya pelan-pelan saja jangan sampai kita ketahuan kalau kita mengikuti mereka," ucap Vira lagi.

"Siap, Neng."

Mobil melaju keluar dari daerah desa ini, menuju kearah kota. Banyak sekali kendaraan yang berlalu lalang, tetapi Vira merasa lega, dengan begini mereka tidak akan curiga bahwa ada yang mengikutinya.

Mobil berhenti didepan sebuah rumah makan yang lumayan ramai.

"Kiri-kiri, Mas. Tunggu disini ya, jangan kemana-mana!" titah Vira.

Tukang ojek itu pun hanya menganggukkan kepalanya.

Vira memesan dua porsi makanan, yang satu makan ditempat untuknya dan yang satu lagi ia bungkus untuk mas-mas tukang ojek itu.

Vira duduk tepat dibelakang Sinta, saat ini keduanya duduk saling membelakangi. Penampilan yang berbeda membuat mereka tak menyadari akan kehadiran dirinya.

"Mana ya, lama banget sih itu orang?" ucap Sinta.

Meski suasana bising oleh orang-orang tapi Vira masih bisa mendengar suara Sinta dengan begitu jelas.

"Sabar Bu. Mungkin sebentar lagi."

Nah itu dia suara Panji. Apa yang sebenarnya mereka lakukan disini?

--

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!