Pemakaman Bayi Vira

"Tutup mulutmu! Jangan mengada-ada kamu ya! Kamu itu bukan dokter jadi gak usah sok tahu!" bentak Vira sembari menatapnya nyalang.

"Aku sudah bilang untuk melahirkan di rumah sakit, tapi kenapa kalian melarangku, hah? Jika aku melahirkan di rumah sakit, anakku akan langsung ditangani oleh ahlinya dan pasti sekarang ia bisa selamat," ucap Vira sambil menatap Panji dan mertuanya.

"Kembalikan nyawa anakku! Kembalikan!!" teriak Vira dengan suara lantang.

Panji memeluk tubuh Vira dengan erat, ia berusaha untuk menenangkan Vira. Kini Vira melihat wajah Sinta yang menatapnya penuh kebencian, mengapa ia sudah tak bersikap manis seperti sebelumnya?

"Sabar sayang, sabar! Iklaskan kepergian anak kita, ya." ucap Panji sembari menciumi kening Vira.

Bagaimana Vira bisa sabar, sebelumnya anaknya itu baik-baik saja tapi kenapa sekarang tiba-tiba meninggal? Mana mungkin dia bisa ikhlas menerimanya begitu saja? Ini sungguh aneh.

"Anisa, suruh Heri menggali tanah di belakang ya! Untuk mengubur bayi ini!" suruh Sinta pada Anisa.

Vira melepas pelukan Panji, lalu menatap Sinta dengan tatapan tajam.

"Jangan kubur anakku!! Dia belum mati!!" bentak Vira.

Kewarasan seolah hilang dari diri Vira, rasa hormat terhadap mertuanya pun seolah lenyap begitu saja, dengan seenaknya dia ingin mengubur bayi Vira tanpa seizin dirinya.

"Sadar, Ra, sadar. Dia sudah mati!" jawab Sinta angkuh.

"Tidak!! Dia belum mati! Tadi dia sehat tapi sekarang kenapa bisa seperti ini? Kamu apakan anakku, hah!?" teriak Sinta tergugu.

Seperti kesetanan Vira berani membentak ibu mertuanya, yang jelas dia tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

"Ini lihat baik-baik bayimu, Ra! Gendong bayimu! Dia sudah tiada!"

Sinta memberikan bayi itu pada Vira. Vira pun tak kuasa menahan tangis menatap wajah bayinya yang terlihat begitu pucat.

Vira mendekatkan wajah, mencium bayinya untuk terakhir kalinya. Entah kenapa saat ia menciumnya, Vira mencium aroma karet ditubuh bayi mungil itu seperti plastik yang baru saja keluar dari sebuah pabrik.

"Sini sayang. Mas mau gendong,"

Selain ada aroma karet dan plastik, bayi itu juga terasa sangat ringan. Bahkan Panji saja begitu mudah untuk menggendongnya. Aneh sekali, bayi itu lebih mirip seperti boneka yang dibeli dipasaran.

"Kita harus kuat menerima kepergian anak ini dengan ikhlas dan lapang dada ya sayang." ucap Panji sembari memandang dan menciumi anak pertamanya itu.

Vira memejamkan mata, air matanya pun kian membanjiri pipi. Bagaimana bisa dia menerima kematian anak itu dengan mudah? Sementara tadi dia mendengar bayi itu menangis dengan kencang. Bukankah itu artinya bayi itu baik-baik saja?

Panji kembali memeluk Vira dengan begitu erat. Ia memang tak menangis sepertinya tapi Vira melihat jelas jika ada raut kesedihan di wajahnya.

****

Setelah matahari menampakkan sinarnya bayi Vira dikubur di halaman belakang. Kata Sinta agar bayi ini lebih dekat dengan keluarganya, makanya ia tak ingin mengubur cucu pertamanya ini di pemakaman umum. Yang membuat Vira heran, mengapa tak ada seorang pun yang datang untuk melayat?

Biasanya tetangga dan para kerabat akan datang melayat dan berbela sungkawa meski yang meninggal itu hanya seorang bayi yang baru lahir.

"Benarkah kamu pergi secepat ini, Nak? Rasanya Ibu tak percaya. Baru kemarin Ibu bermimpi menggendongmu dan menuntunmu untuk berjalan. Tapi sekarang kenapa kamu tinggalkan ibu?" ucap Vira menangis melihat gundukan tanah kecil itu.

"Sabar, sayang. Yang kuat, ya!" Panji memegang bahu Vira.

"Sudah ya, Ra. Sabar, iklaskan kepergiannya. Ibu masuk duluan ya,"

Vira melihat ke arah ibu mertuanya yang masuk kedalam, sepertinya Sinta sama sekali tak bersedih setelah kehilangan cucu pertamanya, terlihat jelas dari raut wajahnya itu. Berbeda dengan Mama Fatma yang terus menangis sejak ia datang bersama kakaknya, Bagas.

Ya, mereka memang datang setelah bayi ini dimasukkan kedalam liang lahat. Padahal sebelumnya Vira sudah memohon pada Sinta agar menunggu pihak keluarganya datang terlebih dahulu. Akan tetapi Sinta sangat keras kepala, ia ingin bayi itu segera dikuburkan dan Panji pun sepertinya tak berani membantah ucapan ibunya.

"Sabar ya, Vira. Insyaallah Allah akan memberikan anak lain yang lebih sholeh, sholehah sebagai penggantinya." Mama merangkul tubuh Vira, sedangkan Bagas hanya menatap Vira dengan tatapan iba.

"Bu, ada yang aneh dari kematian anakku. Ada aroma karet dan plastik pada tubuhnya."

Kali ini hanya ada Fatma, Bagas dan Vira didalam kamar. Sedangkan Panji dan Sinta sudah pergi entah kemana.

"Masa sih, Ra? Kok bisa anak yang baru lahir mempunyai aroma yang seperti itu? Kamu sih buru-buru banget nguburinnya, Mama kan juga mau lihat cucu pertama Mama."

"Itu dia, Ma. Ibu mertuaku yang menginginkan anakku segera dikuburkan dan Mas Panji juga sepertinya tidak berani membantah ucapannya," ucap Vira kesal sembari menyenderkan kepalanya ke ranjang.

"Kok gitu banget sih, mertuamu itu Ra. Itu kan juga cucu Mama. Kenapa Mama tidak diberi kesempatan untuk melihatnya?"

"Ini pasti ada sesuatu yang disembunyikan mereka." sahut Bagas.

"Maksud kamu?" tanya Fatma menoleh kearahnya.

"Pemakaman bayi ini terkesan sangat buru-buru. Terlebih tak ada satu orang pun yang datang melayat. Ini desa loh, tingkat keperdulian orang desa itu tinggi berbeda dengan di kota. Walaupun jauh dari permukiman warga harusnya ada satu atau dua orang yang datang untuk berbela sungkawa apalagi keluarga ini sudah banyak membantu perekonomian warga sekitar," jawab Bagas.

Vira juga memiliki pikiran yang sama dengan kakaknya, karena ia pun juga merasakan ada yang janggal dari kematian anaknya.

Apalagi Vira melahirkan hanya dibantu oleh Mak Sumi, seorang dukun beranak di desa ini. Kenapa ia tidak bicara pada para warga jika Bu Sinta orang paling kaya raya di desa ini sedang mendapatkan musibah?

"Iya juga ya, ini sangat aneh. Apa jangan-jangan bayimu dijadikan tumbal lagi sama keluarga ini," ucap Fatma.

Vira langsung menoleh dengan cepat.

"Masa iya sih, Ma?"

Vira merasa tidak percaya, selama tinggal disini pun Vira tak memiliki kecurigaan yang mengarah ke hal mistis, namun masih banyak misteri yang belum terpecahkan olehnya.

"Bisa saja kan, Ra. Apalagi mertuamu kaya raya seperti ini."

"Jangan nuduh yang tak ada bukti seperti itu, Ma. Begini, selama kamu tinggal disini apa ada hal yang mencurigakan, Ra? Misal ada yang mengarah ke hal-hal mistis?" tanya Bagas.

Vira pun menceritakan semua kejadian yang ia alami di rumah ini. Dari suara tangisan bayi dan teriakan wanita yang muncul dari gudang hingga para pembantu termasuk Anisa yang hamil tanpa suami.

Bagas pun tampak berpikir keras.

"Pasti ini ada sesuatu, bukan hal mistis tetapi ini sebuah kejahatan kriminal," sahut Bagas dengan yakin.

Sebenarnya Vira pun memikirkan hal yang sama, hanya saja ia tak memiliki cukup daya untuk mencari bukti-bukti yang kuat.

--

Terpopuler

Comments

Wina Yuliani

Wina Yuliani

gaskeunnnnn mas bagas 💪💪

2024-03-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!