Vira duduk di meja makan menikmati jajanan yang dibeli di warung tadi, setelah itu ia melihat Sinta keluar dari kamar Anisa diikuti dengan asisten rumah tangganya menuju dapur.
"Kamu sudah dari tadi, Ra?" tanya Sinta pada Vira sedikit terkejut, mungkin karena Sinta takut Vira mendengar pembicaraannya dengan Anisa.
"Baru saja kok, Bu." jawab Vira berbohong.
"Oh, ya sudah kalau gitu. Ibu keatas dulu ya Ra, ibu masih banyak kerjaan," ucap Sinta lalu beranjak naik ke atas menuju kamarnya.
"Kok gak istirahat, Mbak?" tanya Vira pada Anisa.
"Saya sudah baikan kok, Non." jawabnya lalu masuk menuju ke ruangan khusus menyetrika.
Vira meneguk air putih dingin dihadapannya hingga tandas dan menyusul Anisa ke ruang setrika.
"Ehh, ada apa, Non? Butuh sesuatu?" tanya Anisa.
"Mbak Anisa, sebenarnya lagi hamil kan?"
Anisa terkejut dengan pertanyaan Vira, Kemudian ia terlihat menghindari tatapan Vira.
"Aku sudah lihat loh, testpack yang diatas meja Mbak itu."
Anisa menoleh ke kanan dan ke kiri, ia terlihat sangat gugup setelah mendengar penuturan Vira.
"Siapa ayah dari bayi itu, Mbak? Kata Mas Panji, mbak masih lajang? Berarti mbak belum punya suami kan?"
Hening. Anisa hanya diam sambil tertunduk lesu. Dan Vira hanya memperhatikan Anisa yang tertunduk, entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Mbak, ayolah tatap wajahku dan ceritakan apa yang terjadi? Jangan samakan aku dengan ibu ketika kita sedang berbicara!"
Anisa menghirup nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Lalu ia menatap Vira dengan tatapan datar.
"Sebenarnya saya dengan nona itu sama, hanya saja nasib yang membedakan kita," jawabnya dengan tatapan sendu.
Setelah itu ia berbalik badan dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, Vira hanya diam memikirkan apa maksud dari ucapannya barusan.
"Maksudmu apa, Mbak? Nasib apa yang membedakan kita? Kalau bicara yang jelas dong!" ucap Vira sedikit membentak.
Anisa tak menjawab, ia tetap berkutat dengan pekerjaannya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Vira.
Vira pun merasa kesal lalu pergi meninggalkannya tanpa bicara lagi. Dia keluar melalui pintu belakang, lalu duduk bersandar disebuah kursi kayu sambil menikmati angin yang berhembus menerpa wajah.
Entah apa maksud dari ucapan Anisa, mengapa bisa dia mengatakan kalau kita ini sama, dan hanya nasib saja yang membedakan kita? Apa mungkin kita dihamili oleh laki-laki yang sama?
Entahlah terlalu banyak berfikir membuat pikiran Vira menjadi kacau.
Cukup lama Vira merenung, akhirnya ia kembali masuk kedalam. Di ruang tamu Vira melihat Panji yang sedang bersiap hendak pergi lagi.
"Aku mau ke perkebunan dulu ya, sayang."
Vira hanya mengangguk, padahal biasanya ia tak ingin ditinggal sendiri olehnya, tetapi sekarang rasanya mendadak biasa saja.
"Kamu tenang saja ya sayang, sebelum maghrib Mas sudah sampai rumah kok," ucapnya lagi sambil mengelus perut Vira.
"Iya, Mas."
Panji mengecup kening Vira sebelum ia beranjak pergi. Seharusnya Vira bahagia dengan perlakuan manisnya, tetapi mengapa sekarang rasanya ada sesuatu yang mengganjal?
Vira melangkahkan kakinya menuju kamar lalu menguncinya dari dalam, lalu ia membuka lemari besar milik suaminya itu.
"Semoga saja aku bisa menemukan bukti-bukti yang bisa aku gunakan untuk memecahkan misteri keluarga ini." gumam Vira.
Vira memandangi isi lemari itu, isinya hanya pakaian milik Panji dan pada laci bagian bawah terdapat beberapa tumpukan kertas serta dokumen-dokumen penting miliknya.
Dengan perlahan Vira berjongkok mencari sesuatu di antara tumpukan kertas itu, ia mencoba mencari bukti yang bisa ia gunakan untuk memecahkan teka-teki misteri keluarga ini.
Tak ada yang mencurigakan, hanya saja Vira menemukan desain bangunan rumah ini. Vira mengamati gambar itu, terdapat ruangan bawah tanah tepatnya berada dibelakang rumah ini dan pintunya ada di dalam gudang.
Pantas saja, waktu itu Vira mendengar suara teriakan wanita dan sebuah pukulan. Dan setelah ia cari tak kunjung menemukannya, bisa jadi asal suara itu dari dalam ruangan bawah tanah ini.
"Sebenarnya untuk apa ruangan bawah tanah ini, ya?" gumam Vira.
Vira menata dan memasukkan kembali berkas-berkas itu dengan rapi, kedalam laci lemari. Pandangannya beredar di sekeliling kamar ini, banyak sekali lemari besar serta laci-laci milik Vira dan Panji.
"Non Vira!"
Panggil Anisa sembari mengetuk pintu. Dengan segera ia pun membukakan pintunya.
"Ini Non. Baju-bajunya sudah selesai disetrika," ujarnya sembari memberikan setumpuk pakaian.
"Terimakasih. Oh iya, bisa minta tolong pijitin kaki saya nggak, Mbak?" tanya Vira.
"Bisa, Non."
"Ya sudah ayo masuk, Mbak."
Kali ini Vira harus bisa menggali informasi dari Anisa. Bagaimanapun caranya?
"Maaf Non. Di kamar saya saja, bagaimana? Saya tidak enak dengan Den Panji."
Dahi Vira mengernyit menatap wajahnya.
"Mas Panji tidak ada kok Mbak, dia sedang pergi ke perkebunan. Jadi disini saja ya," jelas Vira.
"Baik, Non."
Vira pun menyuruh Anisa masuk, ia memasukkan baju-baju yang sudah disetrika kedalam lemari. Sedangkan Vira mengambil minyak urut lalu duduk selonjoran diatas karpet bulu.
Anisa mulai memijat kaki Vira dengan lembut.
"Duh, bayiku nendang-nendang terus Mbak sampai sakit perutku."
Ia hanya menoleh dan tersenyum kearah Vira.
"Alhamdulillah, aktif ya Non bayinya."
"Iya, Mbak. Apalagi kalau diajak ngobrol papanya. Bayi ini sepertinya punya ikatan batin loh sama Mas Panji." ucap Vira berusaha memancing Anisa.
Anisa hanya diam sambil memijat kaki Vira, tak ada tanggapan darinya.
"Bagaimana dengan bayimu nanti, Mbak?" Kali ini ia menoleh menatap wajah Vira.
"Maksud Nona, apa?"
"Iya, bukankan kamu sedang hamil? Lalu bagaimana nasib bayimu ke depan, jika Mbak saja belum punya suami?" Anisa terdiam, menunduk seperti menahan tangis.
"Lagi pula setiap orang tua pasti akan hancur melihat anak yang mereka besarkan hamil diluar nikah," tambah Vira.
Vira melihat Anisa menghirup nafas dalam sembari menahan tangis. Sepertinya ucapan Vira barusan menyentuh relung hatinya.
"Beda lagi kalau hamil sesudah punya suami, orang tua pasti akan sangat bahagia, yang sebentar lagi akan menimang seorang cucu. Menurut mu bagaimana, Mbak?"
"Bayi ini juga sangat ditunggu kehadirannya, Non. Bahkan sudah sangat diharapkan oleh seseorang yang tamak dan serakah pada uang!" jawabnya dengan tatapan penuh amarah.
"Maksud Mbak, bayi yang ada dalam kandunganmu akan diuangkan, Mbak? Jadi maksudnya, Mbak hanya bertugas sebagai mesin pencetak anak saja?" tanya Vira dengan tatapan terkejut.
Sekarang mulai ada titik terang, bisa jadi ada seseorang yang memanfaatkan kehamilan Anisa untuk mencari keuntungan.
"Apa kaki Nona sudah enakan? Sekarang saya harus mengantar pakaian Nyonya ke kamarnya." Vira menatap wajah sendu Anisa, ada raut kesedihan yang sepertinya ia pendam selama ini.
"Ya pergilah. Terimakasih ya, Mbak."
Anisa menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar tanpa berbicara lagi.
Ada seseorang yang memanfaatkan kehamilan Anisa untuk sebuah kekayaan, ini aneh sekali. Tapi siapakah seseorang itu? Apa iya, yang dimaksud Anisa adalah Sinta, ibu mertua Vira?
--
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Iolanthe
Ngehubungin perasaan. 💔
2024-03-03
0