BAB 16 MISI YANG SAMAR

Akbar menghadap bapak. Di sana juga ada Bagus dan juga Pak Jan. Diterangkan bahwasanya misi Akbar kali adalah menjadi pelindung atau penjaga keamanan bagi Bagus dan Pak Jan dari ancaman gangguan-gangguan makhluk gaib yang usil. Pak Jan ditugasi oleh bapak untuk melarung sebuah pusaka yang dulu sempat menjadi senjata andalan bapak. Kenapa pusaka itu ingin bapak larung jawabannya adalah karena ia sudah tidak lagi memakainya dan tidak pula berkecimpung di dunia supranatural. Terlebih lagi pusaka itu justru akan menjadi biang petaka jika hanya disimpan di rumah saja. Bahkan bapak mengatakan pusaka itu juga menjadi salah satu sebab kekacauan yang di alami keluarga bapak yang baru kemarin terselesaikan itu. Bagus juga akan turut serta untuk menemani dalam perjalanan Pak Jan dan Akbar.

“Pusaka apa itu kalau boleh tahu Pak?”, tanya Akbar kepada bapak.

Bapak hanya terdiam.

“Sudah kamu tidak perlu tahu apa pusaka itu. Nanti kamu bisa tergoda”, Pak Jan menjawab pertanyaan Akbar.

“Baiklah kalau begitu”, jawab Akbar ragu.

Mereka bertiga akan berangkat melaksanakan misi itu tepat setelah lewat tengah malam. Mereka akan pergi ke Pantai Karang Taraje yang terletak di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak Banten. Di sanalah pusaka yang namanya dirahasiakan atau enggan diberitahukan kepada Akbar akan dilarung oleh Pak Jan.

Bagus mengemudikan mobil ditemani Akbar yang juga duduk di depan di sebelahnya. Sementara Pak Jan duduk di belakang dengan membawa pusaka yang ternyata ukurannya tidaklah besar itu. Pusaka itu dibungkus sebuah sapu tangan berwarna hitam yang sudah diamankan di kantong saku kemeja Pak Jan. Butuh setidaknya tiga jam untuk sampai dari Jakarta menuju ke Bayah di waktu malam hari dengan catatan jalanan nya sepi.

Dalam perjalanan ketiganya tidak ada yang terlalu banyak bicara. Mereka hanya fokus pada misinya kali ini beserta tugasnya masing-masing. Akbar waspada penuh. Ia tidak mau ada kecolongan jika dia lengah sedikit saja. Anehnya bagi Akbar adalah pengelihatan mata batinnya tidak bisa menembus benda pusaka berukuran kecil yang sedang dibawa oleh Pak Jan. Apakah karena sudah dilindungi agar tidak bisa terbaca dan mengundang energi-energi astral lainnya? Entahlah pikir Akbar.

Baru setengah perjalanan ketika mereka sudah memasuki area jalan utama. Tiba-tiba saja mobil yang mereka tunggangi mogok. Bagus begitu kaget kenapa mobil yang sudah disiapkannya dan diperiksanya lebih dari satu kali bisa berhenti di tengah jalan. Apakah ini ada hubungannya dengan hal gaib?

Bagus meminggirkan mobilnya. Suasana di jalan benar-benar sepi kala itu. Tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Bagus hendak keluar dari mobil untuk memeriksa apakah ada yang salah dari mobil yang dikendarainya itu.

“Sebaiknya jangan” kata Akbar.

“Sepertinya kita sedang di jalan yang berbeda”, lanjut Akbar.

“Maksudnya?”, tanya Bagus.

“Kita sedang ada di lintasan gaib. Mungkin sedang ada yang mau lewat. Kita tunggu saja di dalam mobil”, kata Pak Jan dengan santai.

Beberapa saat berselang setelah mereka bertiga menunggu dalam diam. Terdengar suara tetabuhan gamelan. Suara itu terdengar semakin jelas dan mendekat.

“Ingat. Tidak usah menoleh ke arah mereka”, perintah Pak Jan.

Rombongan orang-orang berpenampilan bak masa kerajaan zaman dulu melintas di depan mereka. Sebuah kereta kuda yang berhias diikuti oleh orang-orang yang berperan layaknya sebagai prajurit-prajurit kerajaan berjalan dibelakang kereta kuda tersebut. Seorang putri duduk di dalam kereta kuda itu. Wanita berparas cantik itu menoleh ke arah tiga orang yang sedang berdiam tanpa melakukan gerakan apa pun duduk di dalam mobil yang dilalui sang putri. Putri itu melihat ke arah Akbar. Pandangan mata Akbar yang tidak mencari-cari akhirnya bertemu dengan tatapan sang putri. Putri itu tersenyum. Sementara Akbar tetap mempertahankan tatapan kosongnya.

Iring-iringan kereta kuda beserta pasukannya telah berlalu. Mereka sudah jauh berjalan ke depan dan sudah tidak terdengar lagi bunyi-bunyian dari tabuhan gamelan.

“Ayo Gus”, ajak Pak Jan.

Bagus menstarter mobilnya yang kini dapat hidup dan dipastikan bisa melaju lagi.

“Sekarang sudah jam 3 pagi lebih. Kita harus cepat Gus. Kebut”, perintah Pak Jan.

Akbar mulai mencium gelagat aneh dari Pak Jan dan juga Bagus.

Mereka akhirnya sampai di Karang Taraje tepat pukul empat pagi. Mereka bertiga langsung turun dari mobil.

“Ayo cepat sebentar lagi subuh”, kata Pak Jan.

“Kemana ini?”, tanya Akbar.

“Ke bibir pantai”, jawab Pak Jan.

Bagus dan Akbar berjalan cepat di depan. Sementara Pak Jan berjalan mengikuti mereka di belakangnya. Pak Jan mengambil sapu tangan hitam yang berada di saku kemejanya. Ia mempersiapkan benda pusaka yang ada di dalamnya untuk segera dilarung ke pantai. Itu yang sekilas tampak dari ekor mata Akbar ketika melihat Pak Jan. Tiba-tiba saja. “Cep!”, sebuah jarum suntik menancap di leher bagian kanan Akbar. Dicabutnya lagi secara cepat jarum suntik yang telah ditancapkan padanya. Sebuah cairan telah berhasil dimasukkan ke dalam tubuh Akbar. Dari posisinya berdiri Akbar terduduk lemas bertumpu pada dua lututnya sambil memegangi leher bagian kanannya. Ia melihat ke arah Pak Jan yang tengah menggenggam suntikan yang baru saja digunakannya. Ternyata yang selama ini dibilang pusaka rahasia yang akan dilarung itu adalah sebuah suntikan berisi cairan bius yang sudah merasuk ke dalam tubuhnya. Kesadaran Akbar mulai berkurang. Bagus menangkap tubuh Akbar yang hendak terjatuh ke tanah. Sebelum kesadarannya benar-benar hilang Akbar samar-samar mendengar apa yang dikatakan oleh Bagus dengan begitu dingin, “Kami hanya menjalankan tugas”.

Kesadaran Akbar mulai pulih dengan juga disertai rasa sakit yang dirasa pada wajahnya. Tamparan demi tamparan membangunkannya. Kini ia berada di dalam sebuah goa. Goa gaib yang terdapat di tebing pantai yang dimana seharusnya ia membawa misi untuk melarung pusaka. Tapi itu semua hanyalah akal-akalan Pak Jan dan yang lainnya. Tujuan mereka sebenarnya adalah untuk membawa dirinya ke dalam goa gaib ini.

Sosok tinggi besar berwarna hitam bermata merah menyala mendekati Akbar yang meski sudah sepenuhnya tersadar masih terkapar lemah di atas tanah.

“Apa kau mengenaliku?”, tanya sosok itu.

“Mana mungkin aku mengenalimu. Rupamu begitu buruk. Lebih buruk dari makhluk-makhluk lain yang pernah kutemui”, jawab Akbar.

“Paakkk!”

Tamparan telak untuk jawaban yang keluar dari mulut Akbar dari sosok itu.

“Kau telah membunuh putriku”, kata sosok itu.

“Maksudmu kelelawar yang juga kumakan itu. Aku malah mengira dia itu laki-laki. Rupanya buruk sepertimu”, jawab Akbar.

Sosok siluman kelelawar yang merupakan ayah dari siluman kelelawar perempuan yang telah dikalahkan Akbar dalam pertarungan ketika di rumah bapak itu akhirnya menampakkan dirinya. Badannya besar dua kali ukuran tubuh manusia dewasa. Ia mempunyai taring yang panjang. Tangganya yang juga menjadi satu dengan sayapnya lah yang selama ini menampar wajah Akbar hingga membangunkannya. Siluman kelelawar itu sangat marah dengan olokkan yang dilontarkan oleh Akbar terhadap putrinya yang juga telah ia bunuh.

Kelelawar itu mencengkram tubuh Akbar dengan kedua kakinya yang kuat. Lalu ia melemparkan tubuh Akbar itu kuat-kuat hingga terbanting keras ke tanah. Tidak ada yang bisa Akbar perbuat dengan hal itu. Ia hanya bisa mengerang kesakitan. Dalam erangannya ia tertunduk dengan sebuah senyuman. Akbar harus menghadapi Raja Siluman Kelelawar itu dengan akal. Jika ia ingin bertarung satu lawan satu dengannya dengan kondisinya yang sekarang itu sama saja dengan mengantarkan nyawa secara sukarela. Ia tidak mau para anak buah raja kelelawar itu turut keluar untuk menyiksanya secara perlahan. Terlebih setelah diracun oleh Pak Jan dengan suntikannya ia sekarang tidak dalam kondisi kebugaran yang prima.

“Sebenarnya ada pesan yang disampaikan oleh putrimu sebelum dia meninggal”, kata Akbar.

“Aku tidak percaya”, jawab kelelawar raksasa itu.

“Dia berterimakasih kepadaku karena telah mengalahkan dan mengakhiri hidupnya”, kata Akbar.

“Kau ingin tahu kenapa wahai raja kelelawar?”, lanjut Akbar. Sementara sang Raja Siluman Kelelawar hanya terdiam dengan emosinya yang siap untuk meledak.

“Dia menyesal terlahir menjadi anakmu!”, bentak Akbar dilanjutkan dengan tawa yang mengejek sang raja.

Raja Siluman Kelelawar benar-benar geram dengan omong kosong Akbar. Dengan sekali lompatan ia sudah berada di depan Akbar yang masih tergeletak di tanah dengan tubuhnya yang sudah remuk redam. Sang raja kembali mencengkram tubuh Akbar. Dan kembali tubuh manusia itu ia lemparkan jauh dan tinggi hingga terjatuh begitu keras. Lemparannya kali ini benar-benar sangat kuat. Tubuh Akbar kini sudah berada di luar goa gaib. Akbar bisa merasakannya. Lemparan sang raja yang penuh amarah itu telah mengelabui akalnya sehingga ia tak sadar telah melempar mangsanya itu hingga ke luar goa gaib yang menjadi sarangnya.

Menyadari dirinya sudah tidak lagi berada di alam gaib Akbar pun dengan sisa-sisa tenaga dan kemampuannya ia langsung berdiri dan berlari menjauh dari goa gaib sarang dari para siluman kelelawar itu. Ia berlari sekencang-kencangnya dengan mencondongkan badannya ke depan dan mendongakkan kepalanya ke atas. Nafasnya tersengal-sengal dengan senyuman yang turut menghiasi wajahnya yang sudah tidak karuan bengkak. Ia berhasil mengakali raja siluman kelelawar itu.

Melihat tawanannya melarikan diri sang raja mengejarnya berserta juga para anak buahnya yang dikerahkannya untuk mengejar. Tamatlah riwayat manusia itu jika ia berhasil kembali ditangkapnya. Gumam sang raja.

Tapi sia-sia bagi sang raja dan juga para pengikutnya. Mereka terhenti dalam pengejarannya. Mereka hanya bisa melihat buruannya yang terus berlari. Sang Raja Siluman Kelelawar dan anak buahnya terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Fajar telah muncul.

Mengetahui bahwa dirinya sudah tidak dikejar lagi Akbar berhenti. Dia berbalik badan. Ia melihat bagaimana rupa dari kelelawar-kelelawar dan juga sang raja yang terlihat begitu kesal dan marah. Akbar tersenyum penuh kemenangan ke arah mereka sambil sedikit bergoyang mengejek mereka. Perhitungan rencananya tepat. Siluman kelelawar itu tidak akan berani untuk muncul ketika matahari sudah terbangun dari tidurnya. Paparan sinar matahari akan membuat mereka lemas dan melumpuhkan kekuatan mereka. Dari awal Akbar sudah tahu bahwa ia tidak harus beradu kekuatan dengan siluman-siluman kelelawar itu. Dengan perhitungan waktunya ia hanya perlu untuk keluar dari goa gaib sarang mereka dan berlindung dengan naungan sang surya.

Siluman kelelawar itu adalah salah satu kaki tangan dari Iblis jahat yang pernah menawan sukma Dahlia. Dengan kematian putrinya yang terbunuh oleh Akbar dan Kera Raksasa sang raja pun menaruh dendam kedapa Akbar. Raja Siluman Kelelawar ingin membunuh Akbar. Ia meminta bantuan kawannya dari kalangan manusia untuk memenuhi hasrat amarahnya itu. Untuk itulah Ki Blinger yang merupakan kawan dari Raja Siluman Kelelawar berkunjung ke tempat bapak. Ki Blinger meminta tolong bapak untuk nyawa Akbar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!