BAB 10 AMELIA DAN 3 BENDA YANG DISEMBUNYIKAN

BENDA PERTAMA

Setelah keberangkatan Ridwan dan Rike kini hanya tinggal Amelia dan Akbar dari keempat orang pilihan yamg dijanjikan bisa menolong dan menyelamatkan keluarga bapak yang tinggal di rumah. Sore itu juga Amelia langsung memulai pencariannya. Dimana ia mendapatkan tugas untuk mencari benda-benda yang digunakan untuk menjerat raga Dahlia yang disembunyikan di sekitaran rumah dinas. Akbar sempat menawarkan bantuannya apakah gadis 15 tahun itu ingin ditemani nya atau tidak. Tapi Amelia memilih untuk melakukan misinya sendiri. Akbar pun membiarkan anak itu melakukan apa yang diyakininya. Amelia ditemani Pak Jan untuk berkeliling rumah. Sementara Akbar berada di dalam kamar Dahlia bersama dengan ibu dan juga bapak.

“Mau kemana dulu neng?”, tanya Pak Jan kepada Amelia.

“Bapak ikut aku saja tidak usah banyak tanya”, Pak Jan dibuat gondok dengan jawaban ketus Amelia.

Amelia mulai berjalan berkeliling di dalam dan di luar rumah sambil melihat kesana kemari sambil sesekali berhenti di suatu tempat. Dan ia sering terlihat seperti berbicara sendiri sambil menggerak-gerakan jari-jari tangannya. Sesuai dengan permintaan Amelia Pak Jan hanya mengikuti saja kemana anak itu melangkah tanpa bersuara sedikitpun. Dalam misinya itu Amelia juga selalu didampingi oleh Rona seekor rubah gaib yang menjadi sahabat sekaligus pelindungnya.

“Bapak tidak usah berpikiran yang macam-macam ya!”, sudut Amelia kepada Pak Jan yang dari tadi tidak berbicara apa-apa.

“Iya, maaf neng”, kata Pak Jan pelan.

Rona mengibas-kibaskan ekornya ke punggung Amelia. Amelia pun sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh kibasan itu. Amelia dan Pak Jan berhenti di dekat sumur yang sekarang sudah ditutup itu.

“Dibuka dulu pak tutup sumurnya”, perintah Amelia kepada Pak Jan.

Pak Jan menyingkirkan tutup sumur yang terbuat dari kayu itu.

“Sekarang bapak masuk ke dalam sumur ya. Ambilkan plastik berwarna putih itu”, kata Amelia.

“Saya panggil yang lain dulu biar lebih gampang kalau ada yang membantu”, kata Pak Jan.

“Tidak perlu. Bapak sendiri saja juga sudah bisa”, sanggah Amelia.

Memang Pak Jan punya keahlian kalau hanya untuk sekedar turun ke dalam sumur yang tidak terlalu dalam itu dan mengambil sebuah kantong plastik kemudian naik lagi. Amelia pun tahu itu sehingga dari awal ia meminta Pak Janlah yang menemaninya untuk berkeliling rumah. Bayangkan saja jika Akbar yang menemaninya. Ia pasti tidak akan mau untuk disuruh turun ke dalam sumur.

Tak bisa mengelak lagi Pak Jan akhirnya mau untuk turun ke dalam sumur.

“Bagaimana aku bisa tahu dan menemukan kantong plastik berwarna putih itu”, tanya Pak Jan kepada Amelia.

“Nanti aku bantu dari sini. Jangan cerewet pak”, jawab Amelia.

“Bagaimana dengan nenek penunggu sumur itu?”, tanya Pak Jan lagi.

“Dia sekarang sedang ketakutan. Dia tidak berani macam-macam. Nanti biar Rona makan kalau dia berani ganggu-ganggu”, kata Amelia.

“Sudah pak cepat jangan banyak tanya”, Pak Jan tidak jadi bertanya lagi mendengar perkataan Amelia.

Pak Jan dengan cepat dan sigap menuruni sumur dengan kedua kakinya yang direntangkannya menjadi tumpuan dan pijakan untuk menopang tubuhnya. Tidak sampai 5 menit pria tua yang masih kuat itu sudah berada di dasar sumur. Pak Jan yang sempat meragukan dan meremehkan kemampuan anak itu kini dibuat takjub. Ini bukan musim kemarau. Seharusnya air di sumur ini sudah pasti mampu untuk menenggelamkan sekujur tinggi tubuhnya. Tapi yang terjadi air yang didapatinya di dalam sumur hanya sebatas pahanya saja. Di dalam dasar sana Pak Jan juga sempat melihat nenek penunggu sumur itu yang memojok ke sudut sumur seperti layaknya sedang bersembunyi dengan wajah seramnya yang terlihat sedang ketakutan.

“Jalan pelan-pelan pak”, seru Amelia dari atas yang mendapati Pak Jan terdiam melamun ketika sudah sampai di dasar sumur.

“Iya”, teriak Pak Jan.

Beberapa langkah setelah Pak Jan berjalan.

“Berhenti pak”, perintah Amelia dari atas.

“Ambil yang diinjak oleh kaki kiri bapak. Lalu segera naik ke atas. Cepat”, suruh Amelia.

Pak Jan mengambil apa yang diinjak oleh kaki kirinya. Sebuah kantong plastik berwarna putih yang sudah dilipat-lipat tampak seperti untuk membungkus sesuatu. Kemudian dengan teknik yang sama seperti ketika turun Pak Jan pun naik dengan membawa kantong plastik bewarna putih itu. Setibanya di atas Pak Jan langsung memberikan kantong plastik itu kepada Amelia.

“Ditutup dulu pak sumurnya”, kata Amelia.

Pak Jan kembali heran dengan kemampuan anak kecil yang sedang dikawalnya itu. Ketika ia hendak menutup sumur Pak Jan dengan jelas-jelas melihat air sumur itu begitu tinggi seperti yang seharusnya. Bisa dipastikan jika dia terjun ke dalam pastilah tubuhnya kelelep. Tapi tadi ketika Pak Jan berada di bawah sana air sumurnya surut.

Amelia lantas membuka bungkusan kantong plastik bewarna putih itu disaksikan oleh Rona dan juga Pak Jan. Betapa ketiganya dibuat kaget. Yang ada di dalam bungkusan itu adalah potongan rambut yang cukup banyak dan juga potongan kuku. Bisa dipastikan rambut dan potongan kuku tersebut adalah milik Dahlia.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?”, tanya Pak Jan kepada Amelia.

“Bakar”, jawab Amelia.

“Saya ambilkan korek dulu”, kata Pak Jan.

“Tidak usah”, sahut Amelia.

Amelia meletakkan potongan rambut dan potongan kuku-kuku itu di atas tanah. Rona turun menuruni tubuh sahabatnya. Ia mendekati potongan rambut dan kuku-kuku itu. Pak Jan dibuat terkejut. Rona menyemburkan api kecil yang cukup untuk membakar dan melenyapkan apa yang didapatkan mereka dari bingkisan kantong plastik berwarna putih itu. Seketika itu juga setelah terjadi proses pembakaran oleh Rona. Terdengar suara jeritan dari dalam kamar Dahlia.

“Ayo pak kita lanjutkan berkeliling. Masih ada dua benda lagi yang harus kita temukan”, ajak Amelia.

“Sebentar”, jawab Pak Jan yang hendak meninggalkan Amelia dan juga Rona.

“Mau kemana lagi sih pak?”, tanya Amelia ketus.

“Saya ganti celana dulu”, jawab Pak Jan tak kalah ketus.

“Hik hik”, suara tawa kecil Amelia.

BENDA KEDUA

Amelia, Rona dan juga Pak Jan melanjutkan misi mereka berjalan mengitari rumah dan sekelilingnya untuk mencari benda tersembunyi yang menjadi biang masalah di keluarga ini. Setelah mengitari sekeliling luar rumah mereka kembali masuk ke area dalam rumah. Tidak ditemukan apa-apa di kawasan luar rumah.

Kali ini Amelia berhenti di depan dapur. Untuk kesekian kalinya Amelia hanya berdiam diri di depan pintu dapur ketika telah sampai di sana.

“Kenapa tidak masuk saja ke dalam?”, tanya Pak Jan.

“Sebentar pak. Aku masih bingung”, jawab Amelia.

Lastri keluar dari dapur. Ia bertemu dengan Amelia dan juga Pak Jan yang tengah berada di depan pintu dapur. Lastri hendak menyapa Amelia tapi Pak Jan memberi isyarat kepada Lastri supaya tidak melakukannya. Lastri menghampiri Pak Jan.

“Kenapa?”, tanya Lastri ke Pak Jan.

“Dia sedang menerawang. Jangan diganggu”, jawab Pak Jan.

“Kamu mau kemana?”, tanya Pak Jan ke Lastri.

“Sudah sore. Mau mandi dulu”, jawab Lastri.

“Kondisi rumah sudah tambah rawan. Kamu tidak takut? Mau aku temani?”, goda Pak Jan.

“Wong tuwo edan! ( Orang tua gila! )”, jawab Lastri meniggalkan Pak Jan.

“Ayo Pak kita masuk ke dapur”, ajak Amelia.

Amelia mendapati mbok Salmi yang sedang masak untuk makan malam para penghuni rumah. Mbok Salmi tidak berkomentar apa-apa melihat kedatangan Amelia dan Pak Jan di dapur. Ia tak ingin mengganggu apa pun yang sedang mereka lakukan.

Gadis itu mondar-mandir di dapur yang cukup luas itu. Pawon bergaya lama yang masih menggunakan tungku besar sebagai tempat utama untuk memasak. Mbok Salmi dan juga Pak Jan hanya diam di tempat menyaksikan Amelia dan juga Rona yang turun berjalan kesana-kemari.

Rona menghampiri Amelia dengan berlari cepat ke arahnya lalu naik ke pundak sahabatnya itu. Ia mengarahkan ekornya menunjuk ke sesuatu yang kemudian dihampiri oleh Amelia. Sebuah kuali yang terbuat dari tanah liat yang dinding bagian dalamnya terlihat sangat pekat berwarna hitam keungu-unguan.

“Ini buat masak apa mbok?”, tanya Amelia ke mbok Salmi.

“Itu buat masak jamu neng”, jawab mbok Salmi.

“Jamunya siapa?” tanya Pak Jan.

“Ibu sama non Dahlia. Jamunya sama”, jelas si mbok.

“Mereka biasa meminumnya kapan?”, tanya Amelia.

“Pagi dan malam hari sehabis magrib neng. Tapi semenjak neng Dahlia seperti itu hanya ibu saja yang masih rutin meminumnya”, jelas mbok Salmi.

“Ini jamu apa to Mi?”, tanya Pak Jan.

“Itu jamu campuran rempah-rempah jawa. Resepnya turun temurun dari keluarga ibu”, jawab mbok Salmi.

“Boleh lihat bahan-bahannya seperti apa saja?”, pinta Amelia.

“Boleh neng. Ini kebetulan Lastri tadi pagi baru beli untuk bekal persediaan selama tiga hari”, terang mbok Salmi.

Mbok Salmi menunjukkan kepada Amelia dan Pak Jan bahan-bahan membuat jamu yang masih segar itu yang diletakkannya di sebuah tampah yang besar.

“Ini saja bahan buat jamunya mbok?”, tanya Amelia.

“Iya. Ini sudah komplit semua”, jawab mbok Salmi.

Ada sebuah dipan berukuran sedang di dalam dapur itu. Dipan itu berfungsi sebagai tempat duduk ketika sedang mempersiapkan racikan-racikan bahan dan bumbu makanan yang ingin dimasak. Dipan itu juga berfungsi untuk meletakkan apa-apa saja yang berada di area dapur. Amelia menyuruh Pak Jan dan juga mbok Salmi untuk menggeser dipan yang terletak di sudut dapur itu dan melihat apa saja yang terdapat di kolong bawahnya. Pak Jan dan mbok Salmi menuruti permintaan Amelia dengan menggotong dan menggeser dipan itu hingga tampak semua yang berada di kolong bawahnya.

Ada sebuah sabit berukuran sedang yang sudah karatan. Ada cangkul kecil untuk rumput. Ada beberapa tampah yang sudah rusak dan tidak terpakai lagi. Ada juga sendal yang hanya sebelah kanan saja. Itupun tali sendalnya sudah terputus. Itulah benda-benda yang sekilas langsung nampak ketika dipan itu dipindahkan. Di sudut pojok tempat letak dipan itu berada sebelum di geser ada sebuah kresek hitam yang ditali dan terlihat gemuk menandakan ada isinya. Pak Jan dengan sikap biasa mengambil kresek hitam itu.

“Opo iki Mi (apa ini Salmi) ?”, tanya Pak Jan ke mbok Salmi.

“Ha emboh (aku tidak tahu) ”, jawab mbok Salmi.

“Buah opo (apakah sejenis buah-buahan?)”, Pak Jan menggerayangi kantong kresek itu.

Pak Jan membuka ikatan kresek hitam itu dengan disaksikan oleh mbok Salmi dan Amelia yang turut penasaran.

“Kurang ajar!”, bentak Pak Jan setelah mengetahui isi kantong kresek hitam itu.

“Bajingan!”, mbok Salmi tak kalah marah.

“Ini juga ada dibikin buat jamu itu mbok”, kata Amelia yang tetap tenang.

“Memang itu buah apa?”, tanya Amelia polos.

Pak Jan dan mbok Salmi tentu tahu betul apa yang ada di dalam kantong kresek hitam yang disembunyikan di bawah dipan di pojok kolong dipan itu. Itu adalah tanaman kecubung yang masih segar seperti baru saja dipetik dari tangkainya. Jika benar apa yang dikatakan Amelia bahwasanya ramuan jamu untuk Ibu dan juga Dahlia juga ditambahi kecubung maka itu menjadi masuk akal. Penyebab akhir-akhir ini ibu dan juga Dahlia sering terlihat melamun, meracau sendiri, kalau diajak bicara kadang suka tidak nyambung, menjadi terlihat seperti layaknya orang yang kurang akal. Bisa jadi lantaran tanaman beracun yang menyerang otak itu telah sering dan juga dengan kadar yang banyak dijadikan campuran untuk jamu yang mereka konsumsi di waktu pagi dan petang hari. Mereka akan mengadukan permasalahan ini kepada bapak. Pak Jan dan mbok Salmi segera merapikan dipan dan segala sesuatunya di dapur seperti semula.

Petang itu di dalam kamar bapak dan ibu yang mana kamar itu sekarang dijadikan kamar untuk merawat Dahlia sudah ada Bapak, Ibu, mbok Salmi dan juga Akbar di sana yang memang ditugaskan untuk menjaga tubuh Dahlia. Ibu duduk di sebuah kursi di samping ranjang tempat tidur dengan tatapan sayu dan kosong meratapi nasib yang sedang menimpa putri semata wayangnya. Sebelum peristiwa naas yang menimpa Dahlia terjadi bebera hari sebelumnya ibu sudah suka bertingkah aneh dengan kejanggalan-kejanggalan pikirannya. Hal tersebut pun dirasakan juga oleh Bapak dan juga sebagian penghuni rumah lainnya. Hal itu juga terjadi dengan Dahlia yang mengakibatkan ia sering beradu mulut dengan almarhum suaminya.

Waktu itu tibalah saatnya untuk ibu meminum jamu resep dari keluarganya yang didapatkannya secara turun-menurun dari eyang-eyangnya terdahulu. Jamu dengan racikan rempah-rempah khas jawa yang dipercayainya sangat berkhasiat untuk kesehatannya. Ibu sudah biasa meminum satu gelas penuh ukuran gelas besar untuk jamu yang rutin dikonsumsinya pagi dan petang hari itu. Sedangkan Dahlia hanya bisa kuat setengah gelas saja. Itupun untuk ukuran gelas yang sedang.

Lastri masuk ke kamar itu. Dia datang membawa jamu yang sudah waktunya bagi Ibu untuk meminumnya. Ditaruhnya gelas dua kali ukuran gelas sedang itu dari baki ke meja rias dimana Ibu duduk disebelahnya. Sudah beberapa bulan terakhir ini Lastrilah yang dipercaya mbok Salmi untuk mengambil alih tanggungjawab sebagai pembuat dan peracik jamu untuk Ibu dan juga Dahlia. Dengan kondisi seperti sekarang ini Lastri tidak banyak bicara. Setelah ia menyuguhkan jamu untuk Ibu ia pun berniat langsung keluar dari kamar itu.

“Ini Bu jamunya”, Lastri menawarkan jamu yang telah ditaruhnya kepada Ibu yang masih saja diam.

“Lastri”, panggil mbok Salmi ketika Lastri hendak berjalan keluar kamar.

“Ya mbok”, jawab Lastri lirih.

“Coba sekarang kamu minum jamu itu. Habiskan”, perintah mbok Salmi kepada Lastri dengan nada yang tegas.

Lastri menunjukkan ekspresi keheranan dengan permintaan dari mbok Salmi. Namun ia tidak membantah. Ia tahu mbok Salmi sedang serius dan bagaimana dia melihat ekspresi wajah orang-orang di dalam kamar itu. Lastri mengambil gelas besar berisi jamu itu. Ia lalu hendak meminumnya. Namun ketika gelas sudah menempel di ujung bibirnya Lastri tiba-tiba berhenti. Ia menjatuhkan gelas itu hingga tumpah lah jamu itu di lantai dengan gelas yang juga turut pecah. Lastri lantas berlari keluar kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Bocah kualat!”, bentak mbok Salmi. Mbok Salmi berdiri hendak mengejar Lastri.

“Sudah mbok. Biarkan Lastri pergi”, kata bapak.

Mbok Salmi menangis sambil bersimpuh memegang kaki bapak.

“Maafkan saya pak. Salah saya mempercayai anak itu”, mbok Salmi menyesal.

“Sudah mbok”, bapak mencoba menenangkan mbok Salmi.

Entah apa yang dijanjikan oleh orang yang menyuruh Lastri hingga ia sampai hati untuk menyelakai keluarga bapak dan juga keluarganya sendiri. Sudah sejak lama dari Lastri kecil hingga ia menjadi seorang gadis mbok Salmi dan juga Bapak beserta keluarga menerima dan merawatnya.

BENDA KETIGA

Amelia kini hanya tinggal menemukan satu benda lagi untuk menyelesaikan misinya. Rona dan juga Pak Jan masih setia menemaninya kemanapun ia melangkah di area rumah dinas bapak. Tidak membutuhkan waktu yang lama sama seperti penerawangan kedua benda sebelumnya. Terawangan pada benda terakhir yang kini sedang ia cari benar-benar nampak jelas baginya. Ditemukan dan dimusnahkannya benda pertama dan benda kedua membuat benda ketiga ini semakin lebih mudah untuk dicari. Meski begitu ia tahu bahwa untuk mengambil benda terawangannya kali ini resikonya lebih berbahaya dari pada kedua benda sebelumnya. Tapi Amelia bisa segera tersenyum ketika ia mengingat di rumah itu masih ada sosok Akbar yang bisa membantunya.

Benda ketiga itu tidak lain berada di kamar dimana Dahlia dan para penghuni rumah yang bergantian menjaganya saat ini. Amelia dan Pak Jan pun masuk ke dalam kamar. Di sana Amelia langsung memberitahukan perihal terawangannya kepada Akbar. Namun Akbar justru heran karena mata batinnya tidak melihat adanya benda yang dimaksud gadis kecil itu kecuali beberapa jin yang sudah lemah yang sengaja didiamkan sementara oleh Rike di raga Dahlia. Amelia lalu memejamkan matanya. Ia hendak menampakkan benda yang dimaksudkan agar Akbar bisa melihatnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama kini Akbar bisa melihat benda yang dimaksudkan oleh Amelia. Batin Akbar kagum dengan kemampuan anak ini. Rike yang begitu kuat saja tidak bisa melihat dan menemukan benda tersebut.

Benda itu adalah sebuah jarum pentul yang ditanamkan tepat di ubun-ubun

Dahlia. Akbar lantas dengan sigap menghampiri Dahlia untuk segera menarik dan mengeluarkan jarum tersebut dari kepala Dahlia. Tentu saja itu bukanlah jarum pentul biasa melainkan sudah diberi mantra-mantra hitam untuk menyesatkan siapa yang mengenakannya. Akbar sampai harus bercucuran keringat sebelum akhirnya bisa mengeluarkan dan menghancurkan jarum pentul tersebut.

Usai sudah misi Amelia. Ketiga benda yang disembunyikan sudah dapat ditemukan dan dimusnahkan. Terlihat kini warna wajah Dahlia yang lebih segar dan lebih hidup dari sebelumnya. Kini wajah Amelia lah yang terhias dengan rasa lelah. Ia pun segera meminta untuk disediakan kamar supaya dia bisa lekas tidur dan beristirahat. Sebelum meniggalkan ruangan itu. Amelia berpesan dengan cara berbisik kepada Akbar.

“Akan ada banyak yang datang”, kata Amelia.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!