BAB 6 AMELIA

Bagus telah menyelesaikan semua titik yang ditunjukkan di peta pemberian Ki Blinger. Kini ia bersama juga Ridwan tinggal melakukan langkah terakhir yaitu menjemput ketiga orang lainnya kemudian membawa meraka ke rumah untuk menghadap bapak.

Mereka harus kembali berbalik arah. Magelang adalah tempat tujuan berikutnya. Sebuah nama dan juga alamat sudah dituliskan di secarik kertas yang Bagus dapatkan dari seorang ayah di Cisarua beserta sebuah tamparan. Alamat itulah yang akan dituju oleh mereka.

Ada rasa iba ketika mereka berdua harus mengunjungi alamat tersebut. Anak gadis yang masih belia itu rupanya kurang beruntung dengan apa yang didapatkannya dari sikap keluarganya sendiri. Ayah dari gadis itu pun seperti tersinggung ketika tempo hari ditanyai oleh Bagus perihal putrinya itu. Bagi ayah dan juga keluarga besarnya anak itu hanyalah sebuah aib yang sangat layak untuk disingkirkan dari keluarga mereka dari jauh-jauh hari dulu. Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soerojo adalah tempat dimana Bagus dan juga Ridwan akan menemui dan menjemput gadis bernama Amelia itu.

Amelia gadis berusia 15 tahun pengidap skizofrenia dengan gejala halusinasi, suka berbicara sendiri dan sering membicarakan hal-hal gaib yang di luar nalar. Itulah data yang di dapatkan oleh Bagus dan Ridwan dari ruang keperawatan bangsal dimana Amelia ditempatkan. Bagus dan Ridwan pun meminta izin kepada perawat yang berjaga untuk bertemu dengan anak itu. Dengan apa yang dimiliki Bagus segala sesuatunya menjadi lebih mudah.

Amelia mempunyai kelebihan untuk bisa melihat dan juga berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata. Ia mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi terhadap adanya hal-hal gaib. Diusianya yang masih terbilang muda ini ia juga sudah bisa membedakan jika ada jin yang ingin mempermainkannya. Amelia bisa melihat wujud dan niat asli makhluk-makhluk berbeda dimensi tersebut.

Kemampuannya ini berawal dari sebuah kelainan mata yang dialaminya sejak ia dilahirkan. Anak bungsu di keluarganya ini pun awalnya begitu disayang dengan kondisi yang dialaminya. Tapi lambat laun mata yang semula dinilai kurang sempurna itu mulai menampakkan kegunaan aslinya. Beranjak balita Amelia sudah mulai telihat seperti punya teman-temannya sendiri dengan cara ia terlihat jelas seperti sedang berinteraksi dengan orang yang tidak terlihat. Memasuki masa sekolah dasar anak kecil ini berusaha untuk menyembunyikan keunikan kelebihannya itu karena setiap kali ia terlihat oleh orang rumah ia berinteraksi seorang diri ia akan mendapatkan sebuah hukuman yang menyakitkan dari ayahnya sendiri. Puncaknya ketika kelas 5 SD dimana Amelia sudah tidak menggubris lagi dengan apa yang dipesankan oleh ayahnya. Rasa kesepian dan terasingkan dari keluarga membuatnya nekat untuk terbuka tentang apa saja yang dilakukannya dengan teman-teman yang tidak dapat dilihat oleh keluarganya itu. Sudah 4 tahun sejak waktu itu berlalu kini Amelia menjadi penghuni bangsal di rumah sakit jiwa ini dimana ayahnya dan juga seluruh keluarganya lah yang telah melakukannya karena dorongan rasa malu mereka. Terutama sang ayah yang tidak ingin aib putrinya ini diketahui oleh orang-orang hingga mencoreng nama keluarga dan status orang terpandang mereka yang sebenarnya adalah sebuah ketidaktahuan belaka. Ridwan yang bisa merasakan apa yang dialami oleh Amelia di masa lalu turut prihatin.

Anak gadis itu nampak begitu ceria ketika melihat kedatangan Bagus dan juga Ridwan. Terlihat jelas senyam-senyum gembira diwajahnya yang sayu lelah dengan kantung mata yang begitu menebal dan juga rambut hitam panjangnya yang sedikit berantakkan. Bagus meminta kepada perawat jaga untuk mengajak Amelia jalan-jalan di lingkungan taman rumah sakit agar obrolan mereka lebih nyaman. Dengan izin dan pengawasan dari perawat permintaan Bagus pun dikabulkan.

Ketika berjalan-jalan di taman Bagus dan Ridwan dibuat terkejut dengan segala perkataan gadis belia itu. Bagus yang belum sempat memulai pembicaraannya dibuat terdiam dengan perkataan Amelia.

“Ayo om kita segera berangkat. Kasian kak Dahlia kalau terlalu lama. Lebih cepet lebih baik. Nanti kak Dahlia keburu bisa meninggal”, kata Amelia.

Bagus dan Ridwan saling berpandangan.

“Benar mas”, kata Ridwan.

Untuk mengeluarkan Amelia dan membawanya ke Jakarta ternyata tidaklah semudah perkiraan Bagus. Perlawanan yang diberikan pihak rumah sakit memanglah sudahlah sepatutnya dan merupakan tugas dan tanggungjawab mereka. Tidak dibenarkan memberikan izin secara sembarangan kepada orang asing yang tidak berkepentingan jelas. Bagus melakukan sebuah panggilan telepon. Kepala rumah sakit itu pun berbicara dengan orang dibalik sambungan telepon tersebut. Setelahnya barulah Bagus, Ridwan berserta juga Amelia bisa memulai perjalanan mereka.

Di dalam mobil di perjalanan Amelia benar-benar terlihat sangat berbeda. Jika di rumah sakit ia harus membatasi segala ekspresinya kini bersama dengan Bagus dan juga Ridwan ia menampakkan Amelia yang ceria, suka tertawa dan juga cerewet.

“A... a... a...”, Amelia terlihat berjingkrak-jingkrak di kursi mobil bagian belakang. Ia tampak begitu gembira bisa keluar dari kurungannya. Amelia menunjukkan sikapnya yang masih memperlihatkan sisi kekanak-kanakannya. Bagus dan Ridwan saling paham untuk tidak mengganggu kesenangan anak itu yang sedang menikmati dan merayakan kebebasannya dengan tidak bertanya-tanya tentang masa lalunya yang begitu menyedihkan yang telah mengasingkannya.

“Itu siapa Mel?”, tanya Ridwan.

“Ini sahabatku om. Namanya Rona.”, jawab Amelia.

“Om yang satunya mau lihat?” tanya Amelia.

“Ini namanya om Bagus. Ini om Ridwan”, Ridwan menunjuk dirinya dan juga Bagus untuk mengenalkan siapa nama mereka untuk kesekian kalinya.

“Iya deh om”, jawab Amelia.

Rona adalah sosok rubah berwana merah jingga di bagian punggungnya dan berbulu putih di bagian badan bawahnya. Wujud yang ditampakkannya hanyalah sebesar tangan Amelia. Kelebihan sosok rubah ini adalah ia bisa melayang. Seringkali ia menemplok di bahu Amelia serta melilitkan ekor panjangnya di leher kawannya itu. Rona menjadi teman sekaligus pelindung bagi Amelia.

Mendengar obrolan antara Ridwan dan Amelia tentang sosok Rona Bagus semakin dibuat tercengang sekaligus bingung. Ternyata di dunia perhantuan klasifikasinya lebih sederhana. Seekor rubah yang jarang terdapat di Indonesia ternyata di dimensi astralnya justru malah tidak ada pembatasan mengenai tempat-tempat atau area-area tertentu pikirnya.

Amelia terlihat sering bengong sendiri beberapa saat dan juga sering tertawa kecil sendiri. Ia tahu bahwa hal itu akan menunjukkan kepada orang yang melihatnya bahwa ia terlihat aneh atau pun terkesan gila. Ia pun selalu berusaha menahan untuk tidak menunjukkannya kepada siapa pun. Malangnya sikap itu bukanlah pembawaan aslinya. Itu semua diperolehnya ketika telah masuk ke dalam kerangkeng nya selama 4 tahun terakhir ini. Dampak itulah yang juga turut membuat dua kawan barunya dalam perjalananya kali ini merasa begitu berempati terhadapnya.

Pemberhentian selanjutnya adalah bandara Adisutjipto di Yogyakarta. Di sana mereka bertiga telah ditunggu oleh anak dari Pak Sumo yang merupakan orang kedua dari titik pencarian di peta yang diberikan oleh Ki Blinger. Dengan bantuan koordinasi dari Pak Sumo akhirnya mereka sepakat untuk bertemu langsung di bandara lalu setelahnya langsung bisa berangkat ke Jakarta. Tanpa harus adanya saling cari mencari lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!