Apa yang terjadi pada Dahlia sudah pasti bukanlah dengan cara medis atau pun berpikir logis untuk menyelesaikannya. Beberapa orang pintar atau pun juga pemuka agama sudah didatangkan untuk mengobati putri bapak. Semua dari mereka sepakat bahwa jiwa Dahlia sekarang sudah tidak lagi berada di dalam raganya. Jiwanya tengah ditawan dan disembunyikan di tempat yang hanya orang-orang dengan tingkatan ilmu tertentu saja yang bisa menemukan dan mengembalikan ke dalam raganya. Beberapa orang yang sudah mempunyai nama pun kalah sakti dibandingkan dengan orang yang sudah mencelakai Dahlia. Bapak menegaskan kepada semuanya untuk segera mengutamakan keselamatan Dahlia. Persoalan siapa dalang dan motif dibalik perkara ini bapak meminta untuk mengabaikannya.
Nyai Asma adalah seorang ahli pengobatan alternatif yang juga ahli dan sudah teruji di bidang santet, teluh dan berbagai penyakit hitam lainnya. Namanya sudah tersohor di seantero negeri. Semua orang dari penjuru nusantara pergi ke rumah tempat praktek Nyai Asma di daerah Taliwang, Nusa Tenggara Barat jikalau mereka menginginkan kesembuhan lantaran penyakit yang disebabkan oleh ilmu hitam. Nyai Asma pun tidak pernah mematok tarif untuk jasanya. Ia menerima dengan ikhlas berapapun atau pun tidak dibayar oleh para pasien-pasiennya. Kendala jika berobat kepada Nyai Asma adalah banyaknya jumlah antrian pasiennya yang bisa mengantri sudah dari jauh-jauh hari sebelumnya. Meski dulu sempat terkena kasus difitnah praktek ilmu hitam tapi berkat ketulusan dan niat baiknya, Nyai Asma akhirnya sampai detik ini masih membuka praktek dan tetap dipercaya oleh orang banyak.
Nama bapak berhasil membawa seorang Nyai Asma yang selama ini hanya melakukan praktek pengobatan di rumahnya untuk mau datang ke rumah dinas bapak yang berada di Jakarta.
Pertarungan sengit antara Nyai Asma melawan jin-jin yang menaungi tubuh Dahlia berlangsung cukup lama. Pada akhirnya Nyai Asma yang dikenal kondang dengan kemampuannya dapat membinasakan segala bangsa jin jahat yang sering bersemayam di tubuh manusia itu kalah. Ia menyerah. Dengan tegas dan meminta maaf kepada bapak dan keluarga bahwasanya jika pertempurannya diteruskan Nyai Asma bisa binasa. Mereka jin-jin suruhan itu terlalu banyak dan kuat-kuat. Tapi usaha Nyai Asma tidak sampai di situ. Sebelum kepulangannya ke kediamannya di NTB Nyai Asma memberikan sebuah nama. Yaitu seorang pemuka agama yang tinggal di daerah Rembang, Jawa Tengah. Beliau adalah guru dari Nyai Asma. Nyai Asma yakin jika gurunya bisa mengatasi apa yang tengah bersemayam di tubuh Dahlia.
Hari itu juga Bagus ditemani oleh satu orang temannya berangkat ke Rembang, Jawa Tengah untuk meminta tolong sekaligus menjemput Sang Kyai yang dimaksud oleh Nyai Asma. Tapi apa yang didapatkan Bagus setelah menempuh perjalanan berjam-jam dari Jakarta ke Rembang diluar dugaan. Setibanya di rumah Sang Kyai inilah percakapan yang terjadi.
“Pertama-tama ketika nanti kalian pulang ke Jakarta sampaikan salam dari saya kepada bapak”, kata Sang Kyai.
“Saya sudah tahu maksud dan sedang menunggu kedatangan kalian.”
“Tapi itu semua bukanlah takdir atau jalan saya.”
“Sama seperti Asma dengan usia saya yang sudah sepuh aku bisa mati konyol jika berhadapan dengan mereka dan orang yang menjadi suruhan untuk mengusik keluarga bapak.”
“Tapi tenang saja. Ada jalannya putri Dahlia bisa selamat.”
“Ini”, Sang Kyai menyerahkan selembar kertas bertuliskan sebuah nama beserta alamat kediamannya kepada Bagus.
“Sampaikan kepada bapak. Orang itu bisa membantu kalian.”
Bagus pun kaget mengetahui siapa nama di tulisan kertas itu.
Pada malam harinya Bagus sudah sampai di rumah. Di rumah sudah ada tambahan penjaga semenjak kejadian yang menimpa Dahlia. Kedua orangtua Haris pun datang dan menginap di kediaman menantunya yang kini tengah terbaring lemah. Bagus menceritakan semua percakapan dan apa yang terjadi ketika kunjungannya ke Rembang. Meski sempat kecewa karena Sang Kyai tidak mau datang tapi bapak masih punya harapan di selembar kertas yang dibawa oleh orang kepercayaannya itu. Kaget bukan kepalang ketika bapak membaca nama yang dituliskan oleh Sang Kyai. Ki Blinger. Orang yang dikenal sebagai jawaranya ilmu hitam di negeri ini yang ternyata disarankan oleh Sang Kyai untuk menolong putrinya. Bapak pun geleng-geleng kepala dibuatnya dengan usulan nama Ki Blinger dari Sang Kyai. Bahkan nama Ki Blingerlah yang awalnya dicurigai oleh sebagian besar orang rumah sebagai dalang permasalahan ini. Meski kurang begitu yakin bapak sudah mengambil keputusan untuk sehabis terbit nanti supaya Bagus menghubungi Ki Blinger. Bapak tidak ingin lebih lama lagi membahayakan keselamatan nyawa putrinya.
Gila benar menurut Bagus dunia ilmu mistis ini. Pagi itu ketika ia sudah siap berangkat untuk menuju ke rumah Ki Blinger yang hanya berjarak 2 jam dari rumahnya bertugas. Bagus sedang menunggu Pak Jan yang rencanannya akan menemaninya karena Pak Jan tahu dimana lokasi rumah Ki Blinger dan pernah ada urusan dengannya. Sebuah mobil berhenti di depan jalan masuk kawasan rumah dinas bapak. Penjaga menanyainya perihal urusan kedatangannya. Bagus pun ikut maju ke mobil mercy cantik yang menarik minatnya itu.
“Bapak yakin pak?”, tanya penjaga.
“Siapa pak?”, tanya Bagus kepada penjaga.
“Ngakunya Ki Blinger”, jawab penjaga.
Kaca mobil bagian belakang terbuka. “Kamu dan Jan tidak perlu repot-repot ke rumahku Gus. Tolong sampaikan ke bapak aku Ki Blinger sudah datang”, ucap orang yang duduk dibelakang mobil yang mengaku sebagai Ki Blinger.
“Baik Ki”, dengan sedikit terbata Bagus menyanggupi permintaan orang itu. Bagus dibuat kagum dengan kesaktiannya yang tahu bahwa dirinya akan ke rumahnya di hari itu. Apalagi dia juga menyebut namanya dan juga nama Pak Jan.
Ki Blinger memang penganut dan juga orang yang berpraktek dalam ilmu hitam. Bahkan di dunia pergaiban tanah air Ki Blinger dengan Sang Kyai adalah musuh bebuyutan. Tapi di samping itu semua Ki Blinger adalah nasionalis sejati. Ia tidak rela jika ada yang mengganggu kedamaian nusantara. Tentu saja Ki Blinger sangat mengidolakan sosok bapak.
Ki Blinger meminta untuk bertemu dengan bapak di teras rumah. Pria paruh baya dengan kumis dan jambang yang sangat lebat dan pakaian serba hitam itu enggan untuk masuk ke rumah apalagi untuk masuk ke kamar dimana Dahlia berada. Bapak pun menyanggupinya dengan menemui Ki Blinger yang sudah duduk menunggu di teras rumah.
“Ki Blinger”, sapa bapak dari kejauhan.
Ki Blinger lantas berdiri dari duduknya. Ia bersikap tegap menghadap bapak lalu memberikan salam hormat kepada bapak. “Salam nusantara pak”, katanya.
Bapak sebenarnya ingin tertawa melihat tingkah Ki Blinger. Tapi tentu saja bapak menahannya. “Salam nusantara Ki. Silahkan duduk lagi”, jawab bapak.
“Siap pak”, kata Ki Blinger.
Bapak dan Ki Blinger duduk di teras rumah pagi itu lengkap dengan kopi hitam dan juga gorengan hangat.
“Ki. Betapa cintanya sampeyang dengan tanah air kita ini. Tapi kenapa Ki Blinger tidak pindah aliran saja? Berbuat luhur kepada rakyat ibu pertiwi yang begitu sampeyang cintai”, pertanyaan bapak untuk Ki Blinger.
“Kalau itu sudah tidak bisa diubah pak. Itu semua konsekuensi saya dengan mereka. Tapi sampai kapan pun bagi saya merah putih harga mati”, jawab Ki Blinger.
“Kenapa aki tidak masuk untuk melihat Dahlia?”
“Sebelum menjawab persoalan itu izinkan saya untuk memberikan testimoni saya kepada bapak”, kata Ki Blinger.
“Saya benar kagum dan juga bangga dengan apa yang telah bapak lakukan dan perjuangkan untuk negeri ini dan juga para rakyat. Termasuk saya di dalamnya pak. Saya sangat berterimakasih kepada bapak dan sekali lagi kagum dengan perjuangan dan pengorbanan bapak”, Ki Blinger lantas dengan sigap bersimpuh dihadapan bapak dan hendak mencium kaki bapak.
“Sudah Ki”, bapak mengangkat tubuh Ki Blinger untuk kembali berdiri dan duduk di kursi.
“Itu memang kewajiban semua orang untuk menjaga kedaulatan negaranya sendiri”, tambah bapak.
“Mengenai putri bapak. Bukannya apa saya tidak mau melihatnya. Tapi siapa saja yang berada di sana dan yang membuat anak bapak seperti sekarang ini saya tahu betul siapa mereka”, kata Ki Blinger.
“Siapa mereka Ki?”, tanya bapak.
“Mereka kolega-kolega saya pak. Tapi saya tidak bisa memberikan nama-nama mereka. Itu sudah menjadi kode etik di ranah dunia kami”, tegas Ki Blinger.
“Lantas apa solusinya Ki?”, tanya bapak.
Ki Blinger merogoh saku bajunya. Sebuah lipatan kertas berwarna usang dikeluarkannya. Dibuka lipatan kertas itu olehnya. Itu adalah sebuah peta.
“Seperti yang bapak tahu itu adalah peta pulau Jawa pak. Di situ sudah saya kasih tanda berupa titik atau pun lingkaran. Empat titik itu jika ditarik garis dan dihubungkan maka akan membentuk kemana sesuai arah mata angin. Empat arah mata angin. Utara, Selatan, Timur dan juga Barat. Carilah dari ke titik-titik itu empat orang yang akan menyelamatkan nyawa putri bapak. Pintalah mereka”, jelas Ki Blinger.
“Bagaimana caranya mencari orang-orang itu jika tidak tahu nama dan alamat pastinya” tanya Bagus yang sedari tadi berdiri di belakang samping bapak.
“Carilah di tempat yang sudah kutandai itu. Mereka sudah punya nama di sana bagi orang yang mengetahuinya”, jawab Ki Blinger kepada Bagus.
Ki Blinger lantas berdiri. Ia pun pamit kepada bapak dengan mencium tangan bapak.
“Jan. Kamu tidak usah ikut-ikut. Kamu tidak akan sanggup. Jangan cari mati. Ingat, yang kalian butuhkan adalah orang-orang muda”, pesan terakhir Ki Blinger sekaligus tergurannya kepada Pak Jan yang juga sedari tadi berdiri di sana.
Rasa nasionalisme yang sangat kuat dan mengakar di diri Ki Blinger merontokkan batasan-batasan yang seharusnya dipatuhinya di dunia kegelapan dimana ia bekerja. Rasa hormat dan kagumnya terhadap bapak membuatnya nekat untuk memberikan bantuan yang sangat berarti terhadap bapak dan keselamatan hidup buah hatinya.
“Gus. Kamu sebaiknya segera bersiap-siap. Lebih cepat lebih baik”, perintah bapak ke Bagus.
“Baik pak”, jawab Bagus.
“Gus. Kamu berangkat sendiri. Dan ini sangat rahasia”, tambah bapak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments