BAB 2 PENGADUAN

“Saya mendengarnya lagi pak. Tiga hari berturut-turut. Bahkan di malam yang ketiga Lastri juga bisa mendengarnya. Suara itu sama persis seperti kejadian empat tahun yang lalu pak.”

“Apa kamu yakin Salmi?”, tanya bapak kepada mbok Salmi.

“Saya sangat yakin pak.”

“Jangan kamu beritahu kepada siapa pun. Jangan kamu jelaskan kepada Lastri apa maksud dari suara itu. Dan yang terpenting jangan sampai ibu dan anak-anak tahu”, pesan bapak kepada mbok Salmi.

“Baik pak”.

Begitulah pengaduan mbok Salmi kepada bapak dan bagaimana bapak menanggapi apa yang dialami oleh mbok Salmi dan juga Lastri. Bapak berpesan keras agar mbok Salmi merahasiakan bunyi suara seperti wajan dipukul-pukul yang ia dengar selama tiga malam berturut-turut itu. Bapak sama sekali tidak ingin seorang pun di rumahnya ada yang tahu kecuali hanya dirinya dan mbok Salmi saja. Apalagi jika sampai ibu dan juga Dahlia tahu.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Jan. Berdasarkan pengalaman selama ia bekerja di rumah dinas ini Pak Jan percaya jika kejadian tempo hari yang ia alami adalah sebuah pertanda buruk yang akan datang. Meskipun itu hanya berdasarkan firasat semata tapi ia tidak ingin menyesal dikemudian hari jika ia tidak menyampaikan apa-apa yang sedang bergelantungan di pikirannya itu.

Bapak merasa senang dengan maksud dan niat baik Pak Jan yang telah memberikannya sebuah laporan dan juga peringatan tentang apa yang dipercayainya. Bapak pun selama ini juga tahu bagaimana situasi malam hari di area kawasan rumah dinas. Bapak juga tahu jika Pak Jan bukanlah orang yang sembarangan dalam bertutur kata apalagi untuk hal-hal semacam ini. Bapak pun berpesan dan meminta tolong kepada Pak Jan untuk lebih berhati-hati serta menjaga satu sama lain antara orang-orang yang tinggal di rumah dinas ini. Dengan catatan bapak pun ingin supaya Pak Jan diam saja tidak usah mencerita-ceritakan kondisi ini hingga menimbulkan kegaduhan dan kecemasan. Setelah kejadian malam hari itu Pak Jan pun sekarang sehabis magrib sudah berada di rumah dinas.

Hari itu seharusnya bapak sudah sampai di rumah sebelum petang. Tapi karena ada masalah dengan mobil Kijang yang diinventariskan oleh kantor sehingga bapak dan juga Bagus supir pribadi sekaligus ajudan bapak masih dalam perjalanan pulang di waktu larut malam. Berhadapan dengan mobil yang bermasalah bukanlah sesuatu yang asing bagi Bagus karena dia memang juga tahu tentang mesin dan memang diwajibkan untuk tahu karena pekerjaannya sebagai seorang supir. Sore itu Bagus dengan bantuan teman kantornya berhasil mengatasi permasalahan klasik dari Kijang yang rata-rata dipakai oleh para pejabat kantor. Tapi Bagus waktu itu benar-benar tidak tahu kalau apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan pulang bersama bapak di malam hari bukanlah sesuatu yang sudah familiar baginya.

Hampir tidak ada pembicaraan berarti dalam perjalanan pulang yang telat dari kantor ke rumah di malam itu. Lelah dan penat hinggap di keduanya.

“Berhenti dulu Gus”, tiba-tiba bapak mengagetkan Bagus dengan menyuruhnya untuk berhenti.

“Ada apa pak? Ada yang tertinggal?”, Bagus perlahan memberhentikan mobilnya.

“Lihat itu Gus.”

Bagus melihat dengan seksama apa yang membuat bapak menyuruhnya untuk berhenti.

“Orang gila itu Pak”, ucap Bagus.

“Di tempat sepi seperti ini joget-joget sendiri”, tambah Bagus.

“Coba kamu perhatikan lagi Gus. Nyalakan lampu jauhnya.”

“Astagfiruallahaladzim. Apa itu pak?”, Bagus tampak kaget setelah menyalakan lampu jauhnya.

“Itu namanya setan joget Gus”, bapak menjawab pertanyaan Bagus sambil tertawa kecil.

“Jangan takut ya Gus”, lanjut bapak.

“Kita harus bagaimana ini pak?”, tanya Bagus sedikit panik.

“Ditunggu saja. Sebentar lagi juga hilang”, kata bapak.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya setan joget yang menghadang laju kepulangan mobil bapak pun hilang. Dengan aba-aba dari bapak Bagus pun melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.

Kejadian yang baru saja dialaminya membuat Bagus malam itu sulit untuk tidur. Ia masih terbayang-bayang sosok yang tadi menampakkan dirinya di tengah jalan dalam perjalanan pulangnya. Untuk menghilangkan rasa suntuknya ia pun menghampiri Pak Jan dan berharap pak tua penjaga malam itu masih terjaga.

Perempuan bergaun putih lusuh dengan rambutnya yang keriting dan acak-acakkan. Matanya melotot ke arah kami dengan senyum yang begitu lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh telinga. Sosok itu menari dengan gerakan yang patah-patah mondar-mandir di depan jalanan yang harusnya kami lewati.

Sosok penampakkan itulah yang diceritakan oleh Bagus kepada Pak Jan. Sama seperti bapak Pak Jan pun berpesan kepada Bagus supaya ia jangan sampai takut dan bisa segera menguasai diri. Bagus sendiri memang dikenal sebagai seorang pemuda yang rajin beribadah. Baik bapak maupun Pak Jan tahu bahwasanya apa yang dialami oleh Bagus tidak akan membuatnya lemah begitu saja.

Keesokan paginya seisi rumah geger. Lastri menemukan Dahlia tergeletak di depan pintu kamar mandi. Lastri berteriak histeris mendapati putri majikannya sudah terbujur dengan mata mendelik dan mulut menganga tanpa ekspresi lainnya. Lastri sudah berusaha mengoyang-goyangkan tubuh Dahlia. Tapi Dahlia hanya bisa mengeluarkan suara yang sangat lirih. Terdengar seperti suara mendesis.

Semua penghuni rumah tanpa terkecuali langsung mendatangi Lastri. Satu per satu berdatangan menghampiri Lastri yang sudah terduduk lesu di depan pintu kamar mandi. Semua orang dibuat menjadi panik ketika melihat bagaimana kondisi Dahlia yang sudah terkapar tidak sadarkan diri dengan mulut menganga dan tatapan mata kosong yang membelalak. Tanpa bantuan seorangpun dengan badannya yang kekar Haris membopong istrinya untuk dibawa masuk ke dalam kamar.

“Ris. Dibawa ke kamar bapak saja”, perintah bapak.

Haris membawa Dahlia ke dalam kamar bapak dan ibunya. Dahlia ditidurkannya di ranjang besi tua.

Haris sang suami masih tidur di kamarnya ketika kejadian yang dialami oleh Dahlia terjadi. Begitu juga Bagus yang meskipun sudah terbangun tapi dia saat itu masih berada di dalam kamarnya. Pak Jan saat itu setelah subuh sudah pulang seperti kebiasaanya. Mbok Salmi sedang berada di dapur mempersiapkan kebutuhan memasak seperti rutinitas biasanya. Lastri saat itu hendak pergi ke sumur yang berada di dekat kamar mandi untuk mengambil air untuk keperluan dapur. Niatannya itu berubah menjadi sebuah jeritan histeris ketika mendapati Dahlia yang sudah tergeletak di depan kamar mandi. Teriakkan itu pula yang mengumpulkan para penghuni rumah.

Saat itu semua terjadi bapak dan ibu pun masih berada di dalam kamar mereka. Saat itu bapak dan ibu sedang berbicara serius. Ibu mengadu tentang apa yang dilihatnya di malam harinya. Ibu dengan jelas melihat dua telapak tangan yang sedikit bergoyang-goyang di kaca ventilasi kamar mereka. Tangannya bersih sama sekali tidak nampak seram dengan darah atau semacamnya. Ibu yakin itu bukan ulah manusia iseng yang malam-malam di waktu dini hari memanjat tinggi tembok yang lebih dari dua meter untuk sekedar melakukan hal semacam itu. Bapak mendengarkan dan mempercayai apa yang diadukan oleh istrinya itu. Sebelum bapak memberikan tanggapan jeritan Lastri memaksa mereka berdua keluar dari kamar.

Semua penghuni rumah tahu. Bahkan Lastri yang masih polos nan lugu pun juga tahu. Mereka meyakini bahwa apa yang menimpa Dahlia bukanlah sebuah kecelakaan semata. Tidak ada tanda luka bekas jatuh di seluruh bagian tubuh Dahlia. Yang ada adalah Dahlia tidak sadarkan diri dengan wajah dan tatapan yang kosong. Mulutnya yang ketika ditemukan menganga sudah bisa dikatupkan oleh bapak. Tapi tidak dengan matanya yang tidak bisa dipejamkan dan terus membelalak dengan tatapan nanar dan kosong. Syukurnya Dahlia masih hidup.

Bagus segera disuruh untuk menjemput dokter secepatnya. Sementara Lastri yang masih sedikit syok di suruh untuk memanggil Pak Jan di rumahnya. Sebelum mereka keluar kamar. Semua orang yang berada di kamar itu, semua penghuni rumah diperintah bapak untuk merahasiakan kejadian yang menimpa putri semata wayangnya ini. Haris dan Lastri mempunyai wajah panik dan bingung. Sementara yang lainnya meskipun khawatir tapi mimik mereka seakan sudah tahu peristiwa seperti ini akan datang pada mereka. Ibu dan Haris menunggu dan menjaga Dahlia di kamar. Ibu senantiasa berada di samping putrinya sembari mengusap-usap kepala Dahlia. Sementara Haris hanya duduk termangu dengan pikirannya yang kalut.

Lastri dan Pak Jan tiba. Pak Jan pun diminta oleh bapak untuk turut menjaga Dahlia di kamar bersama dengan Ibu dan juga Haris. Sementara Lastri kembali ke urusannya untuk membantu mbok Salmi. Sesaat kemudian baru tibalah Bagus bersama dengan seorang dokter keluarga. Dan setelah benar-benar diperiksa oleh dokter dugaan para penghuni rumah pun terbukti. Tidak ada kaitannya dengan medis apa yang sedang dialami oleh Dahlia sekarang ini. Dokter pun lantas kembali pulang dengan Bagus yang juga disuruh oleh bapak membawa berkas dari rumahnya ke kantor sekaligus menyampaikan izinnya untuk tidak berangkat ke kantor di hari itu.

Bapak seorang diri menuju ke sumur. Di sana bapak berbicara.

“Ono opo? Opo Dahlia ono salah karo kowe?”

(Ada apa? Apa Dahlia berbuat salah terhadapmu?)

“Hudu aku mas”, jawab suara dari dalam sumur itu.

(Bukan aku mas)

“Lha terus sopo?”, tanya bapak.

(Terus siapa?)

“Aku ra wani.”

(Aku tidak berani)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!