BAB 3 : AY MAU KAWIN

Dalam kesendiriannya Aydan terinspirasi dengan saran Annaya dalam hal mantengin CV para pegawai rumah sakit. Bukankah di bagian HRD ada puluhan bahkan ratusan data pegawai yang mengais rejeki di rumah sakitnya, masa tidak satu pun dari semua daftar nama itu yang mungkin sudah Tuhan ciptakan jadi jodohnya.

Hal pertama yang Aydan lakukann adalah membuat daftar jenis kelamin pegawainya. Iya Aydan masih penyuka wanita, bukan sesama jenis kali. Kemudian, ia memilah status pernikahan para pegawainya sekalian usianya. Walaupun status belum kawin kalo usia di atas Aydan, ya tentu di blacklist donk.

Aydan menandai beberapa nama dalam listnya. Usia, lulusan apa, dan rupanya juga tak luput dari pertimbangan Aydan. Ia bahkan lebih detail dari sekedar mencari calon pegawai di rumah sakit tersebut.

“Permisi, ini data yang bapak minta dari bagian HRD.” Anggara masuk dengan sopan lalu menyodorkan beberapa berkas yang sudah Aydan tandai yaitu CV beberapa pegawai dari yang magang, koas, hingga tetap. Jenjang pekerjaan pun lengkap.

“Oh terima kasih Pak Angga.” Sambut Aydan menerima tumpukan berkas dari Anggara. Sebenarnya data itu lengkap di laporan pada laptopnya. Tapi Aydan lebih suka melihat foto cetak langsung pada CV yang para pegawai itu kumpulkan.

Kemudian Aydan larut dalam suasana bingung dalam hal memilih.

“Nay, bisa keruangan kakak?” Aydan mengirim pesan pada Annaya yang sedang menjalani masa koasnya pada rumah sakit milik kakaknya tersebut. Iya, Annaya berkolusi supaya bisa mengambil koasnya di sana. Tujuannya tidak lain untuk memudahkan dirinya karena jarak tempuh hanya berjalan kaki dari rumah Hildimar.

“Kenapa Kak?” Annaya sudah muncul saja di ruangan Aydan sang Direktur.

“Sini, sini. Liat.” Aydan menunjukkan daftar nama cewek yang semalam sudah ia tandai.

“Rania, Alluna, Mellysa, Cintia, Aisyah, Miranda, Lupita, Stepania. Eh … ini kenapa semua nama dokter koas sih. Mereka kenapa? Ada masalah?” Annaya sedikit bingung berkas yang bertumpuk di atas meja Aydan.

“Masalah?” Aydan balik bertanya.

“Trus kenapa bekas mereka ada di meja kakak?” Annaya memandang intens wajah Aydan.

Aydan tidak menjawab, ia hanya memandangi wajah Anaya dengan dalam dan lama.

“Ommo ommo. Kakak mau pedekate sama mereka. Ya ampun, kok gak kepikiran sih?” Annya menangkap sendiri isi pikiran Aydan.

“Bentar ku buang beberapa ya kak. Soalnya ada yang statusnya belum kawin tapi udah sering kawin kak.” kekeh Anaya sudah mengambil beberapa berkas itu.

“Hah …? Lu yakin Nay buang yang itu. Cantik lhoo.” Aydan protes.

“Cantik sih rupanya, tapi gak dengan ahklaknya. Bukannya kakak mau yang baik dan ori. Percaya sama Naya. Kan kami seangkatan di sini.” Jelas Annaya jujur.

“Hum, oke lah.” Ujar Aydan yang melihat tumpukan berkas itu sudah semakin sedikit dari sebelumnya.

“Oke … sisa tiga nih, Aisyah, Lupita dan Alluna. Mereka bertiga ini aku yess.” Rekom Annaya yakin.

“Ngapain sisa tiga, kalo gini kakak harus mikir lagi Nay.” Hih, malasnya Aydan untuk memilih.

“Terus kakak mau aku yang pedekate, sesuai selera aku aja? Sorry ye, ku udah punya Bumi.” Tawa Annaya merebak, membawa nama suaminya.

“Iya ah.” Lanjut Aydan agak kesal.

“Mau deketin yang mana dulu nih spill donk.” Annaya penasaran.

Kemudian Aydan menguraikan apa yang ada dalam pikirannya yaitu dalam waktu dekat ia akan mulai menyamar menjadi cleaning servis di rumah sakit tersebut. Dengan dandanan sebagai lelaki culun, berkacamata dan juga gigi yang sedikit panjang agak maju kedepan. Sehingga ketampanannya tersamarkan. Aydan sudah matang memikirkan hal tersebut.

“Emang harus banget nyamarnya sedetail itu kak?” tanya Annaya mersa usaha Aydan itu berlebihan.

“Kakak jadi jelek banget lho nanti.” Annaya masih sibuk membayangkan rupa Aydan besok.

“Makin jelek kan, makin kelihatan siapa yang tulus terima kakak.” Jawab Aydan sambil tersenyum.

“Aduh nanti gimana donk?” Annaya bingung sendiri.

“Ya gak gimana-gimana juga.” Jawab Aydan lagi.

“Ga bakalan berhasil kak. Secara kakak nanti harus banyak bohong. Ntar aku aja yang bantu deketin mereka deh, trus nanya serius. Mau gak sama kak Ay.” Annaya malas mikir, baginya to the point lebih hemat waktu.

“Semua jawaban cewek-cewek itu pasti mau lah Nay. Secara kakak gitu looh.” Sambung Aydan.

“Tapi akan ribet kak.” Annaya masih belum setuju.

“No debat, Nay. Ini bukan tentang debat capres.” Ujar Aydan yang kemudian menghubungi seseorang untuk merenovasi ruanganya. Entah apa saja yang ada di pikiran Aydan selanjutnya.

Suasana rumah Hildimar selalu sepi di sore hari, hanya saat ada Anyelir b rumah itu terdengar rebut dengan celotehan si comel itu. Aydan melihat Muna sedang membaca di ruang tengah. Menunggu suaminya pulang yang tadi pamit bermain tenis bersama kolega bisnisnya.

Aydan mengambil bantal kursi lalu meletakannya di atas paha Muna lalu berbaring di sana. Anak sulung Muna itu masih saja manja padanya. Ibu yang selalu menjadi tempat curhat terbaiknya, baik dalam jarak dekat begini maupun saat ia kuliah di luar negeri mengambil Magister Managementnya. Aydan selalu rindu dengan wanita yang melahirkannya tersebut, selain bisa menjadi sahabatnya. Muna juga pintar pada bagian akademik, sehingga Muna sudah bagai mentor gratisnya.

“Mam.”

“Ape?” jawab Muna dengan masih memegang buku di tangannya.

“Spiil dapetin papap donk.” Santai Aydan mendekati ibunya.

“Ngape?” tanya Muna melorotkan kacamata bacanya dan memandang wajah Aydan.

“Ay mau kawin Mam.” Bahak Aydan menertawai dirinya sendiri.

“Doa aje Ay. Pasti dapet petunjuk.” Muna membelai lembut rambut Aydan layaknya anak kelas 4 SD, sebab Aydan kini sedang meletakan bantal kursi di atas paha Muna.

“Doanya gimana sih? Perasaan Ay udah sering minta deh sama Tuhan.” Jawab Aydan.

“Minta apa sih?”

“Jodoh lah mam. Ay udah 28 mam, masa gak ketemu dengan yang cocok sih?”

“Santai aja kali. Papap juga dulu udah 34 loh nikahin mamam.” Hibur Muna sambil mengingat masa lalunya bertemu dengan Kevin si penjahat wanita.

“Iih, Ay gak mau nikah setua papap, Mam.” Aydan kadang memang seperti anak kecil, masih suka merengek dan agak manja pada Muna.

“Stt Jangan sampe di denger papap bilang dia tua. Nanti ngambek lho.” Kekeh Muna yang hafal pada sifat Kevin yang makin kesini makin super manja dan sensian.

“Boleh lah Ay kasih batas maksimal, nikah di usia 30 gitu.” Lanjut Aydan berencana pada dirinya sendiri.

“Boleh banget. Semua orang boleh punya target Ay, tapi juga punya rancangan usaha. Sehingga kamu bisa liat progresnya, udah bener belum strateginya.” Lanjut Muna memberi saran.

“Ya begini kalo curhat sama emak-emak yang bukan kaleng-kaleng. Apa-apa tuh ada target dan progres, mama selalu luar biasa.” Puji Aydan pada sang mama.

“Ya harus donk, hidup bukan tentang kejar mimpi. Tapi real, kamu sudah ngapain aja selama hidup?” jiwa dakwah Muna tentu tersulut.

“Emang dulu, papap juga udah masuk dalam target mamam? Hingga jadi suami sampe sekarang?” tanya Aydan lebih detail.

“Ooh maaf ye, mamam yang jadi target papap lu. Bukan mamam yang nargetin die. Inget ye Ay, mamam di kejar, kagak ngejar. Mamam hampir kagak selese kuliah ude di nikahin.” Dialek Betawi Muna pun bangkit, saat pikirannya sudah ke masa manisnya di kejar Kevin.

“Emang boleh seeport itu papap ngejer mamam?” kekeh Aydan.

“Elu tenye ame papap deh. Dulu mamam cuma OB di Perusahaan nye.” Lanjut Muna sambil tertawa memberikan sedikit bocoran pada Aydan. Rupanya Aydan tidak pernah tau dengan detail bagaimana fenomenalnya Kevin mendapatkan Muna.

“Heh…!!! Anak muda. Lu ngapain bobo boboan di atas paha bini gua lu?” suara hardikan Kevin menyeruak saat ia baru tiba dari luar. Pria tua yang pernah tampan itu baru pulang olah raga tenis, terlihat dari perlengkapan yang masih tergantung di bahu kanannya.