Hilang

Suara digital doorlock terbuka, menampakkan wajah Senja yang cemas saat memasuki apartement Bara. Telepone dan chat dari Senja tidak digubris dari pagi oleh Bara, akhirnya Senja ke apartment tanpa memberi kabar lagi pada Bara.

Bara memang sengaja memberikan password apartement kepada Senja agar gadisnya bisa berkunjung kapanpun dia mau.

"Kak...kak..." tidak ada sahutan di ruang tamu dan dapur, kosong.

Kemudian Senja setengah berlari menuju kamar tidur kekasihnya.

"Kak...",

Suara gemericik di kamar mandi membuat Senja urung untuk memanggil kekasihnya lagi.

"Kak Surya pasti lagi mandi", pikirnya

"Ceklek", suara pintu kamar mandi terbuka memperlihatkan Bara yang bertelanjang dada, bagian tubuh bawahnya hanya terlilit handuk saja.

"Eh kak maaf, aku keluar aja dulu", Senja memalingkan wajahnya, menuju sofa ruang tamu, menunggu kekasihnya selesai bersalin pakaian.

Selang 10 menit Bara keluar dari kamarnya, duduk di sebelah Senja. Senja menangkap wajah murung Suryanya.

"Kak, koq aku hubungi dari pagi ngga dijawab?, aku cemas banget makanya langsung kesini", akhirnya Senja membuka suara.

Bara hanya diam menatap Senja.

"Kak...ada masalah apa?",

"Hanya masalah keluargaku saja",

Bara menarik nafas panjang, tak ingin melibatkan Senja dalam masalahnya, dia tau Senja adalah gadisnya yang baik dan thulus. Fikirannya juga berkecamuk, bagaimana kalau keluarganya benar - benar terpuruk tak terselamatkan? sementara sebagai seorang lelaki, dia merasa malu untuk menghadapi Senja, Senja dari keluarga kaya raya, tidak mungkin rasanya dia meneruskan hubungannya dengan Senja.

"Kakak bisa cerita apa masalahnya, sekiranya aku bisa membantu",

"Aku coba selesaikan dulu bersama keluargaku, kamu pulang aja dulu aku harus menghubungi keluargaku",

"Koq pulang?, justru di saat kakak seperti inilah aku harusnya ada di sisimu, biarkan aku tetap mendampingi kakak yah",

"Aku akan hubungi kamu nanti",

Bara tak terbantahkan, dia kembali menjadi kaku dan sedingin es

Senja memahami kekasihnya, dia akhirnya mengalah dan memberikan waktu sendiri untuk Suryanya.

"Kalau gitu aku pulang dulu yah, kakak inget makan, hubungi aku kapanpun kakak mau", Senja menatap kedua manik Bara dengan ketulusan, mengecup jemari Bara lalu beranjak dan menghilang dibalik pintu apartement.

Sebenarnya ingin sekali Bara memeluk Senja saat ini, Senja obat untuknya, tapi ke egoan lelakinya baru saja menumbangkan semua cinta yang dia memiliki, dia takut Senja hanya mengasihaninya.

"Argggghhhhhh", Bara mere mas rambutnya, dia benar - benar penat.

Suara telepone Bara berdering

"Hallo ibu",

"Nak....ibu ada di rumah sakit, Ayah kena serangan jantung, nak...", suara Ibunya panik di sebrang sana

"Ibu tenanglah, biarkan Dokter memeriksa Ayah terlebih dulu, Aku akan bersiap untuk pulang", Bara tidak bisa menunda apapun lagi, dia bergegas pulang saat itu juga, tak juga sempat mengabari Senjanya.

Perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam dari Jakarta ke Bogor terasa amat panjang untuk Bara, dia seperti orang gila menyetir mobilnya. langsung menuju Rumah Sakit tempat  Ayahnya mendapatkan pertolongan.

Di depan ruang IGD dia mendapati Gading bersama dengan Ibunya.

"Bro...", Gading berdiri menghampiri Baraa yang datang dengan nafas memburu.

"Gimana Ayah?",

Gading tidak langsung menjawab, sejenak melirik tantenya kemudian merangkul pundak Sepupunya setengah berbisik

"Buruk Bro maaf...,  ",

Gading hanya ingin menyampaikan kebenaran, agar Bara bisa mempersiapkan dirinya.

"Bara...", suara sang ibu terdengar lemah

"Ibu tenang yah, Bara sudah disini bersama kalian", Bara merangkul Ibunya, menciumi kedua pipi sang Ibu.

"Bagaimana Ibu bisa tenang nak, bagaimana jika terjadi sesuatu pada..."

"Ssssssttttttt", Bara menghentikan ucapan Ibunya

"Tenanglah", Lanjutnya, meski sejujurnya diapun tak tenang karena sudah beberapa jam mendapat pertolongan akan tetapi Ayahnya masih di fase kritis.

Kemudian pintu IGD terbuka, menampakkan seorang wanita tenaga medis keluar dari dalam ruangan tersebut.

Bara menghampirinya dengan raut kecemasan.

"Keluarga bapak Yuda Ambarawan?", Wanita itu bertanya

"Iya benar saya Bara anaknya suster", Bara meyakinkan

"Bapak Bara bisa ikut saya masuk ke dalam menemui pasien",

"Baik sus", Bara mengikuti langkah suster itu ke dalam, begitu pula dengan Ibunya yang mengekori mereka

"Maaf Ibu, hanya satu anggota keluarga yah", Suster mengingatkan ibu

Dengan terpaksa ibu mundur lagi, lewat tatapannya Bara meyakinkan sang Ibu untuk tetap berada diluar saja bersama Gading, tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka berdua, hanya tatapan mata untuk saling menguatkan.

Kemudian Bara masuk bersama tenaga medis tersebut.

Di dalam ruangan, Bara melihat ke seluruh penjuru, ada kurang lebih empat pasien yang tengah ditangani Dokter IGD dan Dokter lainnya, Bara mengikuti Suster tadi menuju bankar paling Pojok, menemukan sosok  Ayahnya yang lemah tak berdaya tengah berbaring lengkap dengan alat - alat medis di sekujur tubuhnya. Hati Bara mencelos.

Melihat seorang dokter tersenyum kecil ke arahnya, Bara mendekat dan menggenggam tangan Ayahnya.

Kemudian mengalihkan pandangan kepada Sang Dokter pertanda siap mendengarkan penjelasan.

"Mohoon maaf saya harus sampaikan keaadaan bapak Yuda, keadaanya yah seperti yang anda lihat, segala upaya terbaik telah kami berikan, hasilnya tidak seperti yang kita harapkan, secara medis sesungguhnya saya ragu mengapa beliau masih bertahan sejauh ini, tetapi sebagai seorang manusia, intuisi saya mengatakan bahwa Beliau sedang menunggu seseorang, mohon siapkan diri dan pergunakan waktu ini dengan baik", Dokter paruh baya itu mejelaskan panjang lebar kepada bara.

Bara terdiam, mendengar semua ucapan Dokter dengan hati tak karuan.

"Owh iya, kamu Bara kan?, Ayahmu sempat memanggil nama Bara sebanyak dua kali, segera temui ayahmu nak",  Dokter melanjutkan dan menepuk punggung Bara.

Bara hanya mengangguk dan mendekati Ayah.

Sementara semua tenaga medis memberi ruang untuk mereka berdua.

10 menit pertama Bara gunakan untuk menangis, tangisan terisak di sebelah  Ayahnya,  Ayah pasti mampu mendengar tangis takut dan pilunya Bara, karena Bara menangis disamping telinga sang Ayah, kakinya sujud tertekuk di sebelah Bankar.

Setelah bisa menguasai diri, Bara menghapus air matanya, menarik nafasnya dalam.

"Ayah segera pulih, Bara dan Ibu disini bersama Ayah"

Tak ada respon apalagi jawaban, hanya suara nafas ayah satu - satu, terputus - putus.

"Baiklah jika Ayah lelah, biar Bara yang bicara, selama ini Ayah yang banyak bicara sementara Bara akan memilih diam, karena Bara tau jika kita berdua adalah dua lelaki egois dan keras kepala, jika kita bertengkar maka yang paling terluka adalah bidadari kita, kita berdua sangat takut melihat Ibu bersedih kan?, kita berdua sangat mencintainya",

Bara membelai rambut putih Ayahnya, dia baru menyadari begitu banyak kerutan di wajah yang mulai menua itu.

"Tak perlu memikirkan apapun Yah, cukup Ayah segera sembuh, Bara tidak akan pernah membantah Ayah lagi, apapun maumu Ayah, semua akan berjalan seperti maumu, Bara tidak akan memutar bola mata lagi saat kita bersebrang pendapat, Bara tidak akan memaki di dalam hati jika Ayah memberi perintah, Bara takut kehilangan Ayah, jadi maafkan Bara dan segera bangun Yah",

Bara mengambil jeda, menarik nafas kembali, dan melanjutkan

***"Bara juga sudah memaafkan Ayah\, bentakan Ayah\, keras kepalamu\, semuanya tak sebanding dengan kerja kerasmu untuk Bara dan Ibu\, jadi kita sudah saling memaafkan yah Bray..."\, ***

Bara terkekeh sumbar mencoba menghibur sang Ayah, akan tetapi semenit kemudian..........

TIT..................................suara monitor yang menandakan Sang Ayah berhenti nafas.

"Ayah......, sudah kukatakan untuk sembuh, aku tak memberimu pilihan untuk mati", Bara mengguncang tubuh Ayahnya.

"Bangun ayah.....", Bara terus mengguncang guncang tubuh Ayahnya

Semua tenaga medis yang bertugas di ruangan itu bergegas mendekati, Dokter paruh baya tadipun memeriksa kembali, kemudian memberi tanda pada rekan medis lainnya bahwa pasien telah meninggal. semua alat - alat medis yang menempel di tubuh jenasah dibuka satu persatu.

Dan Bara masih menangis tergugu di lantai, menjambak rambutnya, hatinya teramat perih, lelaki gagah dan dingin itu berubah menjadi sosok yang rapuh, patah.

********************************************

Haiiiii Readers, maafkan Author terjeda - jeda menulis episode ini.

Entah mengapa saat menulis ini Author teringat moment saat Suami kehilangan Ayahnya.

Saya benar - benar melihat lelaki yang kuat melindungi saya dan anak seketika menjadi runtuh,

Author berdoa jika waktu yang ditentukan Tuhan telah tiba,  semoga kita semua selalu dikuatkan untuk berpisah dari orang - orang terkasih

Salam cinta dari Author

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!