Cladi duduk diapit oleh kedua orang tuanya. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan saling meremat. Terlihat dia sangat tegang dan kaku. Cladi sungguh ingin berlari dan menjauh dari tempat ini yang sudah disesaki tamu dari pihak keluarga laki-laki. Jadi dipastikan, jika lari pun sudah tidak ada pintu yang bisa dia lalui, kecuali dengan terpaksa menerima nasibnya hari ini.
"Baiklah, supaya tidak mengulur waktu. Kami dari pihak laki-laki ingin menyampaikan maksud kedatangan kami yang sebenarnya." Pak Kelana, bapaknya Karan membuka pembicaraan. Sejenak beliau menjeda ucapannya.
"Bahwasanya kedatangan kami ini, tidak lain dan tidak bukan ingin melamar Neng Cladi, anak dari Bapak Dani dan Ibu Diana untuk anak kami Karan Pratama. Besar harapan kami, jika lamaran ini bisa diterima dengan senang hati oleh Neng Cladi. Sebab kami sangat mengharapkan Neng Cladi menjadi bagian dari anggota keluarga kami. Begitu juga anak kami, Karan bisa menjadi bagian dari anggota keluarga ini lagi setelah istri pertamanya meninggal dunia. Jika tidak keberatan, Neng Cladi mau menerima lamaran kami dan naik ranjang menjadi istri dari Mas Karan Pratama?" Ungkapan dan beberapa pertanyaan telah disampaikan Pak Kelana panjang lebar di hadapan keluarga Cladi dengan niat yang segamblang-gamblangnya.
Cladi menunduk, ingin dia berteriak menolak lamaran itu saat ini juga. Namun, entah kenapa bibirnya seakan kelu dan susah dibuka. Sementara Karan menatap dengan ujung mata ke arah Cladi yang sejak tadi menunduk, dan berharap Cladi berbicara untuk menolak perjodohan yang sedang berlangsung ini.
"Ayo, dong, Cla, kamu langsung bicara dan tolak lamaran dari Papaku." Hati Karan berkata-kata, dengan harapan Cladi bicara dan menolak lamaran ini.
"Tentu saja anak gadis kami akan menerima lamaran anak Bapak, yaitu Mas Karan. Bukankah begitu, Neng?" jawab Pak Dani, lalu diakhir kalimat melemparkan pertanyaan pada Cladi seolah sebuah pertanyaan yang harus diiyakan. Pak Dani menatap Cladi yang sejak tadi hanya menunduk, dengan harapan Cladi segera menjawab dengan jawaban 'iya'.
Semua orang menantikan jawaban dari Cladi, terutama Karan, yang berharap Cladi menolak lamaran ini.
"Neng?" sapa Bu Diana sembari menyenggol lengan anaknya pelan. Cladi tersentak, dia seakan baru tersadar dari lamunan panjangnya.
"Iya, Bu?" Cladi menoleh lalu bertanya pada ibunya. Bu Diana geleng-geleng kepala melihat anak gadisnya yang kini hanya dia satu-satunya anak semata wayang Bu Diana dan Pak Dani.
"Itu, calon mertua kamu sedang menyampaikan niatnya Mas Karan untuk melamar kamu." Bu Diana mengingatkan anaknya atas niat dari keluarga Karan.
Perlahan Cladi mendongak, lalu menatap lurus ke depan, tatapannya tertuju pada Papa dan Mamanya Karan, tapi hanya sekilas. Lalu Cladi mengarahkan pandangannya ke jari tangannya yang sejak tadi berada di pahanya, fokusnya ke arah jemari yang dia permainkan sejak tadi dengan gelisah.
"Cla, apa yang ingin kamu sampaikan? Keluarga Mas Karan ingin melamar kamu." Lagi-lagi Bu Diana mengingatkan akan maksud kedatangan keluarga Karan.
Cladi bingung harus jawab apa, dia benar-benar ingin menolak lamaran ini.
"Ayo Tante, jadilah Mama kami. Bukankah Tante sayang sama kami?" Tiba-tiba Kappa bocah lelaki berumur tujuh tahun itu menyela mengungkapkan keinginannya dengan binar harap yang begitu dalam terhadap Cladi, tantenya sendiri yang selama ini begitu dekat dengan Kappa maupun Khalia.
Cladi merasa ungkapan Kappa merupakan sebuah todongan untuknya. Cladi semakin bingung dan tidak bisa berpikir jernih, sehingga apa yang diucapkannya tidak lagi fokus.
"I~Iya, tante mau jadi mama kalian." Jawaban Cladi sontak membuat dua bocah imut berbeda dua tahun itu bersorak gembira seraya menghampiri Cladi dan memeluk tangan kiri dan kanan Cladi dengan bahagia.
Sementara Karan mengepalkan tangannya tanda tidak suka, hatinya geram dengan persetujuan Cladi. Terpaksa mau tidak mau dia harus mengikuti proses lamaran ini, sebab kedua anaknya maupun orang tuanya sudah sepertinya sudah sangat gembira dengan diterimanya lamaran Karan oleh Cladi.
"Horeeee, tante mau jadi Mama kita," pekiknya senang.
"Jadi, Neng Cladi menerima lamaran anak kami, Mas Karan?" Bu Kori mencoba meyakinkan. Cladi hanya mengangguk pelan dengan tatapan ke arah dua bocah imut yang kini sedang mempermainkan tangannya.
"Asikkkk, sekarang kita punya Mama lagi," teriak Kappa kepada adiknya Khalia. Mereka saling lempar tatap bahagia dengan muka polosnya.
"Baiklah kalau begitu, sebaiknya Kappa dan Khalia pergi dulu dari pangkuan Tante Cladi, sebab Papa kalian akan menyematkan sebuah cincin lamaran di jari manis Tante Cladi," ujar Bu Kori sembari meraih kedua cucuknya menjauh dati Cladi.
Dan pada akhirnya lamaran itu berjalan seperti apa yang diinginkan orang tua kedua belah pihak. Semua tertawa bahagia dengan kegembiraan hari ini menurut versi mereka. Sementara versi Karan dan Cladi, ini semua merupakan awal dari penderitaan mereka.
Seminggu kemudian, akhirnya pernikahan sederhana yang hanya mengundang keluarga besar dan teman-teman dekat Karan maupun Cladi, terlaksana. Karan akhirnya mengucap ikrar ijab qabul di hadapan Penghulu, saksi, dan semua hadirin yang menyaksikan momen sakral itu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Cladi Diani Binti Dani, dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan perhiasan emas seberat 30 gram dibayar TUNAI." Lantang dan tidak ada hambatan ikrar ijab qabul yang diucapkan Karan di hadapan Penghulu dan semua orang, yang kemudian dilanjut dengan teriakan "sah" dari para saksi dan hadirin.
"Sah, sah." Semua berpekik sah saat Karan menyudahi ijab qabulnya. Kemudian Pak Penghulu membacakan doa sebagai wujud rasa sukur dan doa kebaikan untuk kedua mempelai.
Para tamu undangan yang hadir segera diarahkan ke ruangan prasmanan untuk dipersilahkan menikmati hidangan yang ada.
Usai acara pernikahan yang terbilang mulus, kedua mempelai ditodong menginap dua malam di sebuah hotel berbintang tujuh di kota ini, sebagai reward buat kedua mempelai untuk menikmati bulan madu mereka.
"Cuih, bulan madu? Bahkan aku saja tidak mau menyentuhmu," ucap Karan ketus.
"Apalagi aku, mana mau aku disentuh oleh lelaki bekas Kakak aku," balas Cladi tidak kalah ketus sembari beranjak ke kamar mandi. Karan terbelalak mendengar ucapan Cladi yang dulu dia kenal sangat lemah lembut dan baik, tapi kini berubah garang.
"Sialan, aku dibilang bekas. Jangan percaya diri dulu, aku tahu perempuan seperti kamu pasti sudah pernah disentuh oleh seorang pria. Di depan saja ngakunya masih polos, padahal di belakang mainnya sudah jauh. Huhhh, mana ada jaman begini masih perawan," ejeknya dalam hati memendam rasa kesal.
"Awas, ya, jangan melebihi batas tempat tidur aku. Jika Mas Karan sampai menyentuh batas ini, maka hukumannya tidur di lantai itu," tukas Cladi sengit saat mereka bersepakat tidur dalam satu ranjang, tapi dibatasi sebuah bantal guling.
Karan mendengus kesal, kali ini Cladi memang benar-benar menyebalkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
Vytha Kamilla
lama lama juga bucin dia...apalagi setelah tau nikmatnya....
2024-04-17
4
auliasiamatir
aku tunggu bucin mu karan
2024-01-06
2
anggita
cladi😒.... karan😤.
2024-01-03
1