Dilema

Berada ditengah-tengah keluarga Daffin, membuat Naya dilanda rasa gugup. Meski disana hanya ada Daffin dan kedua orang tuanya saja, tetap saja Naya merasa canggung. Belum lagi hubungannya dengan Daffin yang tidak pernah akur, tentu hal ini membuat Naya merasa semakin tidak nyaman berada ditengah-tengah mereka.

Sepanjang Naya mengobrol dengan bu Lina dan pak Malik, Daffin terus saja menatap tajam kearah Naya. Begitu juga Naya, gadis itu tak kalah ikutan memasang wajah juteknya saat membalas tatapan dari Daffin.

Namun tanpa disadari tingkah mereka ini ternyata mendapat perhatian dari bu Lina yang diam-diam mengamati keduanya.

"Fin, mama perhatiin dari tadi kamu ngelihatin Naya terus. Jangan bilang kalau kamu lagi terpesona sama Naya?" Bu Lina sengaja mengatakan itu karena ingin menggoda putranya dan juga Naya. Meski sebenarnya bu Lina tau betul jika diantara keduanya seperti sedang ada perang dingin.

"Apaan sih mah." Daffin kesal, namun tak berani bicara panjang lebar. Diapun memilih memasukkan puding kedalam mulutnya. Sepertinya itu lebih enak dibandingkan harus meladeni mamanya.

"Sayang, ayo dimakan. Dari tadi tante perhatiin kamu banyak diemnya dari pada makannya." Bu Lina kini beralih pada Naya yang terlihat hanya diam sambil tangannya memegang sendok yang berisi potongan puding yang tak kunjung dimakannya.

"Ah iya tan, ini juga mau dimakan." Perlahan tapi pasti, potongan puding itu masuk kedalam mulut Naya.

"Sayang, gimana kuliahnya?" Tanya bu Lina basa-basi. Karena sebenarnya pertanyaannya itu hanya untuk menahan agar Naya tak kembali berniat untuk pulang.

"Alhamdulillah lancar-lancar aja Tan."

"Syukurlah kalau begitu. Kalau tante bisa kasih saran, entar kalau kamu udah waktunya magang, mending tante saranin kamu magangnya dikantor Daffin saja. Biar Daffin langsung yang bimbing kamu nanti."

Mendengar itu, tentu saja membuat Naya dan Daffin sama-sama kaget. Mereka berdua tidak habis pikir, kok bisa pikiran bu Lina sampai keranah ini.

"Mah plis deh gak usah aneh-aneh. Lagian mama ngapain sih sibuk mikirin masalah magangnya Naya. Emang mama dosennya apa." Lagi-lagi Daffin dibuat kesal oleh mamanya ini. Karena sejak tadi ada saja hal aneh yang dibuat oleh mamanya ini.

"Loh kok dibilang aneh sih. Mama kan cuman mencoba memberi saran sama Naya. Kali aja Naya tertarik dan mau mempertimbangkan usulan mama ini. Iya kan sayang?" Diakhir kalimat yang diucapkannya, bu Lina nampak meminta dukungan kepada Naya.

Karena gugup, Naya hanya menanggapinya dengan tersenyum. Meski dalam hati sebenarnya Naya menolak keras saran dari tante Lina ini. Karena mana mungkin dirinya akan memilih tempat magang dikantor milik Daffin. Bisa-bisa yang terjadi mereka malah akan bertengkar setiap hari.

"Tuh kamu lihat, Naya aja gak protes, ini kenapa malah kamu yang sewot sama mama."

"Tante, apa Naya boleh pulang? Sepertinya ini udah sangat sore." Meski sedikit ragu, Naya memberanikan untuk meminta izin pulang.

Selain itu Naya sengaja ingin mengalihkan pembicaraan. Naya tidak ingin pembahasan ini akan semakin panjang lebar nantinya. Karena belum apa-apa Daffin dan mamanya sudah mulai terlibat perdebatan.

"Loh, kok buru-buru sih sayang, kan pudingnya belum habis."

"Kayaknya Naya udah lama disininya tan, Naya takut bunda khawatir. Entar Naya malah dikira dari mana kok sampek jam segini belum balik-balik."

"Yasudah tante antar sampek depan ya."

"Gak usah tan, kayak siapa aja pakek dianter segala." diperlakukan seperti itu didepan Daffin dan papanya, membuat Naya merasa tidak enak sendiri. Namun nyatanya bu Lina sama sekali tidak memperdulikan itu. Karena saat ini bu Lina benar-benar mengikuti Naya sampai didepan gerbang rumahnya.

Daffin yang melihat tingkah sang mama hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Kamu kenapa Fin?" Tanya pak Malik begitu melihat anaknya yang tiba-tiba saja terlihat geleng-geleng kepala.

"Lagi ngerasa aneh aja lihat mama yang sebegitu sayangnya sama itu anak." Daffin tanpa sadar meluapkan apa yang selama ini ada didalam fikirannya.

Huft......

Pak Malik terlihat bernafas berat sebelum berbicara.

"Fin, kamu mau tau kenapa mamamu sampai sebegitunya sama Naya?"

"Emangnya kenapa pah?" Meski sebenarnya Daffin faham ada apa sebenarnya dibalik sikap baik sang mama pada Naya, namun Daffin memilih tidak tau saja. Dia hanya ingin memastikan apakah dugaannya selama ini benar.

"Mamamu ingin sekali punya anak perempuan dan saat pertama kali melihat Naya, mamamu langsung menyukainya. Bahkan mamamu sering bilang sama papa kalau dia begitu ingin menjadikan Naya sebagai menantunya."

"Pah, Naya itu tetangga kita. Masak iya Daffin nikahnya sama tetangga. Buat apa Daffin kuliah jauh-jauh sampai keluar negeri, kalau ujung-ujungnya nikah dapatnya tetangga." Kini Daffin mulai mengeluarkan unek-uneknya kepada sang papa. Hingga tanpa disadari ada satu pasang telinga yang sejak tadi mendengar semua pembicaraannya.

"Terus kalau kuliahnya diluar negeri, kamu lantas nikahnya harus sama bule, gitu?" Bu Lina langsung saja menanggapi perkataan putranya yang diam-diam tengah menyampaikan unek-uneknya pada sang papa.

"Ya gak harus bule juga mah." Ucap Daffin dengan nyali mulai menciut. Pasalnya jika sang mama sudah mulai menaikkan satu oktaf suaranya, itu berarti mamanya ini sudah mulai tersulut emosi.

"Fin, mama sama papa nguliahin kamu keluar negeri itu sama sekali gak ada hubungannya sama kamu yang harus nikah dengan orang mana. Buat mama, siapapun perempuan itu asal dia baik dan tulus, sayang sama kamu dan keluarga kita. Kamu itu anak mama satu-satunya. Mama mau kamu dapat yang terbaik. Dan sejauh ini menurut mama Naya lah perempuan yang paling tepat untuk jadi istri kamu."

Bu Lina berbicara dengan wajah yang terlihat sedikit sendu. Bahkan sesaat setelah mengatakan itu, bu Lina seperti sedang memijit pelipisnya.

Dan benar saja, rupanya kepala bu Lina tiba-tiba merasa pusing. Sehingga bu Lina menyandarkan kepalanya pada sofa yang tengah didudukinya.

Sungguh keadaan seperti inilah yang mampu membuat hati Daffin terasa begitu sesak. Sejak dulu dirinya paling tidak tega jika sudah melihat mamanya bersedih. Dan inilah keadaan yang paling tidak diinginkannya, berada dalam kondisi yang begitu dilema.

"Mah, udah-udah. Mama jangan terlalu kepikiran kayak gini. Nanti darah tinggi mama bisa kambuh lagi. Lebih baik kita istirahat, nanti papa bantu pijitin mama biar gak pusing lagi." Pak malik yang faham dengan kondisi istrinya langsung membawa istrinya ini kekamarnya.

"Fin, kamu juga sana istirahat. Nanti kita bicara pas makan malam."

Sebelum benar-benar beranjak, Pak Malik juga menyuruh putranya agar beristirahat dikamarnya.

Didalam kamar, Daffin masih kepikiran dengan keadaan sang mama. Sejauh ini memang Daffin sudah tau jika mamanya ini punya riwayat darah tinggi.

Daffin tentu saja khawatir, jika masalah ini terus berlanjut akan semakin membuat sang mama menjadi terbebani. Dan tidak menutup kemungkinan ini bisa memicu darah tinggi sang mama akan kambuh lagi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!