Calon Mantu

Saat ini Daffin sudah berada dikantornya. Kedatangannya langsung disambut oleh Raisa.

"Selamat pagi pak Daffin?" Dengan tingkah centil dan suara yang dibuat mendayu-dayu, Raisa menyapa Daffin begitu melihat pria itu hendak masuk kedalam ruangannya.

Daffin hanya menanggapi sapaan Raisa dengan menarik sebelah sudut bibirnya saja. Sangat terlihat sekali jika sebenarnya Daffin malas untuk merespon sapaan Raisa.

Namun tak berselang lama saat Daffin baru saja duduk dikursi kebesarannya, tiba-tiba pintu ruangannya ada yang mengetuk.

Daffin mempersilahkannya masuk karena mengira jika yang datang itu adalah Farel. Namun begitu melihat siapa yang masuk Daffin langsung menghembuskan nafas kasar.

"Pak Daffin, ini aku bikinin teh manis. Siapa tau ini bisa membuat bapak semangat kerjanya." Seperti biasa Raisa selalu mencari cela agar bisa dekat dengan pria incarannya itu.

"Kenapa mesti kamu yang bikin? Bukannya ada OB?" Daffin menatap heran pada Raisa. Sungguh perempuan dihadapannya ini selalu saja mencari cara untuk bisa mendekatinya.

"Aku cuman berinisiatif saja." Kini Raisa mulai berani berbicara nonformal pada Daffin yang jelas-jelas adalah bosnya dikantor.

Tanpa mempedulikan Raisa, Daffin memilih menyibukkan diri dengan memeriksa berkas-berkas yang ada didepannya. Bagi Daffin tidak akan ada selesainya jika menanggapi seorang Raisa.

"Oh iya, apa nanti pas makan siang sekalian aku bawain makanan kesini?" lihat saja, bahkan meski sudah di cuekin Raisa dengan tanpa malunya malah semakin mendekat kearah Daffin. Tentu saja hal ini semakin membuat Daffin risih. Hingga dengan tegas dia langsung menolak tawaran dari Raisa.

"Oh iya jika sudah selesai kamu boleh keluar dari sini." Tak ingin Raisa semakin berlama-lama, Daffin langsung saja menyuruh sekertarisnya ini untuk keluar dari ruangannya.

Terlihat jelas jika Raisa merasa kesal saat Daffin memintanya untuk keluar. Namun sebisa mungkin Raisa untuk menahannya.

Awas aja kamu, sekarang kamu bisa usir-usir aku seenaknya. Tapi nanti setelah kamu jadi milik aku, aku pastikan kamu gak akan pernah bisa jauh dari aku.

Sampai dimeja kerjanya, Raisa masih terlihat menggerutu sendiri. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa seorang Daffin menolaknya. Padahal jika berkaca dicermin, dirinya merasa sudah sangat cantik, bodinya juga seksi. Belum lagi gayanya yang begitu modis. Maklum saja, dia memang terlahir sebagai anak dari seorang pengusaha yang lumayan sukses.

Raisa sengaja bekerja dikantor Daffin hanya karena ingin memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendekati pria itu. Meski sampai saat ini usahanya masih gagal, namun sedikitpun dia tidak pernah menyerah.

"Kerja yang bener. Dari tadi malah ngoceh-ngoceh sendiri. Apa lho udah sin-ting."

Suara Farel yang tiba-tiba, membuat Raisa kaget. Pasalnya Farel dengan sengaja menggebrak mejanya saat dirinya tengah sibuk meluapkan kekesalannya pada Daffin.

"Apaan sih bikin kaget orang saja." Kesal Raisa.

"Makanya kerja yang bener. Perusahaan tidak berkenan membayar seorang karyawan yang kerjaannya cuman duduk-duduk sambil ngoceh-ngoceh gak jelas." Tegas Farel.

Namun bukannya takut, Raisa malah dengan beraninya menjawab apa yang dikatakan oleh Farel.

"Sayangnya gue gak butuh uang. Dan siapa lho berani marahin gue." Raisa yang sombong dan angkuh tentu saja tak lantas diam saja mendapat teguran dari Farel.

"Yang jelas posisi gue disini lebih tinggi dibanding lho."

Skakmat

Jawaban Farel kali ini sudah tidak bisa dibantah lagi oleh Raisa. Wanita itu langsung bungkam sembari memasang wajah sinis pada Farel.

Sementara Farel sendiri langsung meninggalkan tempat itu dan langsung bergegas menuju ruangan Daffin. Hal itu lantaran memang beberapa waktu lalu Daffin memanggilnya lewat pesan agar dirinya segera keruangan bosnya itu untuk menemuinya.

Ditempat lain, Naya sudah terlihat pulang kerumahnya. Hari ini hanya ada satu mata kuliah saja dan oleh sebab itu pulangnya tidak sampai sore.

Saat dirinya baru sampai diruang tamu rumahnya, sayup-sayup terdengar suara dua orang tengah berbincang asik. Bahkan saking asiknya hingga beberapa kali terdengar tawa dari mereka.

Naya yang penasaran tentu saja langsung masuk begitu saja. Tak lupa sebelumnya Naya mengucap salam.

"Loh...udah pulang kamu Nay? Sapa sang bunda pada putri kesayangannya.

"Iya mah. Kan satu mata kuliah saja." Jawab Naya sembari meraih tangan sang bunda untuk diciumnya.

"Eh ada tante Lina." Naya kemudian beralih menyalami tamu sang sama yang tak lain adalah tetangga sebelah rumahnya.

"Iya, ini tante bawain kamu puding. Tadi pagi tante bikinnya banyak. Sekalian deh buat kamu juga."

Inilah yang membuat Naya selalu merasa tak enak hati pada bu Lina. Sejak dulu beliau selalu bersikap ramah padanya. Bahkan Naya merasa perlakuan bu Lina terhadapnya sudah seperti seorang ibu yang menyayangi putrinya sendiri.

"Makasih Tan. Harusnya tante tidak perlu repot-repot kayak gini."

"Apanya yang repot sih. Masak sama calon mantu mesti dianggap repot. Ya kan bu Nia?" Candaan itu yang selalu bu Lina lontarkan saat bersama Naya.

Bu Lina selalu memanggil Naya dengan sebutan calon mantu. Dan menurut Naya itu hanyalah candaan saja. Meski terkadang hati Naya merasa kalau sebenarnya bu Lina tidak menganggapnya itu sebagai candaan.

Bukan tanpa alasan hati Naya menyangka seperti itu. Karena sudah beberapa kali bu Lina mengatakan jika dirinya ingin menjodohkan Daffin dengannya.

Namun sejauh ini Naya mencoba menepis semua dugaannya. Karena bagaimanapun juga menurut Naya mereka bertetangga. Jadi mana mungkin hal-hal seperti itu terjadi pada dirinya dan Daffin. Belum lagi baik dirinya maupun Daffin sama-sama tidak saling menyukai. Bahkan terkesan saling bersikap cuek. Terutama Daffin yang selalu bersikap dingin padanya.

Menjelang sore Daffin sudah pulang dari kantor. Dirinya pulang lebih awal karena Farel yang sebagai asistennya mengatakan jika hari ini sudah tidak ada pekerjaan lagi.

"Tumben pulang cepet Fin?" Tanya sang mama yang rupanya juga baru pulang dari rumah tetangganya.

"Udah gak ada kerjaan lagi mah."

"Ngomong-ngomong apa udah ada nih calon yang mau dikenalin sama mama?" Daffin mulai merasa risih saat mamanya kembali mengingatkan hal ini.

"Mah....Apaan sih bahas-bahas itu lagi. Lagian ini kan belum sampai pada ambang batas waktu yang mama berikan sama aku."

Jujur, selama perjanjiannya dengan sang mama dimulai. Daffin tak sekalipun mencoba mencari perempuan untuk dia kenalkan pada sang mama.

Menurut Daffin waktunya terasa sangat berharga jika harus digunakan untuk hal seperti itu. Meski taruhannya adalah masa depannya namun Daffin seolah tak peduli itu.

Biarlah waktu yang akan menjawab semuanya. Sepertinya itu adalah kalimat yang mungkin ada dalam benak Daffin. Buktinya sejauh ini Daffin terlihat santai. Daffin seolah sama sekali tidak memikirkan jangka waktu lima belas hari yang diberikan sang mama pada dirinya untuk mengenalkan orang terdekatnya.

Daffinpun memilih segera beranjak menuju kamarnya. Karena jika berlama-lama disitu, akan muncul banyak pertanyaan lagi dari mamanya.

Sementara Daffin pergi menuju kamarnya, sayup-sayup terdengar pintu rumah bu Lina seperti ada yang mengetuk.

"Biar saya saja buk yang bukain pintunya." Asisten dirumah bu Lina yang pergi kedepan untuk melihat sekaligus membukakan pintu untuk tamu itu.

"Permisi, apa ini rumah Daffin?" Tanya tamu itu begitu pintu rumah terbuka.

"Benar, ini siapa ya?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!