Pucuk dicinta ulam pun tiba. Sejak pagi tadi bu Lina memang sudah berniat ingin mengajak putranya untuk berkunjung kerumah tetangga sebelah. Diapun sempat dibuat bingung untuk mencari cara bagaimana sekiranya nanti putranya langsung mau untuk diajak tanpa ada drama perdebatan.
Sungguh insiden dimana Daffin hampir menabrak Naya yang berujung kaki sigadis cantik itu mengalami keseleo dan bengkak membawa berkah tersendiri bagi bu Lina. Pasalnya, insiden ini bu Lina gunakan sebagai alasan agar dirinya bisa mengajak putranya kesana.
Dan disinilah mereka berdua sekarang, didepan rumah berlantai dua dengan dinding yang didominasi warna putih abu.
Sebenarnya saat dikantor, Daffin sempat kepikiran dengan kondisi Naya. Hal itu lantaran dirinya yang tidak sengaja melihat kaki Naya seperti agak bengkak.
"Loh...Bu Lina kenapa gak langsung masuk, kayak lagi kerumah siapa aja."
Bu Dania berfikir tamu yang datang siapa karena dia mendengar pintu rumahnya diketuk dua kali. Setelah memastikan, ternyata yang datang adalah tetangga sekaligus merangkap sebagai besty nya.
"Rasanya kurang sopan bu kalau kita langsung nyelonong rumah orang gitu aja."
"Oh iya, ini saya kesininya juga sekalian ngajak Daffin. Dia mau minta maaf sama bu Dania karena udah bikin kaki Naya sampek kayak gitu." Bu Lina terlihat menyenggol lengan putranya karena sedari tadi hanya terlihat diam saja.
"Ah iya tante, aku mau minta maaf atas kejadian tadi pagi."
"Gak pa-pa, lagian cuman keseleo biasa. Mungkin juga tadi Naya bawa motornya yang kurang hati-hati."
Mereka berdua diajak masuk. Daffin memilih duduk diruang tamu, sementara mamanya jangan ditanya lagi. Bu Lina langsung terlihat menuju ruang tengah dimana gadis itu terlihat sedang menonton televisi.
"Sayang....nonton apa sih kok serius banget."
Mendengar suara bu Lina, membuat Naya yang awalnya fokus pada serial yang sedang ditontonnya, seketika menjadi kaget.
"Eh ada tante Lina. Maaf, Naya gak tau kalau tante datang." Dengan cepat Naya mengambil remot dan mematikan siaran televisinya.
"Iya, tante datang lagi. Dan kali ini tante bawa Daffin."
Mendengar nama Daffin disebut, ada rasa kesal dihati Naya. Namun sebisa mungkin Naya memasang senyum terbaiknya demi bisa menghargai wanita baik yang ada dihadapannya saat ini.
"Fin...sini kamu. Katanya tadi mau minta maaf sama Naya." Terdengar suara mamanya memanggil.
Dengan langkah malas, Daffin berjalan menuju ruang tengah dimana Naya berada.
"Nah ini dia anaknya. Dari tadi dia udah nungguin tante, biar bisa kesini. Katanya mau minta maaf karena udah bikin Naya kakinya bengkak kayak gini."
Entah dapat skenario dari mana, yang jelas apa yang dikatakan mamanya ini sama sekali bertolak belakang dengan kenyataannya. Daffin mau datang kerumah tetangganya ini karena ajakan sang mama yang apabila ditolak pasti akan berujung mamanya ceramah panjang lebar.
Dengan ekspresi datar dan seperti sedang menahan rasa kesal, Daffin pun terlihat mengulurkan tangannya untuk meminta maaf pada gadis yang saat ini sedang duduk dihadapannya.
"Gue minta maaf." Singkat, padat dan terkesan dingin. Begitulah Naya menangkap ekspresi dari ucapan permintaan maaf Daffin.
"Hem...." Hanya satu kata itu yang bisa Naya ucapkan. Namun kendati demikian, senyum tetap Naya sunggingkan meski hanya sekilas.
"Ini nak Daffin kapan yang datang? Kok tante baru lihat sekarang." Tanya bu Dania yang terlihat dari arah dapur sembari tangannya membawa nampan berisi dua cangkir teh dan piring berisi cemilan.
"Baru empat hari yang lalu Tan. Maaf baru sempat sekarang kesininya." Ucap Daffin merasa tak enak hati.
"Gak pa-pa. Tante faham, pasti nak Daffin sibuk. Soalnya bu Lina bilang setelah pulang akan langsung diminta bantu papanya diperusahaan." Bu Dania mengatakan itu agar tak membuat Daffin merasa tidak enak hati.
"Ayo-ayo diminum dulu tehnya. Ini juga tante tadi habis bikin keu kering. Ayo silahkan dicicipi." Dengan ramah bu Dania menawarkan suguhannya kepada tamunya ini.
Akhirnya terjadilah perbincangan hangat antar tetangga itu dengan didominasi para ibu-ibu. Sementara Naya dan Daffin hanya menjawab saat ditanya saja.
"Oh iya sayang, selama kaki kamu sakit biar Daffin yang antar jemput kamu kekampus. Ya anggap saja itu sebagai bentuk tanggung jawab Daffin atas kesalahannya yang udah bikin kamu kayak gini."
Entah skenario apalagi yang coba mamanya mainkan. Namun sebelum Daffin menjawab, bu Lina dengan cepat memberikan isyarat kedipan mata pada Daffin agar dia tidak membantah perkataan mamanya.
"Bukan begitu Fin?" Bu Lina bertanya seolah meminta kebenaran jika yang diucapkannya tadi atas dasar keinginan putranya. Dan dirinya hanya berusaha menyampaikannya saja.
"Iy-iya mah." Daffin terlihat begitu gugup. Pasalnya kali ini dirinya bukan mendapat isyarat kedipan mata lagi dari sang mama, melainkan tatapan tajam yang terlihat membunuh.
"Gimana bu, apa Daffin boleh antar jemput Naya kuliah selama kakinya masih sakit?" Bukannya meminta persetujuan Naya, bu Lina malah meminta persetujuan bundanya.
Bu Dania dilanda rasa bingung. Pasalnya ingin menolak tapi tak enak hati karena tetangganya ini sudah berbaik hati. Tapi mau diiyakan dirinya merasa khawatir akan menimbulkan fitnah dikalangan ibu-ibu kompleks tempatnya tinggal, jika meraka sampai tau putrinya berangkat kuliah diantar jemput oleh Daffin.
"Gimana ya bu, apa ini tidak akan merepotkan nak Daffin. Dia kan harus bekerja, saya khawatir ini akan mengganggu pekerjaan nak Daffin." Dalam hati bu Dania berharap alasannya ini bisa dijadikan pertimbangan untuk Daffin jika harus antar jemput putrinya kekampus.
"Betul tante. Lagian kaki Naya udah gak sakit kok. Besok juga sudah bisa bawa motor sendiri. Atau kalau enggak Naya bisa bareng sama papa aja. Pulangnya kan bisa naik ojol." Naya yang memang merasa sangat keberatan jika harus pulang pergi kekampus dengan diantar Daffin, tentu saja dengan cepat langsung memberikan alasan yang didalamnya secara tidak langsung berisi penolakannya.
"Gak bakal mengganggu. Lagian itu kantor punya sendiri. Jadi gak masalah dong, kan cuman beberapa hari sampai Naya benar-benar sembuh." Bu Lina sepertinya tak bisa menyerah begitu saja.
"Baiklah, tapi saya mau minta persetujuan ayahnya Naya dulu. Gak pa-pakan bu Lina?" Kali ini hanya suaminya, Pak Erwin yang bisa memutuskan apakah diperbolehkan atau tidak.
"Lah ini kebetulan pak Erwinnya sudah datang."
Setelah melihat pak Erwin duduk bersama mereka, bu Lina pun langsung menjelaskan niat dan tujuannya tadi.
Rupanya perasaan pak Erwin sama dengan istrinya. Mereka sama-sama menghawatirkan akan gosip yang bisa saja beredar jika sampai Naya dan Daffin pergi dan pulang bersama setiap hari. Mengingat mereka bertetangga dekat sekali. Namun bedanya, jika bu Dania hanya bisa berkata dalam hati, tapi pak Erwin justru dengan gamblang menjelaskan semua kecemasannya.
"Gak pa-pa. Kalau tetangga pada ngomongin Daffin sama Naya, biar saya nanti yang jelasin kemerekanya. Dan kalaupun nanti beneran ada gosip kami siap tanggung jawab. Sekalian aja mereka dinikahin juga gak pa-pa. Lagian mereka juga sama-sama singel kan."
Uhuk-uhuk.....
Mendengar ocehan mamanya yang panjang lebar tanpa filter, membuat Naya dan Daffin secara bersamaan jadi terbatuk karena kaget hingga mereka sama-sama tersedak ludah mereka sendiri.
"Mah, ngomong apaan sih." Meski kesal, namun Daffin tetap berusaha berbicara dengan nada datar.
Tak hanya Daffin, bu Dania dan pak Erwin juga lumayan dibuat kaget saat mendengar perkataan dari bu Lina ini.
Namun bu Lina yang tak mudah menyerah begitu saja, akhirnya berhasil membuat Daffin untuk beberapa hari kedepan akan mengantar sekaligus menjemput Naya kekampusnya. Dan setelah dirasa semuanya berjalan lancar meski tanpa skenario yang direncanakan alias skenario dadakan, bu Lina pun memilih pamit dengan diikuti oleh Daffin, putranya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments