Ibu dan kembar tiba dirumah sesaat setelah masakanku siap. Ayahku belum pulang bekerja. Mungkin beliau sedang banyak pasien dibengkel tempatnya bekerja. Nina, adikku juga belum pulang kerja. Dia bekerja di sebuah perusahaan.
Kami makan malam setelah sholat maghrib. Riuh sekali suasana makan malam di rumah ini.
“Masakan Mama memang paling top," Jenny mengacungkan jempolnya.
“Jadi masakan Uti ngga enak ni?" Ibuku pura pura marah.
“Masakan Uti juga paling enak sedunia," Jempol Jen beralih ke Utinya. Uti adalah panggilan untuk nenek di kampung halaman ibu dan ayahku.
“Jen kalau makan jangan sambil bicara, nanti tersedak loh," Aku memperingatkan Jen.
“Iya Ma, di sekolah Jen memang paling cerewet,” Jaden kembaran Jen.
Jen menoleh ke arah Jaden yang berada disampingnya. "Aku ngga cerewet, Je. Daren saja yang suka membuatku kesal.” Jen merengut di kursinya. "Ngajak ribut terus.”
“Kamu juga suka usilin Daren kan Jen," Jeje mendebat kembaranya.
“Kan dia yang mulai duluan, aku hanya membalas saja," Jen masih tak mau kalah.
“Udah, udah, kalian ini suka banget berantem, sih! Ayo cepat selesaikan makannya, terus sambung belajarnya, Oke!" Aku menengahi mereka yang sedari tadi membuat kupingku berdengung.
Ibu hanya geleng-geleng melihat ini. Tersungging senyum di bibir beliau.
“Ma, Excel ke kamar dulu ya, mau lanjut belajar,” Excel beranjak dari kursinya.
“Iya sayang," Aku menganggukinya.
“Jeje juga udah Ma,” Jeje bangkit dari kursinya.
“Iya sayang, hati-hati, jangan berlari,” Ucapku saat melihat Jaden yang melesat menyusul kakaknya.
Aku berdiri untuk mengemasi piring bekas makan malam. Jen tampak lesu. Mungkin ada yang sedang mengganggu pikirannya. Baru saja aku mau membuka mulut untuk bertanya pada Jen,
“Jen, kenapa ngga di habiskan makannya?” Ibuku bertanya pada Jen. Jen terlihat enggan menyelasaikan makannya.
“Jen, kenyang Ti," Jawab Jen pelan sambil menunduk. "Ti, bener ya Ti, Papa ngga sayang sama kita lagi?” Jen menatap Utinya.
“Siapa yang bilang, Papa kan lagi cari uang buat sekolahnya Jen.” Ibu memeluk cucunya itu penuh kasih sayang.
Aku hanya terpaku menatap kosong ke arah piring piring yang kukemasi. Sampai kapan aku akan membohongi Jen. Hanya Jen yang belum paham tentang perceraian Mama Papanya. Jaden mungkin tidak terlalu peduli karena sejak dia bayi, jarang sekali Papanya mau bermain dengan Jaden. Ya, Mas Rian hanya menyayangi Excel dan Jenny. Sedangkan Jaden sejak berusia 6 bulan sering sakit, sering rewel dan perkembangannya lambat.
“Kalau Papa kerja dan cari uang, kenapa Mama masih kerja juga Ti?" Tanya Jen lagi.
“Mama hanya membantu Papa Jen, kalau uangnya udah buanyak Papa akan kembali menemui Jen,” Ibuku menjelaskan pada Jen.
“Jadi biar cepet banyak dan cepet pulang gitu ya, Ti?" Cicit Jen.
“Iya Sayang, sekarang Jen belajar yang rajin biar jadi anak yang pintar," Ibu membelai wajah Jen.
“Baik Ti, Jen ke kamar dulu ya," Jen merosot dari kursinya. Lalu berlari menuju kamar.
“Mau sampai kapan kamu akan berbohong sama Jen, Ra?” Tanya Ibu saat Jen sudah menghilang dari pandangan kami.
“Aku juga ngga tau Bu. Aku ngga tau bagaimana cara mengatakan pada Jen, Bu. Mungkin biar mereka tau sendiri Bu," Aku menunduk menjawab pertanyaan ibu. Mataku terasa penuh dengan air mata.
“Ya sudah, biar semua berjalan seperti ini. Suatu saat jika Jen sudah besar maka katakanlah yang sebenarnya. Lebih baik mereka tau dari kamu Ra, daripada dari orang lain.” Ibuku berkata lembut.
“Iya Bu, pasti nanti Kira akan memberitahu anak anak Bu," Aku tersenyum menatap ibuku.
Aku memutuskan untuk ke kamar menemani anak-anak. Mereka masih berkutat dengan buku pelajarannya. Excel kelas 4 dan kembar kelas 2. Mereka sekolah di sekolah dasar dekat dengan rumahku. Sejak berpisah kuputuskan untuk pindah sekolah yang lebih dekat. Lagi pula Mas Rian tidak peduli dengan anak anaknya, kurasa.
Sejenak kutatap mereka, hatiku terasa sakit mengingat perlakuan keluarga mantan suamiku itu. Selama setahun ini tidak ada yang menyambangi anak dan cucu mereka. Hanya Bi Sumi yang selalu berkabar denganku. Dan Agus, sopir yang biasa mengantar jemput anak-anak sekolah. Menurut mereka, Ayah mertuaku saat ini sedang sakit. Sejak kepergian kami, Ayah mertuaku sangat ingin menemui cucu-cucunya, tapi ibu mertuaku melarangnya.
Kadang aku tidak bisa mengerti jalan pikiran ibu mertuaku. Kata-katanya bagaikan titah raja, harus dituruti. Beliau sangat berkeras hati akan keinginannya. Ayah yang enggan berdebat memilih mengalah. Jika tidak, rumah tangga mereka sudah berakhir sejak lama.
Berbeda dengan Mas Rian, dia mudah sekali dipengaruhi, terutama oleh ibunya. Mas Rian itu sangat patuh dengan ibunya. Bahkan untuk menikah denganku dulu Mas Rian menunggu restu dari sang ibu. Aku, hanya menurut pada Mas Rian. Dia cinta pertamaku, aku sangat mencintainya.
Tawa anak anakku membuyarkan lamunanku. Membawa kakiku berpijak lagi dimasa kini. Mungkin harus seperti ini agar mataku terbuka. Cinta akan membawa kita pada kehancuran. Bukan salah cinta seutuhnya, juga karena aku terlalu bodoh.
“Ma, Mama,” Hentakan dari Jen membuatku tersentak.
“Iya Jen, kenapa Sayang?,” Tanyaku padanya.
“Ayo tidur Ma, Jen sudah ngantuk, Jen mau di peluk Mama malam ini,” Pinta Jen. Pipi tembemnya bergerak gerak lucu seirama dengan gerakan mulutnya. Membuatnya semakin menggemaskan.
“Ayo Sayang, Mama juga sudah ngantuk,” Aku menggandeng tangan Jen. “Tapi cuci tangan dan kaki jangan lupa gosok gigi, ya."
“Iya Ma, Kak Excel, ayo temani Jen ke kamar mandi. ”Jen menghampiri Excel yang sedang mengemasi bukunya.
“Ayo Jen, sama Jeje saja, nanti Kak Excel menyusul," Jeje menarik tangan Jen. Jen menurut saja pada Jeje.
Aku mengemas meja belajar mereka. Kuletakkan perlengkapan belajar mereka pada tempatnya semula. Mereka masuk ke kamar lagi saat aku menumpuk buku-buku milik Jen. Mereka segera menempati ranjang mereka, tentu saja Jen segera memeluk leherku, menciumi seluruh wajahku. Yang membuatku membalasnya dengan gemas dengan tingkah putri semata wayangku itu.
“Jen sayang sama Mama, emuachhh,” Bisiknya ditelingaku. Sungguh aku terharu dibuatnya. Cairan bening itu kembali menumpuk di ujung mataku. Kudekap erat tubuh kecilnya, untuk menyembunyikan air mataku.
“Mama lebih sayang sama Jen,” Ku usap-usap punggungnya, agar dia cepat terlelap. Excel yang belum tidur melihat ke arahku. Dia tersenyum ke arahku, lalu tangannya membuat gerakan membentuk hati
“Exel....Mama meleleh Nak” Batinku
Kutautkan ibu jari dan telunjukku membentuk simpul Love, ku arahkan pada Excel yang langsung tersenyum dan memejamkan matanya. Sedangkan Jeje sudah mendengkur lembut sejak tadi. Kulantunkan doa menjelang tidurku. Kebahagiaan untuk anak anakku yang kupinta selalu. Hingga mataku terpejam doa dalam hatiku masih bergema.
****
Suara Azan subuh membangunkanku dari tidurku yang nyenyak. Ku renggangkan kedua tanganku ke atas kepala. Dan bersegera bangun untuk menunaikan Shalat subuh. Excel juga sudah bangun. Kami berdua saling merangkul untuk ke kamar mandi. Ayah dan Ibu sudah siap dengan perlengkapan Shalat. Nina juga terlihat keluar dari kamarnya.
Ayah, Excel dan Ibu ikut Shalat berjamaah di musala, yang letaknya tak jauh dari rumah. Usai membangunkan kembar aku segera menunaikan kewajiban 2 rakaatku bersama si kembar. Walau masih mengantuk, tapi mereka tetap melaksanakan Shalat dengan khusuk.
Segera aku memakai jaket, lalu memakai helm. Setelah ibu sampai aku segera berangkat untuk mengambil belanjaan salah seorang tetanggaku. Seorang nenek berusia 60 tahunan. Beliau seorang pemilik warung nasi padang cukup ramai. Di pagi hari aku harus berbelanja di pasar tradisional. Cukup menyerahkan catatan pada abang penjual, aku tinggal menunggu belanjaan siap lalu kuantar ke Nek Mina. Terlihat mudah bukan, tapi aku harus berkeliling ke beberapa pedagang. Ya kan yang kubeli bukan hanya sembako, tapi ikan, daging sapi, ayam dan sayuran.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 226 Episodes
Comments
Kamiem sag
semangat thor
2025-04-24
0
Wirda Wati
wonder woman
2023-04-27
1
мєσωzα
ko aku nangis ya baca part ini🥺😭
2023-04-04
0