"Assalamu'alaikum, Bu?" sapaku begitu sambungan telepon di angkat.
"Waalaikumsalam, Sayang. Lagi apa ini?"
"Ludira menganggu tidak ya? ini habis sholat subuh tadi."
"Enggak doong, Cucu Ibu lagi apa ya?"
"Lagi bantu masukin baju kotor ke mesin cuci, Bu. Maaf, Bu.. Hari ini Ibu ada agenda tidak ya?" tanyaku pelan.
"Tidak, Ra. Ini bapak ngajak Ibu buat bercocok taman di lahan belakang rumah, kemarin Narendra habis beli bibit sayur sayur."
"Saya sama Almeera mau silahturahim ke rumah Ibu."
"Ya Alloh, Alhamdulillah. Bapaaak!" Pekik kebahagian di ujung sana membuatku tersenyum meskipun rasa haru dan hatiku yang tersentuh ini membuat sedikit nyeri.
"Apa si, Bu. Teriak teriak." ucap Pak Basuki yang terdengar oleh telingaku.
"Nanti cucu kita mau pulang. Ibu masak apa ya Pak?" ujar ibu Basuki, seakan lupa bahwa aku masih terhubung di panggilan ini.
"Tanya saja sama Ludira atau Narendra, mau di masakin apa gitu." suara bapak yang tenang dan berwibawa itu menyadarkanku dari rasa haru biru.
Pulang? ah, terlalu berlebihan.
"Eh iya, aduh.. maaf ya Ludiraa. Kelewat bahagia sampai ibu lupa, mau jam berapa kesininya?"
"Jangan repot masak ini itu, Bu. InsyaAllah selepas sarapan kita berangkat. Terlalu pagi atau tidak ya, Bu?" tanyaku ragu, sebenarnya aku lebih memilih untuk datang sekitar pukul sepuluh. Namun putri kecilku itu bahkan meminta selepas berbenah kita berangkat. Rasanya tidak sopan jika harus bertamu di waktu sarapan.
"Sarapan di sini aja sekalian. Di jemput sama Narendra ya?"
Ah, Ibu. "Tidak bu, biar kita sendiri saja yang kesana,"
"Oke deh, tapi sarapan di sini saja ya? sekarang baru pukul segini. Lebih cepat lebih baik, syukur kalau nginap ya sayang."
Aku sedikit merasa bahwa Narendra ini cenderung mirip sama ibunya di banding bapaknya.
"Besok senin, Bu. Jadi maaf nggak bisa nginap." jawabku pelan.
"Kan bisa berangkat dari sini, sayaaang." ucap Ibu Basuki yang di susul suara deheman Bapak. Membuatku tertawa kecil.
"Ibu itu emang tipe di kasih jantung minta semuanya." Sahut Bapak keras.
Aku semakin tertawa lepas, aku yang sebatang kara dan setelah kehilangan Mas Dodi, kebahagian kecil seperti ini terasa mewah untukku.
"Bapak itu loo, sejelek jeleknya ibu... Bapak buktinya tidak bisa lepas dari ibu."
Aku berdehem, jangaaan sampai telingaku kembali menjadi bukti berapa romantisnya mereka berdua.
"Haha, jangan lupa ya sayang. Sarapan di sini atau di jemput Narendra."
"Iya, Bu. Kami usahakan sebelum waktunya sarapan sudah di sana. Tapi tolong biar kami berangkat sendiri saja."
"Duuh, nggak sabar ini ibu. Ibu tunggu yaaa."
"iya, sudah ya bu, Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah mematikan sambungan telepon, senyum masih saja mengembang di wajahku. Tentu saja bukan karena Narendra, tapi kebahagiaan bernama keluarga yang baru saja aku rasakan.
"Mamaaa.. Tolongin Almeera angkat ini, Maa." teriak putriku dari ruang laundry.
Mengenal Narendra itu bukan hanya memberikan efek positif bagi putriku, efek negatif nya juga begitu terasa nyata. Ini dari anak perempuan yang kalem, sekarang bisa teriak teriak begini.
"Ada apa sih sayang? Perlu banget ya teriak teriak begitu?" tegur kau halus yang di jawab permintaan maaf serta senyum penyesalan yang malu malu.
"Susah gini, Ma. Ini berat bangeet."
Aku menoleh ke arah bedcover yang di cuci oleh putriku, "Kok nggak bilang mau nyuci inii." ucapku pelan sambil mengambil bedcover tersebut. "Tadi Almeera sudah bilang, tapi mama lagi asyik telepon."
"Oh ya? Maaf ya. Tadi mama habis menghubungi Eyang. Terus kata Eyang kita harus sampai di sana sebelum waktunya sarapan."
"Horee Horeeee, Terima kasih mama."
"Terima kasih kembali sayang."
"Almeera siap siap aja kali ya maah?"
Aku mengangguk setuju dan putriku berlari ke arah kamarnya sendiri.
Ah, Sayangku. Betapa resah nya hati mama mu ini. Ini bukan hal sederhana bagi mama, sarapan di tempat orang lain? Terlebih keluarga Narendra? Apa tidak justru membuat harga diri mama jadi kurang baik.
****
"Dek, di rumah ini ada siapa aja ya?" tanyaku pelan begitu mobil yang aku kendarai masuk ke area parkir yang pak satpam tunjukkan.
"Ada Eyang kakung putri, terus om Narendra terus embak yang bantu masak sama bersih bersih ada tiga, terus pak satpam." jawab putriku mantap sekali, yakiin sekalii. "Ayo maa, turun. Itu Eyang kakung sama Eyang putri sudah di depan pintu." Ajak Almeera sambil menoleh ke arah pintu. Bergegas keluar mobil dan hal yang membuat ku kaget adalah putriku berlari ke arah dia orang yang tersenyum sangat lebar.
"Aduh, Almeera nggak sopan!" Ucapku di belakang putriku. "Eh--iya. Maaf."
Ibu Basuki memandang ke arahku, setelah melepaskan pelukannya di tubuh putriku, kini beliau memeluk tubuhku. "Jangan seperti orang asing, Ludira. Biarkan tidak ada jarak di antara kami." pinta ibu basuki setengah berbisik.
"Aku yakin dia adalah anak perempuan pingin sopan di antara sebayanya. Biarkan dia seperti ini bersama keluarganya, Ra." Ucap pak Basuki begitu putriku di tuntun masuk oleh Eyang putrinya.
Aku menoleh ke arah pria Sepuh yang masih terlihat segar bugar ini. "Tapi, Pak--"
"Selama ini kamu sudah mendidik dia dengan sangat baik, biarkan kami memanjakan Almeera sedikit. Saya yakin Almeera bukan gadis yang tidak cerdas dalam bersosialisasi." Potong Pak Basuki pelan.
Aku mengangguk saja, kalah dengan wibawa beliau yang memang begitu kuat. Mengikuti beliau saat beliau mengajak masuk kedalam rumah.
"Langsung ke kamar saja, Ayo sayang." Ajak ibu Basuki.
Aku mengerutkan kening tidak mengerti, menoleh ke arah Pak Basuki untuk mencoba mencari jawaban.
"Ayooo.. " Ulang ibu Basuki sambil menggandeng tanganku. "ibu sudah siapkan kamar kusus untuk kamu dan Almeera. Masih jadi satu sih, ibu pengennya Almeera punya kamar juga di rumah ini." Jelas ibu Basuki, namun tetap saja aku masih sedikit sulit mencerna semua ini.
"Apa tidak berlebihan yaa, Bu?" tanyaku pelan, begitu mendapat kekuatan untuk memberanikan diri bertanya setelah masuk kedalam kamar yang sepertinya memang sudah di siapkan jauh hari untuk putriku.
"Tidak ada yang namanya berlebihan jika menyangkut kalian. Jadi tolong, Diraa. Anggap kami benar-benar keluarga kalian."
Aku memeluk perempuan Sepuh ini, "Terima kasih, Bu. Ini sungguh terlalu berlebihan untuk kami. Lagi pula akan banyak persoalan di depan nantinya, Bu."
"Jangan memusingkan persoalan yang belum pasti, karena yang pasti adalah apapun yang terjadi, Almeera dan kamu adalah bagian keluarga Bagaskara. Tidak bisa di ganggu gugat."
Air mata baru tumpah di wajah ini, speechless akunya.
"Almeera lagi sama bapak di ruang perpustakaan. Kata Narendra dia suka sekali ya sama buku buku." ujar ibu Basuki, seperti membaca gerakan mataku yang mencari keberadaan putriku itu.
"Iya, Bu."
Aku masih syok tidak percaya, semua ini di luar ekspektasi ku. Aku hanya membayangkan akan menjadi tamu. Iya, tamu. Bukan justru di perlakukan layaknya keluarga yang lama sekali tidak pulang pulang.
Bagiku, ini tidaklah masuk akal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Isti Komah
lope lope
2020-12-01
1
Nur Rosyidah
kok baru Nemu novel ini kemarin malam ya....aku syuuka author
2020-09-08
3
baesalis
lanjut baca ya Thor
2020-07-09
1