[JAHAT]
[Jahat banget deh, Bu Dosen. Hari ini aku jadi gagal ketemu sama Ara. Hiks hiks hiks.]
[Mbak kan yang bujuk Ara supaya nggak jadi ketemu di taman. Sekarang mbak di mana??? Biar aku ke situ.]
Tapok jidat pokoknya. Lebay banget si ini anak. Lama lama bikin ilfeel beneran deh. Kemana perginya Narendra Bagaskara yang penuh wibawa dan sopan santun? Kenapa jadi gini amat si ini pria. Cowok deh lebih tepatnya kalau gini.
Bikin hati emak emak takut aja. Meskipun Narendra itu orangnya berpendidikan, berwibawa, sopan juga prestasinya tidak kalah cemerlang dari wajahnya yang bersinar itu, tetap aja kan. Aku jadi khawatir gini.
[Pak Dosen, Tolong jangan suka bikin gaduh perasaan ibu tunggal.]
Setelah beberapa kali pertimbangan, akhirnya aku kirim saja kalimat yang sudah aku ketik barusan. Centang dia segera berubah warna, online rupanya.
"Hallo, Assalamu'alaikum." sapaku pelan.
"Waalaikumsalam, Mbak. Mbaaak. Ini beneran?"
"Naren, kenapa sih harus langsung konfirmasi lewat panggilan?"
Heran, setelah pesanku di baca oleh Narendra, langsung ada panggilan masuk dari dia. Begitu nya efek isi pesanku ke dia.
"Biar enggak ada salah paham. Jadi maksudnya mbak gimana?"
"Narendra Bagaskara. Tolong dong jangan bikin perasaan saya campur aduk kaya gini. Jarak usia kamu sama anak saya itu jauuuh banget lo yaa."
Sial, kenapa justru suara ketawa di ujung sana keras banget. Bikin aku ngejauhin android yang aku pegang dari telinga.
"Ren. Serius ini."
"Hahahaha, mbaaaaak. Gemes aku. Lagian, usia Nabi Muhammad dan Sayyidah Aisyah juga jauh kan? Aku cuma pengen nyunah lo mbak. Hehehe."
"Ren? Semulia itukah kamu sampai sampai nyamain diri ke Rasulullah! Sial kamu, Ren. Aku nggak mau kenal sama kamu, Ren. Hubungan kita cuma rekan kerja." Sentakku marah. Setelah selesai menutup panggilan, nomor Narendra langsung aku blokir.
Aku memandang ke arah Almeera yang sedang berenang, nanar. Aku tidak pernah memandang sebelah mata terhadap pasangan yang berbeda usia cukup jauh. Namun bukan berarti aku membiarkan orang dewasa memandang ke arah putriku dengan pandangan yang berbeda. Belum, belum saatnya putri kecilku itu mengenal komitmen percintaan.
"Mah? Mama kenapa pucat gini? Mama sakit?" tanya putriku khawatir. Suaranya aja sudah bergetar. Rasa takut jelas terlihat di sudut matanya.
Aku menggeleng pelan. "Tidak, Ra. Cuma mama syok aja sama om Narendra."
"Ada apa dengan om Narendra, Ma?"
Aku menatap putri kesayanganku itu. Khawatir jelas terpampang nyata di mataku. "Mama takut om Narendra suka sama putri kecil mama."
Sebentar,
Kenapa wajah Almeera tampak begitu geli? Menahan tawa?
"Ra? Kok ketawa?"
"Mama lucu ih, tenang maa. Rara enggak bakalan punya boyfriend sebelum Rara bisa berdiri sendiri, justru Rara pengen enggak pacaran pacaran gitu. Rara sayang sama Bapak, sebisa mungkin Rara jaga sikap perilaku Rara buat bapak. Rara enggak mau jadi sebab Bapak masuk Neraka."
Oh, Tuhaaan. Betapa so sweetnya putriku ini. Mataku terasa begitu panas. Gundah gulana yang di sebabkan Narendra hilang begitu saja. Yang ada rasa nyeri ulu hati serta kebahagiaan juga kekaguman yang menggebu.
"Bapak kamu pasti bahagia banget dengar ini, Ra."
"Mama juga harus percaya sama Rara, soal Om Narendra itu. Beliau bukan suka sama Rara."
"Terus? Ngapain dia jadi kaya mendekati keluarga kita? Bukannya mama narsis atau terlalu gimana. Tapi emang semenjak ketemu sama kamu pas acara family gathering yang di adakan kampus Mama, sikap Om Narendra jadi beda banget. Mama kan takut, Ra. Mama belum siap buat kondisi situasi yang begini."
"Mama, tenang. Mama harus percaya sama Rara. Om Narendra cuma iseng. Memangnya beliau bilang secara terang terangan kalau beliau suka sama Almeera dalam artian tertentu?"
Aku menggelengkan kepala, "Enggak. Baiklah, mama cuka ketakutan yang berlebihan. Rara bisa terusin renangnya."
"Rara sudah selesai kok, Ma. Rara bersih bersih badan dulu ya, Ma. Habis itu kita bisa pulang."
"Iya. Hati hati ya. Lantainya kadang licin."
Almeera, putriku itu tersenyum menenangkan. Senyum yang juga di miliki oleh almarhum Mas Dodi saat aku panik atau gelisah.
Duh, Mas. Aku bingung. Nyatanya lima tahun sendiri, belum membuatku terbiasa tanpamu.
***
"Mah? Itu di depan rumah ada mobilnya siapa ya?" tanya putriku begitu sampai dekat rumah.
Aku mencoba tetap tenang meskipun hati ini, perasaan ini sudah di penuhi oleh Amarah yang menggebu.
Narendraaaa. Kurang ajang banget.
"Om Narendra. Itu mobilnya Om Narendra." jawabku sambil memikirkan sepeda motor di halaman rumah.
"Assalamu'alaikum, Almeera... Bu Dosen."
"Walaikumsalam, Om. Waah, kok om di sini? Udah lama om?"
Aku hanya menjawab salam pelan, selebihnya mencoba menenangkan diri dari keinginan melempar helm yang baru saja aku lepas ke arah pria menyebalkan ini.
"Sayang di lepas dulu helmnya. Perlu mama bantuin."
"Eh iya, Ma. Hehehe."
"Pintunya tolong di buka ya sayang, ini kuncinya."
Setelah menyerahkan kunci pintu kepada Almeera, Aku memandang tajam ke arah pria yang sedari tadi tersenyum tanpa perasaan bersalah sedikitpun di wajahnya.
"Jadi?" sentakku kasar. Setelah memastikan putriku tidak mendengar suaraku.
"Jadi apa si mbak? Aku mau masuk ini ya."
Aku? Aku katanya. Biasanya juga saya.
"Naren... Tolong."
"Tolong apa mbak?"
"Kamu suka sama anak saya?"
"Hahahahaha. Ini yang bikin mbak memblokir terus marah marah sama saya ya?"
Aku diam. Dia cerdas, harusnya enggak perlu di jelasin panjang lebar dia udah paham.
"Mbak setelah jadi janda kok dingin banget kaya gini ya, nggak ada selera humor sedikitpun. Nggak ada ramah ramahnya. Negatif mulu bawaannya."
"Pulang, Ren. Pulaaang!" usirku kasar.
Janda katanya? Kenapa hari ini aku harus tersulit emosi karena pandangan negatif orang lain tentang statusku yang Janda.
"Mbaak."
"Pulang, Ren. Tolong pergi. Tolong."
Aku tidak perduli dengan suara lemah Narendra. Ku tinggalkan pria yang memelas itu, masuk kedalam rumah.
"Om Narendra mana, Ma?" tanya putriku dengan baik berisi minuman.
"Pulang. Maaf, Ra. Bisa kita hari ini jangan ketemu dulu sama Om Narendra?"
"Ah. Iya, Ma. Nggak papa kok. Almeera mengerti kok, Ma. Mama istirahat dulu aja ya. Jangan terlalu di pikirkan. Mama butuh waktu buat sendiri atau perlu Almeera pijat?"
"Pijat, nggak papa. Makasih ya Sayangnya mama bapak."
Terima kasih, Tuhan. Untuk amanah berupa putri cantik yang benar-benar sholehah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Lili Faiz
udah 3 like Thor buat kamu
2021-04-25
0
Intan Lpg
mba dosen'y gagal paham🤣🤣🤣
2021-04-02
0
Michelle Avantica
Itu Kang Dosennya suka sm emaknya bukan sm anaknya, tapi pinter dia ambil hati anaknya dulu baru nti emaknya ya kang 😂
2021-01-14
1