[Mbak? Lama ya nggak ngobrol.]
Bunyi pesan Narendra, biasanya selalu to the point.
[Ada apa? Almeera sudah tidur ini.]
Balasku memberitahu. Karena biasanya ini orang mau video call dengan putri kesayangan ku.
[Aku tahu. Cuma pengen ngobrol aja sama Mbak Dira.]
[Aku rindu.]
Kalimat Narendra membuatku harus menarik nafas berkali-kali. Baru kali ini Narendra benar-benar berbuat lancang secara sengaja. Tidak pernah mengucapkan kata rindu sebelumnya.
"Assalamu'alaikum, Ren." ucap salamku begitu menjawab panggilan masuk dari Narendra yang kedua.
"Waalaikumsalam, Mbak... Aku galau." Desah Narendra lemas di ujung sana.
Setelah membaca pesan dari Narendra memang tidak aku balas, ternyata nekat telpon. Panggilan pertama, berusaha aku abaikan. Panggilan kedua, baru aku angkat. Entah kenapa, ada perasaan tidak tega.
"Tadi bapak ngajak ngomong serius, Mbak." lanjut Narendra di ujung sana. Aku masih diam, menunggu kalimat selanjutnya.
"Bapak mencoba membujuk saya buat kenalan dengan salah satu anak perempuan teman bapak."
"Jadi? apa yang bikin galau, Narendra! Usia kamu juga sudah bukan lagi dia puluhan tahun. Udah kepala tiga kok."
Terdengar suara nafas berat di ujung sana.
"Saya sepertinya nggak bisa nikah lagi deh, Mbak."
Aku masih diam menunggu kelanjutan kalimat yang menggantung ini.
"Saya belum bisa move on dari kisah masa lalu saya, Mbak."
Naaah kaaaan. Artinya ini ada potensi buat balikan sama mantan istri sirinya. Awas saja sampai bikin hati anak aku kecewa! Biasanya kan gitu, Ada bapak yang nikah lagi terus jadi kurang perhatian sama anaknya.
eh? bapak? aduh.. kepalaa!
"Mbak? Kok diam? tidur?"
"Enggak. Jadi gimana?" tanyaku berusaha menenangkan diri dari rasa kesal entah kepada siapa.
"Aku bingung aja sih, mau nolak takut bikin bapak sama ibu kecewa. Nggak nolak pasti ujung ujungnya gagal seperti yang sudah sudah."
Yaelah, ini orang. "Kalau sudah pernah kaya gini, ngapain curhat sama saya, Narendraaa!" sentakku kasar. Modus gini dia, Lama lama.
"Mbaak, izinin bapak ibu ketemu sama Almeera dong, mbak. Almeera biar nginap di sini kalau akhir pekan." Bujuk Narendra memelas. Seperti tidak terganggu dengan nada bicara ku yang barusan terdengar lumayan kasar.
Aku mendengus, "Awalnya ya Reeen. Aku tuh mau berbaik hati buat ngizinin kesayanganku lebih dekat akrab gitu saya Eyangnya. Tapi, kamu gegabah sih, pakai posting ini itu di Instagram. Apa coba maksudnya." ujarku cepat. Pecah sudah apa yang aku pendam beberapa minggu ini.
"Aah, Mbak kan nggak bilang soal itu. Lagi pula, saya hanya ingin semua orang tahu kalau saya bahagia bangeeeet bangeeet bangeeet."
"Lebay. Kamu juga konyol, ngapain nulis caption with you, all be fine di foto saya sama Almeera yang kamu ambil candid itu."
"Itu kan foto yang paling samar, Mbak. Nggak terlalu jelas."
"Apanyaaa! Kalau enggak jelas, nggak ada yang tahu itu saya, Rendra!"
"Mbak jangan marah marah, Deh. Pusing benaran saya mbak. Ayolah, mbak. Mbak minta apa aja saya turutin deh."
"Enggak ada! pokoknya nggak ada! Kamu di kasih satu minta sepuluh."
suara tawa justru terdengar di sebrang sana, "Emang dasar orang cerdas ya, ibarat aja bisa buat sendiri."
"Sudah ya, Ren. Saya mau tidur. Assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu jawaban dari Narendra, aku mematikan sambungan itu. Karena pasti Narendra tidak akan mau pembahasan nya berhenti di sini. Betul saja, tidak terlalu lama pesannya langsung masuk.
[Saya mohon deh, Mbak. Saya janji jaga privasi. Kalau mbak kasih satu ya saya nggak akan minta sepuluh kok. Tolong dong mbak.]
Aku berusaha mengabaikan pesan itu, tapi nyatanya ada rasa penasaran yang minta untuk di puaskan.
[Cucu cucunya Ibu Bapak kan banyak, Rendra. Nggak harus Almeera.]
[Jauh semua, Mbak kan tahu betul.]
Iya juga sih, di Bali. Di Kalimantan dan di Inggris.
[Maksudnya, bisa mereka yang di paksa tinggal di rumah.]
[Maunya Almeera.]
Kali ini aku mengabaikan pesan itu, meletakkan HP dan mencoba pergi ke alam mimpi.
***
"Mama? Gimana kalau nanti siang kita ke tempat Eyang?" tanya putriku pelan, sambil menoleh ke arahku dengan mukenah yang sudah di lipat di tangannya. Kami berdua baru saja sholat subuh berjamaah di rumah.
Gerakan tanganku yang sedang melipat sajadah terhenti, "Kenapa?" Rasa kaget membuat mulutku hanya mampu mengeluarkan satu kata saja. "Almeera, Kangen. Kita bawa manisan carica yang kemarin kita buat itu ya, Ma." usul putriku semangat. Sepertinya tidak terlalu memperhatikan wajahku yang menegang.
"Om Narendra menghubungi Adek?" tanyaku pelan, berusaha sebisa mungkin tidak terlalu curiga. Karena memang biasanya keluarga mereka menghubungi Almeera melalui nomor pribadiku.
Almeera menggeleng, "Enggak, Ma. Kan nggak tahu nomornya Almeera, email juga nggak tahu kan? Atau mama sudah kasih om Narendra?" putriku balik bertanya padaku. Aku tersenyum kaku, kemudian menggelengkan kepala.
Meskipun sudah berusia dua belas tahun, Almeera belum memiliki akun media sosial sendiri. Bahkan sepertinya tidak tertarik kecuali dengan blog yang ia kelola. Tempat dirinya mereview buku yang ia baca.
"Jadi kenapa tiba-tiba Rindu?"
Wajah Almeera sendu, "Kalau Almeera bilang apa adanya. Mama janji jangan sedih?"
Belum belum aku sudah khawatir, "Janji."
"Almeera rindu bapak. Al, pengen ngajak Om Narendra buat jenguk makan Bapak."
Aku kaget tentu saja, rasanya seperti menginjak paku payung yang berserakan. Pegal ngilu nyeri, bukan soal rindu kepada Almarhum Bapak nya, tapi kenapa harus mengajak Narendra ke sana?
Ada apa?
Apa tidak cukup dengan kehadiranku?
Apa sekarang bukan hanya aku yang Almeera jadikan tumpuan?
"Mamaa.."
"Iya, Nak." Jawabku pelan lalu mengambil tangan putriku, aku genggam erat. "Jadi sekarang posisi Om Narendra sepenting itu bagi kamu, Dek?" tanyaku berusaha tetap terlihat tenang.
"Mah, Almeera nggak yakin kalau Almeera bakalan baik baik saja selama di makam Bapak, Al cuma takut membuat mama kehilangan fokus. Al cuma ingin meringankan mama. Al tahu kok, mama tidak baik baik saja saat berkunjung ke makam Bapak."
Kini bukan lagi perasaan ngilu nyeri, namun hatiku seperti tertentu oleh perasaan bersalah yang membuat diriku merasa muak terhadap kelemahan yang aku miliki. Ternyata, meskipun aku sudah berusaha setegar baru karang, tetap saja putriku mampu melihat berapa hancurnya diriku.
"Maafkan mama, mama belum bisa menjadi sosok yang kuat." ucapku penuh sesal.
"Jangan mah, jangan pernah berpikir seperti itu. Mama selama ini sudah sangaaaat terbaik."
Tetap saja aku masih terselimuti rasa bersalah.
"Mah, mama sudah tahu kalau Om Narendra ternyata selama ini belum bisa melupakan kejadian di masa lalu yang menyangkut keluarga kecilnya?"
Eh? Ada apa ini? Sejak kapan putriku berusaha mengubah topik dengan begitu cepat.
"Eh, kok ngajak mama nggosip sih. Ini pasti ajarannya si Om ya."
Almeera meringis, "Hehehe, Mama ih." sahut putriku sambil tersenyum.
Kenapa, Nak?
Kenapa binar bahagia sekarang mudah sekali hadir di matamu? Buka berati mama tidak senang dengan perkembangan baik semacam ini, hanya saja... Sepertinya mama belum siap. Mama belum siap jika ada sosok lain yang menjadi sebab binar bahagia itu.
"Om cerita sama Almeera minggu lalu, Ma." sebut Almeera pelan. "Saat mama asyik bikin bubur kacang hijau itu, terus kami video call di perpustakaan. Kasihan banget, Ma."
"Jadi? Bagaimana ceritanya?"
"Ah, nanti Almeera tanya om dulu deh, boleh cerita sama mama atau tidak, kelihatannya mama belum tahu soalnya. Nggak boleh kaan, cerita privasinya orang lain."
Aku tertawa, wajah imut yang menggemaskan ini ternyata mampu hadir secara tanpa beban di wajah putriku, "Kemarin bukannya ada yang cerita tentang privasi mamanya ke orang lain yaaaa." balasku berusaha mengikuti nada bicara Almeera.
Dan kami tertawa bersama. Sejenak aku berfikir, apakah aku perlu berterima kasih dengan Narendra atau tidak. Bagaimanapun ternyata sosok Narendra memiliki begitu banyak peran dalam perkembangan buah hatiku ini.
Sudah lama sekali, wajah Almeera tampak imut dan menggemaskan tanpa ada beban di wajahnya, meskipun terlihat sedikit samar tetap saja itu adalah beban pikiran yang aku sendiri selalu merasa terpukul jika melihat itu. Selalu berhasil membuatku merasa gagal menjadi Ibu yang baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Nunung Adiyanti
👏👏👏👏
2020-08-30
1
baesalis
sukaaaaaaaaa ❤️
2020-07-09
1