Naif bila aku tidak terpesona dengan keindahan fisik Narendra Bagaskara, terlebih di antara sekian banyak keahliannya, dia begitu ahli. membuat putriku berbinar bahagia. Layaknya anak seusianya yang sedang bermain dengan sosok Ayah yang selama ini di rindukan.
"Ini?" kalimat Narendra menggantung begitu saja. Menatap khawatir ke arah ayam geprek di piring milik putriku.
Oke, mungkin hanya perasaanku saja kalau ada kesan posesif di wajah Narendra.
"Why?" tanyaku pelan.
"Perut Al enggak masalah?" tanya balik Narendra semakin terlihat ketakutan.
Putriku memang suka sekali dengan makanan pedas. Terbiasa dengan hidangan pedas, alhamdulillah perutnya juga sudah terbiasa.
"Enggak, Almeera baik baik aja, Ren." jawabku tenang.
"Aduh, aku kok khawatir ya. Bisa kurangi nggak Dek? Itu cabenya. Jangan di makan semua ya. Ayamnya aja deh yang di makan. Itu nanti takutnya sakit perut, asam lambung atau maagh ya. Takut kena diare juga."
"Om Joroooook. Dih, ngomongin diare di meja makan." Serbu putriku manyun.
Oke,
Aku baik baik saja,
Ya Tuhan, interaksi mereka berdua bikin aku nyeri. Terlalu hangat, harusnya mas Dodi yang bawel ngasih tahu Almeera tentang semua ini. Harusnya mas Dodi yang berada di meja ini, ngomel ngomel enggak jelas karena putrinya terlalu over makan sambal.
"Kita bisa mulai makan nggak? Biar nanti om Naren pulangnya enggak terlalu kemalaman?" sahutku mencoba menengahi debat mereka berdua. Sebelum mataku mulai hanya karena air mata.
"Oke." jawab Narendra pelan sambil tetap mengambil sambal dari piring Almeera.
"Mau om Suapin, Al? Iya yaaa. Biar om suapin Almeera aja deh." Bujuk Narendra, seakan mengabaikan ekspresi wajahku yang sudah tidak dalam kondisi baik baik saja.
"Berdoa dulu, Dek. Banyakin sayurnya aja ya. Nasinya dikit aja." Lanjut Narendra sambil menyuapi putriku. Sayur dan ayam geprek.
Almeera, putriku memang bukan tipe pemilih makanan. Hanya saja, kalau soal sayur mayur, dia lumayan sulit. Dulu Almeera bisa makan banyak sayur kalau di suapin sama almarhum Bapaknya. Jadi, melihat hal seperti ini. Entah bagaimana perasaanku kini.
Aku memilih diam, membiarkan dua manusia beda generasi itu melakukan hal yang mereka sukai. Selama ini, Almeera tidak pernah mengeluarkan ekspresi cemberut, manyun, kesal. Selalu ceria dan seakan semua baik baik saja.
"Sambalnya deh, Om. Udah aaah. Almeera makan sendiri aja. Ini maa, masa banyak sayur sama dagingnya. Om Narendra curang gitu."
"Mama juga bakalan setuju sama Om, ini nggak boleh kebanyakan sambal. Udah, ini... Aaa... Naaah, pintar."
Tersenyum,
Aku hanya bisa tersenyum. Bahkan saat Narendra butuh minum namun tangannya sibuk dengan dua piring, milik dirinya sendiri dan milik putriku. Tanganku reflek begitu saja mengambilkan gelas air putih dan membantunya minum dengan tanganku.
Ah,
"Terima kasih," ucap Narendra pelan, senyum tulus dan binar bahagia begitu nyata di wajah pria rupawan ini.
Sedangkan aku?
Nyeri di dada semakin menjadi jadi.
****
"Om?" tanya putriku pelan. Suaranya memang sangat pelan, namun masih terdengar di telingaku.
"Heem, iya. Ada apa dek?"
"Mama kayaknya kepikiran sesuatu deh."
"Tadi sore juga sempat bilang gitu si sama om."
Really?
Ini anak aku ngomongin aku di belakang? Hahahaha. Aduh, enggak bisa nahan tawa.
"Mama ketawa kenapa?" tanya Almeera keras. Mungkin karena jarak duduk di antara kami berdua. Mereka masih di meja makan, aku berdiri di tempat cuci piring.
Sebenarnya tadi almeera dan Narendra mau bantu cuci piring juga. Tapi dengan banyak alasan aku menolak. Mencoba berusaha menjaga hati sendiri untuk tidak berharap jika Narendra adalah mas Dodi. Aku tidak mau terjebak di dalam lamunan yang aku tahu pasti itu semua mustahil.
"Kamu bisik bisik gitu sama om Narendra, bikin mama ketawa." Jelas ku terang terangan.
Semburat kemerahan terlihat jelas di pipi putriku, "hehehe, maaf deh Ma."
"Iya, mama emang kepikiran banyak hal, Dek." sahutku pelan, meletakkan piring bersih terakhir di rak sebelum melepas apron dan berdiri menatap mereka berdua.
"Kita pindah ke ruang keluarga aja ya, biar enak ngobrol nya." lanjut ku
Mereka berdua setuju, dan kami duduk bersama di sofa. Almeera duduk di sampingku, bersandar di tubuhku sambil menghadap Narendra. Begitu pula aku.
"Jadi?"
"Jadi, kamu ini siapa, Om? Soal status kamu." Ucapku datar. Aku kira dengan semua yang sudah di ketahui oleh Almeera, dia tidak masalah dengan pembicaraan kami kali ini.
Narendra menghela nafas, menatap nanar ke arah kami berdua. Matanya jelas terluka. Dan putriku yang peka ini sekarang beralih ke arah Narendra. Bersembunyi di pelukan kokoh pria itu. Layaknya anak perempuan yang berlindung di pelukan ayahnya.
Baik, aku harus mulai terbiasa dengan semua ini.
"Yang jelas aku single, bukan suami orang."
Aku mengangguk pelan. Mencoba untuk tidak menuntut banyak penjelasan. Suara Narendra sudah terlalu bergantung menyedihkan untuk ukuran pria.
"Cuma kalau pendapat Almeera nih Om... Ma." ucap putriku pelan.
"Jangan sampai nanti ada drama seperti di televisi atau novel novel yang isinya itu tentang mantan istri om Narendra yang bikin keributan karena cemburu. Ribet kaan, mama enggak suka keributan seperti itu, Om." Lanjut putriku tegas.
Tentu saja aku kaget dengan kalimat ambigu seperti itu, bagiku ambigu. Sebelum aku sempat bersuara, Narendra udah mulai marah marah.
"Eeeeeh, anak kecil enggak boleh nonton drama sembarangan. Ini jugaaa, kamu suka baca novel jenis gitu. Ayoo, om mau lihat buku buku yang kamu baca, Dek. Ini mamanya juga, gimana sih kok bisa Almeera baca buku sembarangan."
Demi apapun juga, ini pria ternyata lebih cerewet daripada diriku sendiri.
"Apaan sih, Om. Almeera udah gede juga kaaan. Lagian buku yang almeera baca itu kebanyakan fiksi ilmiah. Dih, si Om ribet banget." Sangkal putriku kesal.
Aduh, nyeri sih ini ulu hati. Tapi lihat ekspresi Almeera sama Narendra itu bikin ketawa. Sumpah, mereka lucu banget.
"Pokoknya Om harus lihat koleksi buku buku kamu, Dek. Awas aja ya kalau ada bacaan yang labelnya dewasa."
Tanganku semakin erat memegang mulut.
"Gak ada, Om. Gak adaaa. Tanya mama deh kalau enggak percaya. Iya kan Ma? Almeera enggak punya buku yang kaya gitu."
"Terus tadi punya pemikiran kaya gitu itu asalnya dari manaaaa???? Awas kamu, Mbak. Jangan bela Almeera."
Hahahaha, aku tertawa keras. Beranjak berdiri dari tempat dudukku, meninggalkan dua orang itu yang kini saling berdebat. Tampaknya Narendra benar-benar ingin mengecek semua koleksi buku yang di miliki putriku.
"Ayo, tunjukin kamar kamu, Dek. Sama HP kamu sini, om pengen lihat ada aplikasi apa saja di HP kamu, terus Om juga mau lihat grup apa aja yang kamu ikutin."
"Huuuh, om Narendra berlebihan sekali siiih."
Aku yang awalnya hanya menatap dari meja makan, kini mulai mendekati mereka saat Narendra dan Almeera mulai berdiri.
"Reen, sudah deh." Ucap ku keras.
"Sudah apanya?"
"Nggak perlu juga masuk ke kamar Almeera."
Jangan, jangan sampai aku membiarkan lamunanku semakin liar. Membayangkan jika Narendra adalah almarhum suamiku. Sosok ayah yang protektif terhadap putrinya yang beranjak remaja.
"Apa salahnya sih, Mbak. Lagian ini kamar Almeera."
"Narendra Bagaskara. Mau gimanapun itu kamar anak perempuan remaja. No!"
Narendra mulai gemas sekaligus gelisah karena menahan kesal. Terlebih nada bicarakan terlalu datar di bandingkan tadi.
"Masih takut aku suka sama Almeera secara seksual? Aduh, Mbak. Ini aku mulai takut lo, takut kalau putriku justru mengkonsumsi hal hal dewasa yang dia peroleh dari buku bacaan atau sosial media. Ini lebih penting dari pada prasangka negatif kamu Diraaa!"
Apa tadi?
Putri? Anak maksudnya?
"emmm... Sayang bisa tolong ke kamar dulu? Maaf ya." pintaku sambil menatap Almeera menyesal.
Almeera yang sedari tadi kesal, kini tampak terkejut. Bahkan memeluk tubuhku dan memeluk Narendra sebelum pergi meninggalkan kami berdua ke kamar.
Sedangkan Narendra berdecak pinggang sambil tangan satunya memegang mulutnya, seakan tidak percaya dengan kalimat yang ia ucapkan barusan.
"Sepanjang aku kenal kamu, kamu bukan tipikal orang yang ceroboh, Pak Dosen." ujarku datar.
"Duduk, Mbak. Enggak baik kalau marah marah sambil berdiri. Iya kan? Dalam agama kita juga di jelaskan seperti itu."
Aku hanya diam, tidak mengikuti Narendra yang kini kembali duduk di kursi.
"I'm so sorry, Mbak. Maaf. Aku terlalu asyik dengan pikiranku. Aku tidak bermaksud ingin menggantikan posisi almarhum mas Dodi. Tapi sungguh, Mbak. Aku benar-benar sayang sama Almeera." jelas Narendra sambil menutup wajahnya.
"Sakit, Ren. Di sini sakit banget. Naif jika aku bilang sepenuhnya ini semua adalah salah kamu. Iya, kamu terlalu bersikeras masuk dalam hidup kami berdua. Bertahun-tahun, Ren. Bertahun-tahun aku merindukan kehadiran Mas Dodi di antara kami, aku merindukan Almeera merasa kesal dengan tingkah ayahnya yang super protektif. Bertahun-tahun, Rendra!! Aku berjuang melewati semua ini sendiri. Dan saat Almeera melakukan semua itu denganmu, hatiku remuk, Ren. Akal sehatku terkikis, aku membayangkan kamu adalah mas Dodi."
Suaraku serak. Untuk pertama kalinya dalam ribuan detik setelah meninggalnya mas Dodi, aku menangis. Menangis di depan orang asing.
"Kita sama sama pernah kehilangan. Aku paham betul apa yang Mbak rasakan. Maaf jika aku terlalu egois. Mungkin sebaiknya aku pulang, Mbak. Terima kasih untuk semuanya. Salam buat Almeera. Aku harap mbak mau memaafkan keegoisan saya dan tetap memberikan izin untuk berada di sisi Almeera."
Aku masih membeku, berdiri tanpa bergeser sedikitpun. Bahkan saat Narendra melangkah menuju pintu utama. Aku masih terdiam. Mencoba menerima kenyataan yang menurutku mulai terasa rumit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Yuniar Edwin
suka cerita nya
2020-12-02
1
💐d@€ng🌸
bagus kk ceritamya...
semangat kk😍😍😍
2020-09-20
1
Nunung Adiyanti
👍👍👍
2020-08-30
0