"Janda kaya emang penuh pesona ya!"
Kalimat yang terdengar oleh telingaku saat aku sedang berbelanja di tukang sayur keliling. Kalimat yang di ucapkan oleh kaum sejenis diriku, perempuan.
"Kita mah bisa apa kalau suami kita melirik ke arah janda kaya itu."
"Iya. Sekaya apapun kalau janda ya tetap janda. Jelek itu ya kelihatannya. Jangan sampai pokoknya, jangan pakai suami kita jadi pelampiasan rasa kesepian janda itu."
Alamak, sedih hati ini. Bukan karena kondisi aku yang di nyinyirin. Cuman, kenapa sih status janda harus selalu dapat image jelek di lingkungan.
"Bu ibu. Kalau suami bu ibu ini emang dasarnya pria baik baik. Mau sekinclong apapun perempuan di luar rumah, tetap saja dia akan berkomitmen setia dengan perempuan yang menjadi istrinya. Jadi, kalau sampai menggoda perempuan lain eh perempuan nya itu bukan perempuan ganjen. Yang perlu di selidiki itu ya suami bu ibu. Jangan jangan emang sudah terbiasa tidak setia." Cibir keras.
"Eh, maaf Bu Ludira. Bukan maksudnya kita ngomongin Bu Ludira loh." ujar salah satu dari perempuan yang tadi membicarakan soal janda itu.
"Saya juga cuma membela status saya kok, Bu. Saya janda lo ini. Jangan kira saya bakalan diem saja terus menahan rasa sakit di hati saya karena hal ini, Bu. Saya juga enggak ada rencana jadi Janda. Jangan sampai Bu Siti Jadi janda muda kaya saya ya. Biar enggak ngerasain berapa jahatnya orang orang di sekitar kita ngomongin soal janda."
Aku meluapkan semua amarahku, masa bodoh jika di anggap galak atau apa. Yang jelas aku enggak mau diam aja. Mereka juga harus bisa lebih bijak lagi.
"Maaf, Bu." Sahut ibu ibu itu bebarengan.
"Jangan sukanya ngomong sembarangan terus habis itu tinggal bilang maaf. Kalimat permohonan maaf tidak terlihat berharga kalau terus di gunakan oleh orang orang tidak bertanggung jawab seperti ini, Bu. perilaku sama tingkah laku baik baik itu bukan cuma milik orang yang berpendidikan saja. Karena perilaku baik, sopan santun itu memang di miliki oleh orang yang berhati baik. Jadi walaupun Ibu Siti, Ibu Mira, Ibu Juni pernah kuliah sampai jadi sarjana tapi hati ibu ibu ini sukanya nyinyir, tetap aja enggak punya sopan santun. Saya janda, Bu. Memang. Tapi jika saya boleh protes sama yang punya nyawa, saya ingin terus bersama suami saya, Bu. Kalian enggak bakalan ngerti deh, gimana sedihnya di tinggal. orang yang kita cintai untuk selama lamanya. Permisi, Bu."
Masa bodoh, cuek dah pokoknya. Sebel gitu sama orang yang suka seenaknya komentar padahal mereka sebenarnya enggak paham kenyataannya bagaimana.
****
"Pagi ini masak apa, Ma?"
Aku menoleh, "Nunggu request dari kesayangan mama nih. Minta di masakin apa pagi ini."
Almeera tersenyum. "Almeera ikut mama aja deh, masakan mama itu selalu yang terbaik."
Aku tertawa kecil. Putriku bukan saja mewarisi gaya senyuman milik almarhum Mas Dodi. Tapi juga mewarisi kebiasaan tidak pilih pilih makan. Asal higenis dan masakan rumahan.
"Mama masak Sup Ayam ya?"
"Boleh, Ma. Sama sambal juga ya. Tempe bacem jangan lupa."
"Siap Bos. Haha."
"Ah mama loo, bikin Almeera malu aja. Almeera bantuin ya?"
"Boleh dong. Sini. Nak? Nanti acara kita apa ya?"
"Ke taman, mah. Rara mau melukis di sana."
"Oke, mau bawa bekal apa?"
"Salad buah sama air putih terus donat isi pelangi, Ma. Hehehe. Kalau mama enggak repot bikinnya."
"Enggak dong. Kan Putri mama juga bantuin lagi ntar."
"Iya, Mah. Ini sayuran udah selesai dipotong, Ma."
"Udah di cuci?"
"Udah dong maaah. Rara siapin yang buat bekal aja yaa. Biar nanti kita enggak keburu-buru gitu."
"Iya. Terima kasih sayang."
"Terima kasih kembali mamah."
Rara, Almeera kini kembali menjelma menjadi putri cantik yang ceria. Berkat semua surat yang di tulis Mas Dodi sebelum kepergiannya. Mas Dodi juga meninggalkan buku diary yang memang saat itu menjadi semangat putri kami satu satunya itu melewati masa masa sulit.
Rara sudah baik baik saja, Mas. Kamu pasti di sana lega kan? Maafkan aku yang masih suka menangisi kepulanganmu kepada Tuhan, Mas. Maaf, maafkan aku yang belum bisa setegar setangguh Putri kita.
"Mah?" Teriak Rara dari meja makan.
"Iyaaaa."
"Ada panggilan masuk dari Narendra Bagaskara, Maa. Ini Rara angkat aja yaa."
"Iyaaa. Bilang mama sibuk ya, Ra."
****
"Apa sih, Ra? Kok lama sekali ngobrol sama om Narendra?" tanyaku begitu Rara kembali ke meja makan.
"Om Narendra ngajakin ngobrol tentang lukisan terus pelukis juga, Ma. Terus kata Om Narendra, nanti mau ikut gabung sama kita. Boleh ya maa."
"Enggak boleh. Mama tuh kurang suka sama Om Narendra. Enggak sopan gitu orangnya."
"Ah, kata mama aja sii. Mama tumben nggak suka sama orang, lagian Om Narendra emang orangnya supel gitu kan, Maa."
"Mama keganggu sama sikapnya Om Narendra, Ra. Bikin badmood. Mama kan nggak suka di ganggu."
"Hahahaha. Mama tuh lucu deh, padahal kata tante Silvia, yang suka sama Om Narendra itu banyak kan?"
"Iya, terus Om Narendra suka biasa biasa gitu. Gimana ya, emm... Tahu di kejar, tahu di sukai sama si perempuan eh masih suka tebar pesona gitu. Masih suka ramah tamah gitu. Di kasih apa aja mau, kan jadi kesannya kurang baik, Ra."
"Tukang PHP gitu maksud mama?"
"Iya."
"Selebritis mah suka kaya gitu, Ma. Om Narendra itu selebgram lo, ma. Banyak banget pengikutnya. Akun sosial media aja sampai centang biru. Keren banget."
Naah, maka dari itu aku semakin enggak nyaman kalau di dekat dia. Ribet, bawaannya waspada kalau ada gosip gitu. Apalagi status janda. Kesorot banget deh.
Narendra itu sebenarnya sopan kok biasanya, dulu dulu juga sopan banget. Cuma enggak tahu kenapa, akhir akhir ini, beberapa bulan belakangan ini sejak ketemu sama Almeera sikapnya berubah banget, entah perasaanku atau gimana... Yang jelas berasa nempel banget sama hidup aku. Kesannya itu jadi berusaha untuk masuk ke kehidupan pribadi aku. Bukan sekedar rekan satu kantor.
"Ra?"
"Iya deh, Ma. Almeera bilang sama Om Narendra kalau enggak boleh ikut."
"Percuma juga si, Ra. Om Narendra itu sudah tahu kita mau ke taman kota. Gimana kalau kita pindah ke Kebun binatang aja? Sekalian kita bisa renang di sana."
"Oke deh, Ma. Mama jangan pusing lagi ya. Almeera nggak suka lihat wajah mama suram giti."
"Oooh.. Perasaan mama jadi meleleh gini."
"Hahaha, ayuk sarapan maa. Rara udah laper banget."
"Habis sarapan berangkat aja ya, buat salad aja."
"Iya iyaa. Takut banget di samperin Om Narendra. Hahaha."
"Iiiih" Bisikku sambil pura-pura mencubit lengan Putriku yang tersenyum jahil itu.
Memang benar juga yang di katakan Rara. Bisa jadi Narendra justru berkunjung ke rumah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Michelle Avantica
hmmm.. tertarik dgn cerita seorang Ibu sebagai single parents 👌
2021-01-14
2
Arum
kok sedih ya
2020-12-29
1
N Fransiska
Suka sama tokoh utama wanita yg tegas n kuat seperti Ludira. Berani mempertahankan harga diri, gak cuma nangis di pojokan sampai ngenes 😁👍👍👍
2020-09-07
7