[Assalamu'alaikum, Mbak. Bagaimana keadaan Almeera? saya hari ini InsyaAllah tetap aktivitas seperti biasa kok. Jadi mbak Dira jangan khawatir. Tolong kasih kabar saya, Mbak.]
Aku membacakan pesan yang di kirim oleh Narendra dengan suara pelan, sambil memegang tangan dingin kesayanganku.
[Mbak, Saya rindu sama Almeera.]
"Sayang dengar mama, Nak? ini om Narendra konyol sekali. WhatsApp banyak banget ke mama. Intinya Om Narendra begitu khawatir sama Almeera, Om Narendra Kangen sama Almeera. Sayang masih asyik main di sana ya?" Bisikku pelan,
Air mata kembali mengalir di pipiku. Belum ada perkembangan apapun terkait dengan kondisi Almeera. Masih di zona Kritis.
"Aku harus bagaimana, Mas?"
Setelah selesai membaca semua pesan masuk dari Narendra, aku memutuskan untuk membalas pesan tersebut.
[waalaikumsalam, Narendra. Almeera masih kritis. Dia belum mau bangun, Ren.]
Begitu selesai terkirim dan dua centang itu berubah warna jadi centang biru.
"Assalamu'alaikum, Mbak?"
Suara Narendra di ujung sana begitu panik.
"Waalaikumsalam, Ren."
"Mbak? Saya sudah boleh kesana? tolong mbak. Saya tidak bisa tidur jika masih belum tahu menggunakan mata kepala saya sendiri bagaimana kondisi Almeera."
Suara Narendra serak, aku tahu. Pria ini menangis. Membuatku merasa jadi orang yang sangat jahat jika tidak memberi izin Narendra bertemu dengan Almeera.
"Oke."
"Terima kasih, Mbak."
Sekitar pukul sembilan Narendra sudah sampai di sini, penampilannya memang rapi tapi wajah nya kusam kusut dan redup.
"Hallo Sayang. Assalamu'alaikum Kesayangannya Om Narendra." Bisik Narendra pelan, namun terdengar oleh ku yang kini duduk di sebelah kanan Almeera.
"Dek? Om Narendra kangen lo. Adek main mainnya di sana jangan lama lama ya."
"Adek mau di bacain surat apa?"
"Oh Iyah, Dek. Mama sudah kasih izin buat lihat HP kamu. Alhamdulillah aman semua. Om jadi tenang."
Narendra menatap kearahku, setelah mencium dahi Almeera.
"Sudah makan, Mbak?" tanya Narendra pelan.
Aku hanya menggeleng.
"Mau saya belikan makanan? Jangan sampai mbaknya ikut sakit."
"Sudah cukup kok tadi udah makan banyak buah sama Roti juga. Kamu ini yang kelihatannya enggak enak banget di lihat. Sudah sholat belum?" tanyaku sambil menelisik wajah Narendra.
"Sudah kok, Mbak." jawab Narendra salah tingkah.
"Narendra?" panggilku pelan.
"Iya, Mbak."
"Mungkin ada baiknya kita berteman, Ren. Dan ada baiknya juga kita jangan berteman."
"Maksudnya mbak gimana?"
Aku menarik nafas pelan, mencoba menenangkan diri saat gemuruh di dalam dada tidak terkendali.
"Kamu boleh ketemu sama Almeera kapanpun dan di manapun. Tapi tolong tetap jaga jarak aman dengan saya. Hubungan kita tetap. profesional saja."
Narendra termenung, menatap ku tidak percaya. Tapi sudah jadi keputusanku, bahwa ini adalah alternatif terbaik di antara kami bertiga.
"Kamu boleh menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan Almeera, tapi di rumah Bapak dan Ibu kamu. Bukan di rumah saya." Lanjutku.
"Saya memang sekarang, semenjak berpisah dengan mantan istri saya, saya tinggal bersama bapak dan juga Ibu, Mbak." Jelas Narendra pelan.
"Bagus, jadi gimana? setuju?"
"Setuju tidak setuju, saya tidak memiliki hak apapun untuk membela diri kan mbak?" ucap Narendra sambil tersenyum lumayan sinis.
Suara Narendra yang lemah membuatku terpana, memang iya. Ini sudah jadi keputusanku. Andai Narendra tidak setuju maka dia kehilangan kesempatan dengan Almeera.
"Mbak dari kemarin belum istirahat kan? bisa tolong sekarang biarkan saya yang menjaga Almeera? mbak bisa tidur di sofa itu." ucap Narendra penuh perhatian.
Aku mengangguk pelan. Ada benarnya juga apa yang di sarankan Pria ini. Aku tidak boleh tumbang dalam keadaan seperti ini.
"Mas? aku nggak kelirukan? ini udah betul kan? keputusan aku tepat kan Mas? Mas kasih izin?" Batinku.
****
Tidur di atas sofa memang tidak senyaman tidur di atas tempat tidurku sendiri. Setelah banyak sekali pertimbangan yang membuat kepalaku ini sedikit pusing, akhirnya aku membiarkan diriku satu ruangan dengan Narendra. Meskipun aku tidur di sofa dan Narendra sepertinya terlelap di samping Almeera. Entah terlelap atau tidak, karena saat ini telingaku masih mendengar Narendra melafalkan ayat suci Al-Quran yang jelas sekali bukan surah Yasin. Jadi soal Narendra itu hafal isi Al Qur'an memang benar adanya?
Aku membuka mataku perlahan-lahan, menyesuaikan dengan keadaan baru aku mencoba mengubah posisi duduk. Mataku menatap tangan Narendra yang terus menggenggam erat tangan Putriku. Bahkan Pandangan Narendra yang penuh perhatian, penuh kasih sayang membuat hatiku dirundung perasaan iba. Mungkin jika Mas Dodi saat ini berada di sini, Mas Dodi juga akan melakukan hal yang sama. Mengunggu putri kesayangannya tanpa terlelap sedikitpun.
"Narendraa," panggilku pelan, berusaha untuk tidak membuatnya terkejut.
"Sudah bangun, Mbak. Ini sebentar lagi subuh. Maaf, saya nggak berani bangunin Mbak Dira buat sholat malam." jelas Narendra sambil membalikkan badan ke arah tempatku duduk.
Wajah lelah, wajah sedih dan wajah menderita. Jadi seperti ini, pria asing ini memang begitu menyayangi putriku dengan kapasitas yang sepertinya begitu besar.
"Iya, tidak apa apa kok. Kamu nggak tidur, Ren?" tanyaku pelan, bahkan bibirku tersenyum begitu saja tanpa izin dariku.
"Belum, Mbak. Mungkin nanti. Oh ya, Mbak. Ini ibu saya minta nomornya Mbak Ludira." sahut Narendra.
"Oh gitu ya, Kasih saja nggak papa, Ren."
"Mbak kenal dekat sama Ibu saya ya?" tanya Narendra penasaran.
Nggak begitu dekat, Ren. Hanya sebatas kolega saja, tapi sejak kemarin beliau datang kesini dengan begitu banyak kalimat yang sulit sekali aku artikan, kami menjadi lumayan dekat. Ah, sepertinya tidak mungkin aku menjawab dengan jawaban seperti itu.
"Begitulah. Ren?"
Narendra menjawab dengan Heeeem saja, kembali menoleh ke arah putriku dengan sorot mata yang khawatir.
"Boleh tanya sesuatu?"
"Tanyakan, Mbak. Jangan sungkan begitu."
Aku menghela nafas kasar, bangun tidur dan menatap pria penuh pesona di disini dengan tingkat kepedulian yang begitu besar kepada putri kesayanganku, rasanya miris.
"Nanti jika kamu bertemu dengan perempuan yang membuatmu merasa nyaman sekaligus spesial, kamu bakalan mengurangi tingkat kepedulian mu terhadap Almeera?" tanyaku pelan tidak yakin dengan apa yang keluar dari mulutku ini. Bahkan aku meremas tanganku sendiri untuk mengurangi rasa gugup yang menjalar sempurna di perasaanku.
Narendra justru tersenyum. Dan senyum itu menurutku memang sangat menakjubkan. Meskipun aku selalu memandang Narendra adalah Mas Dodi, bukan berarti aku gelap mata tidak mengakui kelebihan sekaligus keindahan yang di miliki pria ini.
"Saya tidak akan melupakan kalian berdua, Mbak. Bahkan jika menurut mbak Dira tidak berlebihan, saya ikhlas lahir batin jika hidup saya ini sepenuhnya berada di sekitar mbak Dira dan Almeera. Saya bukan tipe pria yang akan merasa puas setelah mendapatkan apa yang di inginkan kemudian mencampakkan begitu saja. Bahkan, jika pengakuan semacam ini tidak membuat mbak Dira ketakutan, sungguh mbak... saya rla menjadi bucin untuk kalian berdua." jawab Narendra mantap bahkan tanpa ragu sedikitpun.
Aku yang mulai baper, berusaha menggerakkan kelopak mataku berkali-kali, supaya air mata tidak mengumpul jadi satu dan tumpah riuh di atas pipi. Duh, ini anak kenapa pandai betul membuat hati emak emak macak saya terharu biru seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments
Isti Komah
aku kok nangis ya klau waktu Dira bilang "mas"😭
2020-12-01
1
DeRaSa
disini kondisinya rendra suka sm dira enggak ya? blum ke jawab
2020-08-23
1