Shaka mengamati Kirana yang sedari tadi terdiam selama di kelas. Sebenarnya, semalam Shaka mimpi hal yang aneh tentang Rana. Begitu menyeramkan, seakan mengisyaratkan kalau Rana sedang dalam bahaya. Sampai terbangun, Shaka tak mampu tidur lagi. Ia malah jadi khawatir pada Kirana. Apa gadis itu baik-baik saja?
“Rana.” Pemuda itu masih memandang gadis yang tak sekalipun bicara ini. Sangat bukan Rana sekali. Ya meskipun Rana juga bukan gadis yang cerewet. Tapi Ia juga bukan gadis yang pendiam begitu.
“Hmm?” Rana memainkan bolpoin nya. Mulai bosan karena sedari tadi dosen tak kunjung datang. Apa sebaiknya Rana pulang saja ya?
“Lo nggak papa?” tanya Shaka hati-hati.
Rana menoleh. Ada gurat kaget yang berusaha Ia samarkan. “Maksud kamu?”
“Nggak, nggak papa. Lo sih diem mulu.” Shaka mengalihkan pandangannya. Tak mungkin Ia bilang tentang mimpinya. Itu justru akan membuat Rana kepikiran.
Berbeda dengan Rana yang malah jadi takut sendiri. Apa Shaka sebenarnya tau kejadian kemarin ya? Tapi siapa yang cerita? Intan dan Nadya sudah Ia wanti-wanti untuk tidak cerita. Begitu juga dengan Aksa, tak mungkin menceritakan ini.
Tapi kenapa Shaka bertanya yang aneh-aneh?
“Rana.” Shaka memanggil lagi.
Kirana kembali menoleh, menatap pada sahabatnya yang entah kenapa sarat akan kekhawatiran.
“Kalau lo ada apa-apa, cerita ke gue ya? Jangan ditutup-tutupi. Gue sahabat lo.” Shaka berkata dengan pandangan yang sulit diartikan.
Sesaat, Rana merasa sangat bersalah.
***
Aksara duduk di gazebo depan gedung FILKOM, fakultas tempat Kirana dan Arshaka, adiknya kuliah. Ia jarang duduk sini meskipun Ia juga berkuliah disini. Tempat ini terlalu ramai. Aksa memang hanya suka duduk di gazebo belakang gedungnya yang sepi bagaikan kuburan.
Aksa menanti Rana dengan sabar. Tadi Ia telah mengirim pesan pada gadis itu bahwa Ia menunggunya disini. Toh kelas terakhir Rana seharusnya akan selesai dalam beberapa menit.
Semoga saja tidak ketahuan Shaka ya. Meskipun sebenarnya tidak masalah bagi Aksa, tapi Ia hanya tak suka jika terus berdebat dengan adiknya ini. Lagian adiknya ini membingungkan. Punya pacar tapi protektifnya setengah mati pada gadis lain. Sangat tidak masuk akal.
Tak lama, Rana duduk tepat di sebelah Aksa. Diikuti oleh kedua teman Rana yang kemarin bersama gadis itu ke FEB, ikut duduk di depan pemuda ini. Aksa menatap ketiga gadis itu bergantian.
“Kak, sorry, aku mau kerkel sebentar.” Rana tersenyum dengan puppy eyesnya. “Terus gazebo lagi rame banget, kita gak dapat tempat. Kalau ikut numpang disini boleh kan?”
“Oh, ya, silahkan.” Aksa mengangguk. Tersenyum pada Rana juga pada kedua temannya.
“Sebentar aja kok, Kak.”
“Iya, Kirana, santai aja. Aku mau game dulu kalau gitu ya.” Pemuda itu mengelus rambut Rana singkat. Lalu mulai membuka gamenya kembali.
Belum sempat Aksa memulai permainannya, seorang pemuda menghampiri mereka, lalu duduk begitu saja di sebelah Rana.
Rana bahkan sampai menoleh dengan dramatis demi mendapati Shaka yang kini berada di sampingnya. Astaga, pemuda ini benar-benar cenayang.
“Kamu ngapain?” tanya Rana heran. Menatap Shaka dengan pandangan penuh tanya.
“Duduklah. Rame, nggak ada tempat duduk. Lo jangan pelit-pelit.” Shaka malah mengomeli Rana.
Sebenarnya memang benar, gazebo rame sekali sore ini, mungkin karena banyak yang sedang mencicil mengerjakan project akhir semester. Gazebo fakultas mereka saja penuh. Gazebo gedung ini juga penuh. Untungnya Aksa sudah lebih dulu disini jadi Rana bisa nebeng.
“Nggak, maksudnya, ngapain disini? Kok nggak langsung pulang?”
“Nungguin lo lah.” Shaka menjawab santai sekali. Tak memperdulikan Aksa yang kini menatapnya dengan pandangan sebal. Adik ganteng Aksa ini sepertinya ketularan dirinya, mulai suka cari gara-gara.
Tak mau meneruskan pembicaraan yang membuat mereka malah terus berdebat. Yang ada malah Intan dan Nadya jadi menunggu lama. Maka Rana abaikan saja kedua pemuda ini yang tampak saling memberikan tatapan penuh kebencian. Ia beralih menatap teman-temannya, lalu melanjutkan pekerjaannya kemarin yang kena revisi.
Tidak sampai 30 menit, pekerjaan kelompok itu telah selesai. Segera dikirimkan ke email dosen, lalu Intan dan Nadya beranjak, pamit pulang ke rumah masing-masing.
Kini hanya tinggal mereka bertiga yang masih saja duduk sempit-sempitan. Kirana berdiri, keluar dari bangku, lalu Ia beralih duduk di hadapan kedua kakak beradik ini.
Rana memandang keduanya bergantian. “Kalian nggak mau baikan aja?”
“Aku nggak merasa lagi marahan sama dia.” Aksa menjawab cuek. Meski sebenarnya sebal juga karena adiknya malah jadi mengganggu hubungannya dengan Kirana.
“Gue juga nggak musuhan sama dia. Gue cuma nggak suka dia deket-deket elo, Ran.” Shaka menjawab terus terang.
Memang benar. Kadang-kadang berantem wajar, tapi sebenarnya Ia dengan Aksa memang tak segitunya dalam bermusuhan. Buktinya mereka masih berteman di game. Hanya saja, karena hubungan Rana - Aksa ini yang membuat Shaka jadi marahnya setengah mati.
“Nah ini, berarti dia tuh yang cari gara-gara, padahal kan itu hak kamu ya, Kirana, dekat dengan siapapun.” Aksa mencibir. Tersenyum meremehkan pada Shaka.
“Heh, ya salah lo lah. Ngapain coba ngedeketin temen gue?” Shaka tak mau kalah.
“Lah, orang gue ngedeketin dia sebagai Kirana kok, bukan sebagai temen lo.” Aksa terus mendebat. Pemuda ini juga tak mau kalah.
Kirana memperhatikan mereka berdua. Aduh udah kalau dilihat-lihat mukanya mirip, bawel lagi dua-duanya, tidak mau kalah juga. Kok bisa gadis ini terjebak dalam perang saudara ini.
“Intinya, gue nggak bakal ngebiarin lo deketin Rana, Bang. Serius lah mending lo cari cewek lain aja.”
“Intinya juga, gue bakal tetep ngedeketin Kirana, mau lo ijinin apa nggak, wahai anak muda.”
“Wah, emang anak anjing ya lo, Bang!” Shaka emosi. Namun sepersekian detik kemudian Ia tersadar sesuatu.
“Heh, gue aduin mama ya lo. Ajaran siapa lo ngomong kasar begitu hah?” Aksa mengomel dengan drama. “Gue catet ya ini. Kirana, kamu saksinya ya.” Ia pura-pura mengetik di handphonenya.
“Lo berani aduin gue. Gue aduin semua kegiatan lo di apart.” Shaka tersenyum penuh kemenangan. Meskipun Aksa di keluarganya memang suka cari gara-gara, tapi yang tahu betul bagaimana kehidupan pemuda ini hanya adiknya. Orang tuanya mana tau kalau Ia biasa jajan wanita begitu selayaknya beli gorengan. Bisa digorok Aksa nanti.
“Memang kegiatan apa?” Kirana tertarik.
Sejenak, kedua kakak beradik ini memandang Kirana dengan pandangan horror. Baru ingat kalau gadis itu juga masih disitu. Saking serunya mereka berdebat sampai tidak menyadari ini.
“Kok sampai ortu kalian nggak boleh tau? Kegiatan macam apa tuh?” Kirana bertanya sekali lagi.
Kini, kedua kakak beradik ini benar-benar mematung, tak tahu harus menjawab apa.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments