Waktu terasa amat lambat bagi Rana. Saat ini, Rana baru saja keluar dari kelas terakhirnya di hari ini. Diikuti oleh Shaka yang selalu mengikutinya seperti anaknya. Rana memandang ke langit yang tampak abu-abu.
Mendung ya? Yah, mau main kemana?
Rana mencebik. Gadis itu menoleh pada Shaka yang tak berbicara namun mengikutinya sepanjang hari.
"Kamu ngapain sih?" tanya Rana lama-lama merasa heran.
"Mau pulang lah."
"Pulang kok ngikutin aku?"
Waduh, bisa gawat kalau Shaka tau Rana mau ketemuan. Bisa-bisa gagal lagi aksi pedekatean nya dia. Eh? Memangnya Rana lagi pdkt?
"Nganterin lo sekalian. Emang gak mau dianterin?"
Rana mendecak. Gimana sih? Giliran dibutuhin nggak ada, giliran nggak dibutuhin malah nempel kayak perangko.
"Nggak perlu, Shaka. Aku masih ada perlu."
"Perlu apa? Gue temenin sekalian." Shaka memandang langit yang tak bersahabat. "Mendung loh, lo pulang naik apa nanti?"
"Kirana pulang sama gue."
Satu suara itu menghentikan perdebatan 2 sahabat ini. Keduanya kompak menoleh pada sumber suara.
Tampak Aksara yang sudah berdiri berjarak 2 meter dari posisi mereka. Pemuda itu masih berjalan perlahan, kini berdiri tepat di depan Rana.
Napas Rana tercekat. Rana tidak tau apakah tebakannya benar atau tidak. Tapi dari suaranya sudah jelas. Dari tingkah lakunya juga. Tapi kenapa tampan sekali? Ini malah di luar dugaan.
Shaka tak kalah kaget. Pemuda itu merentangkan tangannya. Meletakkan di depan Kirana agar gadis itu tak semakin maju.
"Hai, Kirana." Sapaan itu terdengar lembut. Terasa sangat merdu di telinga Rana. "Aksara." Aksara mengulurkan tangannya, tersenyum begitu manis pada Kirana.
Kirana merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak melihat senyuman itu. Tangannya terulur, berniat meraih tangan Aksara. Namun segera ditahan oleh Shaka.
"Mau ngapain, lo? Sudah gue bilang, jangan ganggu Rana." Shaka memegang lengan kiri Kirana agar gadis itu tak beranjak darinya. Tatapannya tajam sekali.
"Sudah gue bilang juga, gue bakal tetep deketin Kirana, dan lo ga berhak ngelarang gue." Aksa meraih tangan kanan Kirana yang hampir terulur padanya. Tatapannya tak kalah tajam. Sepertinya kedua pemuda ini berniat saling membunuh hanya dari tatapan.
Rana merasa aneh. Gadis itu memandangi kedua pemuda ini, satu per satu. "Kalian… saling kenal?" tanyanya heran.
Malah kedua pemuda ini yang jadi salting.
Aksa tersenyum. Ia memandang Rana begitu manis. "Kirana, perkenalkan, ini adikku, Arshaka."
"Oh." Rana manggut-manggut. "Eh?" Ia baru menyadari dan terlonjak kaget. Gadis itu memandang Shaka meminta penjelasan. Shaka hanya memandangnya kecut. Tapi itu sudah mengisyaratkan padanya bahwa itu benar.
Kirana mulai mengerti. Tapi gadis itu menjadi heran. Kalau adik kakak, kenapa seperti ini? Malah seperti musuh bebuyutan.
"Rana, jangan." Shaka memperingatkan ketika melihat Rana berusaha melepaskan tangannya dari Shaka. Namun pegangannya terlepas begitu menyadari bahwa Arisha, kekasihnya sedang berjalan ke arahnya.
Aksa mengambil kesempatan, segera menarik Kirana agar mendekatinya. Semuanya diam begitu Arisha datang.
"Ada apa ini?" Tanyanya bingung melihat semua orang tegang.
Rana yang duluan tersenyum. "Nggak papa, Risha. Mau pulang ya? Mendung, buru pulang gih. Shaka, anterin gih keburu hujan." Rana bertindak seperti seorang ibu yang mengomeli anaknya. Padahal, Ia hanya ingin masalah cepat selesai. Ya, keburu beneran hujan juga memang.
"Iya ayuk, Kak." Arisha menggamit tangan Shaka membuat pemuda itu tak punya pilihan selain menurutinya.
Rana melihat interaksi ini. Hatinya masih terasa nyeri, namun pegangan tangan Aksa entah kenapa menguatkan dirinya.
Gadis itu menoleh pada Aksa yang tengah memandangnya sambil tersenyum. Tangan Aksa begitu hangat. Memegang jemari tangan Rana yang mungil. Terasa menghangatkan bahkan hingga ke dasar hati Rana.
Memastikan hingga pasangan baru itu benar-benar pergi, Aksa masih memegangi Rana.
"Kak, its ok." Rana melepaskan tangan itu yang memberikannya kehangatan.
Aksa menipiskan bibir. Pemuda itu memandang langit yang semakin kelabu. "Mendung, Kirana. Ayuk, keburu hujan." Ia memakaikan jaketnya pada tubuh Kirana. "Dingin, pake jaket ya."
Manis sekali, Rana ingin meleleh sepertinya.
"Kita mau kemana, Kak?" Rana kembali memandang langit. "Mau hujan tapi, Kak."
"Ke tempatku aja gimana? Daripada hujan-hujan di luar, repot. Nanti aku bikinin mie."
Belum sempat Rana memproses omongan Aksa, pemuda itu sudah menariknya. Menggiring nya pada motor yang sebelumnya terparkir di depan gedung kuliah Rana.
Rama menaiki motor itu dengan hati-hati. Seluruh persendirian nya tiba-tiba berubah seperti jeli, saat Aksa menarik tangannya, mengisyaratkan gadis itu untuk memeluknya.
"Pegangan, Kirana. Aku mau ngebut. Takut keburu hujan."
Dan memang benar. Motor Aksa seperti berpacu dengan waktu. Berlomba dengan hujan yang sebentar lagi akan tumpah. Rana memegang erat pinggang Aksa. Selain karena takut, gadis itu juga merasakan nyaman saat bersama pemuda ini.
"Kirana, sepertinya tetap harus pakai jas hujan. Bentar lagi deres nih." Aksa setengah berteriak. Kini mereka berhenti di lampu merah perempatan.
"Emang tempatnya dimana, Kak?"
Aksa menunjuk gedung tertinggi yang berjarak kira-kira 500 m dari posisinya. "Di depan situ, apartemenku."
Rana mengerjap. Ini tidak termasuk dalam bayangannya. Bagaimana mungkin gadis itu bisa diajak ke apartemen laki-laki di pertemuan pertama mereka?
Rana ingin protes. Tapi hujan tiba-tiba turun dengan derasnya. "Jalan aja, Kak, nanggung."
Lalu Aksa mulai memacu motornya lagi, seiring dengan hujan yang mengenai mereka.
Rana semakin mengeratkan pelukannya, dan bersembunyi di balik punggung pemuda ini. Untung saja Aksa membawakannya helm sehingga kepalanya tak terlalu sakit kena hujan.
Hujan turun membasahi kedua orang yang baru bertemu ini. Entah kenapa membawa keduanya pada momen yang lebih syahdu. Terasa dingin namun hangat.
Aksa memegang jemari tangan Rana. Menyalurkan kehangatan - atau mungkin justru meminta kehangatan di dalam dirinya. Rana hanya mampu membeku. Bahkan sampai mereka di belokan menuju parkiran, Rana masih tak mampu berkata apa-apa.
Aksa memeriksa Rana yang basah kuyup, padahal dirinya juga basah kuyup tapi Ia tidak peduli. "Maaf ya malah jadi basah gini." Katanya kembali memegang jemari tangan gadis itu.
Hangatnya sampai ke relung hati terdalam Kirana. Gadis itu menatap Aksa dengan pandangan yang sulit dimengerti.
"Ya udah ayok, keburu dingin." Aksa menggandeng tangan Rana. Sesekali menyembunyikan gadis itu di balik tubuhnya saat ada yang lewat. Begitu sampai, Ia langsung memencet password hingga pintu bisa dibuka. Ia kembali menarik Rana ke dalam.
Ada setitik keraguan di hati Rana. Karena untuk pertama kalinya, Ia ke tempat tinggal cowok dan itu bukan rumahnya. Tapi mau gimana lagi, kondisinya seperti ini, dia tetap harus masuk ke tempat itu.
"Pake ini, semoga pas." Aksa menyerahkan dress putih yang dibungkus plastik seperti habis di laundry.
"Terus Kak Aksa gimana?" Rana menatap Aksa. Pemuda itu juga basah kuyup. Kalau tidak segera berganti pakaian, Ia juga bisa masuk angin.
"Kamu dulu, aku gampang."
Rana berpikir sejenak. "Kamar mandinya ada tempat kayak luarannya gitu kan, Kak? Bareng aja. Aku di dalem, Kak Aksa di luarnya. Nanti aku buka pintu kalau Kak Aksa udah selesai."
Polos sekali Rana mengatakan ini. Dia tidak tau ya sedang masuk ke kandang siapa?
Aksa menghela napas kasar. Gadis ini justru membuat semuanya terasa memberatkan bagi Aksa yang sedari tadi berusaha menahan diri.
"Ayo, Kak, keburu masuk angin." Rana berjalan terlebih dahulu.
Baiklah. Aksa mengikuti gadis itu. Membuat Rana tersenyum.
Rana tidak tau. Bagaimana Aksa berusaha menahan diri nya sekarang.
—
halooo, boleh komen yaa kak, makasih 🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments